Rabu, 11 Desember 2013

Haramkah Bunga Bank

Sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote ialah bank. Kata bank berasal dari bahasa Italia banca berarti tempat penukaran uang.

Sedangkan menurut undang-undang perbankan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Menurut UU RI No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana, menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya.

Di indonesia terdapat dua jenis sistem perbankan yaitu konvensional dan syariah. Bank syariah merupakan lembaga perbankan yang mengusung syariat Islam sebagai prinsipnya, serta tidak mengandalkan bunga dalam sistem pengoperasiannya. Di lain pihak, bank konvensional adalah bank yang melaksanakan usaha perbankan secara konvensional dengan cara memberikan jasa dalam jalur lalu lintas pembayaran

Pada bank konvensional, pedoman sistem bunga yang diusung haruslah berdasarkan pada pedoman yang menetapkan bahwa bank selalu mengalami keuntungan. Jumlah bunga yang dibayarkan tidak mengikat walaupun keuntungan yang diperoleh berlipat ganda pada saat keadaan ekonomi membaik. Selain itu, pembayaran bunganya tetap seperti apa yang telah dijanjikan sebelumnya tanpa adanya pertimbangan proyek yang dijalankan oleh nasabah.

Dalam bahasa Arab bunga bank itu disebut dengan fawaid. Fawaid merupakan bentuk plural dari kata ‘faedah’ artinya suatu manfaat. Seolah-olah bunga ini diistilahkan dengan nama yang indah sehingga membuat kita tertipu jika melihat dari sekedar nama. Bunga ini adalah bonus yang diberikan oleh pihak perbankan pada simpanan dari nasabah, yang aslinya diambil dari keuntungan dari utang-piutang yang dilakukan oleh pihak bank. Apapun namanya, bunga ataukah fawaid, tetap perlu dilihat hakekatnya.

Makna harfiyah dari kata Riba adalah pertambahan, kelebihan, pertumbuhan atau peningkatan. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Para ulama sepakat bahwa hukumnya riba adalah haram. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat Ali Imran ayat 130 yang melarang kita untuk memakan harta riba secara berlipat ganda.

MASALAH

Apakah bunga bank termasuk kategori riba?


DALIL

Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang keharaman riba, diantaranya:

  • Surat Al-Baqarah, ayat 275:
    Orang-orang yang makan (mengambil) RIBA’ tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan RIBA’, padahal Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan RIBA’. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil RIBA’), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Alloh. Orang yang kembali (mengambil RIBA’), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
  • Surat Ali ‘Imran, ayat 130:
    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
  • Surat Ar-Rum, ayat 39: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
PENDAPAT
  • Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
  • Abu zahrah, Abu ‘ala al-Maududi Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.
  • Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba
  • Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis) berpendapat bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
  • Menurut musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain.
  • Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menetapkan, bunga perbankan termasuk riba sehingga diharamkan.
ANALISA

Larangan al-Qur’an terhadap pengambilan riba adalah jelas dan pasti. Sepanjang pengetahuan tidak seorang pun mempermasalahkannya. Tetapi pertentangan yang ditimbulkan adalah mengenai perbedaan antara riba dan bunga. Salah satu mazhab pemikiran percaya bahwa apa yang dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Sementara suatu mazhab pemikiran lain merasa bahwa sebenarnya tidak terdapat perbedaan antara riba dan bunga. Karena itu pertayaan pertama yang harus dijawab adalah apakah ada perbedaan antara riba dalam al-Qur’an dan bunga dalam dunia kapitalis.



Menurut para ulama fiqih, riba dibagi menjadi 4 (empat) macam:
  1. Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Contoh: tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan sebagainya.
  2. Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami/mempiutangi. Contoh : Andi meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Budi. Budi mengharuskan Andi mengembalikan hutangnya kepada Budi sebesar Rp. 30.000. maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
  3. Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya: orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut dari sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
  4. Riba Nasi’ah, yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis yang pembayarannya disyaratkan lebih, dengan diakhiri/dilambatkan oleh yang meminjam. Contoh : Rusminah membeli cincin seberat 10 Gram. Oleh penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan jika terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya.

Tetapi ada sebagian ulama yang mengaitkan keharaman riba tersebut dengan unsur azh-zhulm (penganiayaan atau penindasan). Artinya, bila pinjaman yang diberikan itu tidak menyebabkan orang lain merasa teraniaya atau tertindas maka ia tidak dikatagorikan sebagai riba yang diharamkan, meskipun dilakukan dengan sistem bunga. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Muhammad Rasyid Ridha, seorang mufasir dari Mesir. Menurutnya, tidaklah termasuk ke dalam pengertian riba bila seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu baginya dari hasil usaha tersebut. Hal ini disebabkan karena transaksi seperti itu menguntungkan kedua belah pihak.


Sementara itu, Muhammad Quraish Shihab –mufasir Indonesia-, setelah menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, asbab an-nuzulnya, dan pendapat berbagai mufasir, menyimpulkan bahwa ’illat (sebab) dari keharaman riba itu adalah sifat azh-zhulm (aniaya), seperti yang disebutkan di akhir ayat 279 dari Surah Al-Baqarah. Oleh sebab itu, yang diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang.

dari pembahsan diatas, semoga allah terus memberikan petunjuk kepada hambanya. mudah-mudahan artikel ini bermanfaat. wasalam..


REFERENSI

http://apaperbedaan.blogspot.com/2013/08/perbedaan-bank-syariah-dan-bank.html
http://www.bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=905:definisi
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-pada-bunga-bank.html
http://hukum-islam.com/2013/03/hukum-bunga-bank-dalam-islam/
 

Translate