Ketika cahaya tauhid padam di muka bumi,
maka kegelapan yang tebal hampir saja menyelimuti akal. Di sana tidak tersisa
orang-orang yang bertauhid kecuali sedikit dari orang-orang yang masih
mempertahankan nilai-nilai ajaran tauhid. Maka Allah SWT berkehendak
dengan rahmat-Nya yang mulia untuk mengutus seorang rasul yang membawa
ajaran langit untuk mengakhiri penderitaan di tengah-tengah
kehidupan. Dan ketika malam mencekam, datanglah matahari para nabi. Kedatangan Nabi
tersebut sebagai bukti terkabulnya doa Nabi
Ibrahim as kekasih Allah SWT, dan sebagai bukti kebenaran berita gembira yang
disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah SWT
menyampaikan salawatnya kepada Nabi itu, sebagai bentuk rahmat dan
keberkahan. Para malaikat pun menyampaikan salawat kepadanya sebagai bentuk pujian
dan permintaan ampunan, sedangkan
orang-orang mukmin bersalawat kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang
yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya
Allah SWT mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada kaum dan zaman
mereka saja, namun Allah SWT mengutus beliau saw sebagai rahmat bagi
alam
semesta. Beliau saw datang dengan membawa rahmat yang mutlak untuk kaum
di zamannya dan untuk seluruh zaman. Allah SWT berfirman, "Dan
aku tidak mengutusmu kecuali
sebagai rahmat bagi alam semesta."
Hakikat dakwah para
nabi sebelumnya adalah menyebarkan Islam, begitu juga ajaran yang dibawa oleh
Nabi yang terakhir adalah Islam. Beliau saw adalah Muhammad bin Abdillah bin
Abdul Muthalib, anak seorang wanita Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin
anak-anak Nabi Adam as. Beliau saw adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya,
serta rahmat Allah SWT yang dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau saw lahir di
tanah Arab. Ketika itu malam gelap, tiba-tiba Abdul Muthalib
membayangkan bahwa matahari
telah terbit, lalu ia bangun dan ternyata mendapati dirinya di
pertengahan malam,
keheningan yang luar biasa menyelimuti gurun
yang terbentang. Ia menuju pintu
kemah, lalu menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia
tampak di selimuti dengan malam. Ia kembali
menutup pintu kemah dan tidur. Belum lama ia dikuasai oleh rasa kantuk
yang amat sangat, sehingga ia kembali
bermimpi untuk kedua kalinya. Segala
sesuatunya tampak jela s kali ini, Sesungguhnya sesuatu yang besar
memerintahnya untuk melaksanakan perintah yang sangat penting, "Galilah
zamzam!" Dalam mimpinya Abdul Muthalib
bertanya: "Apakah itu zamzam?" Kemudian untuk kedua kalinya perintah itu
mengatakan bahwa ia
diperintahkan untuk menggali zamzam.
Belum lama Abdul Muthalib melihat sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga
ia berdiri di tempat tidurnya dan hatinya berdebar
dengan keras. Abdul Muthalib bangkit, lalu ia membuka pintu kemah
kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah arti zamzam? Tiba-tiba
pikirannya dipenuhi
dengan cahaya yang datang dari jauh,
bahwa pasti zamzam adalah sebuah sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh
suara yang datang dalam tidur itu agar ia
menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu jawaban dari
pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji dan berkeliling di
sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu
sendiri, bukankah di sana terdapat
banyak sumur yang dapat diminum oleh orang-orang yang berhaji.
Abdul
Muthalib duduk di tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan malam, ia
memikirkan bintang-bintang sembari merenungkan cerita-cerita kuno yang
mengatakan tentang sumur yang memancar darinya air sebagai akibat dari
pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada cerita yang mengatakan bahwa
sumur itu telah binasa
sesuai dengan perjalanan zaman.
Matahari
terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib keluar menemui
orang-orang, dan menceritakan kepada mereka bahwa ia akan menggali sebuah sumur
di tempat tertentu, ia menunjukkan
ke tempat yang di situ ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya.
Orang-orang Quraisy menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh
Abdul Muthalib terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa
disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan NAllah. Abdul Muthalib merasa bahwa usahanya
sia-sia untuk meyakinkan kaumnya agar
mengizinkannya untuk menggali sumur. Mereka
mengetahui bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai sesuatu selain hanya seorang anak. Bahwasanya ia tidak memiliki anak-anak
yang dapat menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan
keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di
kawasan negeri Arab dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang terjalin
suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang kuat dan usaha untuk melindungi keluarga
yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul
Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah
dan mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika aku
mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga
mereka mampu melindungiku saat aku menggali
sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih
salah seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk korban."
Pintu langit
pun terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu tahun,
istrinya melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun ia melahirkan
anak laki-laki sampai pada tahun yang kesembilan, sehingga Abdul
Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah zaman dan anak-anak
Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib
akhirnya menjadi seseorang yang memiliki kemampuan. Kemudian Abdul
Muthalib
berusaha melakukan rencananya yang diisyaratkan dalam mimpinya itu,
yaitu ia
bersiap-siap untuk mengorbankan salah satu anaknya sebagai bentuk
pelaksanaannya dari
nazarnya. Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah
nama anaknya yang paling kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu
keluar dalam
undian, maka orang-orang yang ada
disekitarnya berusaha memberontak, mereka mengatakan bahwa mereka tidak
akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu terkenal sebagai
seseorang yang bersih dikawasan Arab, ia telah dapat menarik simpati
masyarakat
di sekitarnya. Ia tidak pernah menyakiti
seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah
meninggikan suaranya lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah
terkenal sebagai senyuman yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab.
Muatan ruhaninya demikian jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai
sebuah kebun di
tengah-tengah gurun hati-hati yang
keras, oleh karena itu semua manusia datang kepadanya dan menentang
usaha penyembelihannya. Para
pembesar Quraisy berkata, "Lebih
baik kami menyembelih anak-anak kami daripada
ia harus disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan
baginya. Kami tidak akan
menemukan seseorang pun yang lebih
baik dari dia seandainya kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali
masalah itu, dan biarkan kami bertanya kepada dukun."
Abdul Muthalib tampak
tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia mempertimbangkan kembali apa
yang telah ditetapkannya. Kemudian mereka mendatangi seorang dukun. Si
dukun
berkata: "Berapakah taruhan yang
kalian miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh ekor unta." Dukun itu berkata:
"Datangkanlah sepuluh unta,
lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan atas nama Abdullah, jika
undian datang padanya, maka tambahlah sepuluh
ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut, demikian hingga
tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian
dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu
pun mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga Abdul Muthalib menambah sepuluh
ekor unta lagi, kemudian lagi-lagi yang
keluar nama Abdullah sehingga mereka
pun menambah sepuluh ekor unta lagi sampai jumlah unta itu telah
mencapai seratus ekor unta. Setelah itu, datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian gembiranya sehingga
berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian
disembelihlah seratus ekor unta di
sisi Ka'bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh
oleh binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib
sangat gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia menetapkan untuk
menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab, kemudian ia keluar
dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke rumah Wahab, dan di sana ia meminang
untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah binti Wahab menikah dengan
Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda yang paling mulia dan paling dicintai oleh
orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di gunung-gunung Mekah,
agar para musafir dan
para tamu mengetahui tempat diadakannya acara tersebut, yaitu acara
pernikahan antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah
hewan-hewan korban, dan manusia dari kalangan orang-orang
fakir bahkan binatang-binatang buas dan burung makan darinya. Abdullah
tinggal bersama istrinya dua
bulan di rumah pernikahan, hingga
suatu hari ada kabar bahwa kafilah akan berangkat, lalu Abdullah pun
mengikuti kafilah tersebut dan melakukan perjalanan bersama kafilah
perdagangan
Quraisy menuju Syam, itu adalah
kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah
Abdullah yang mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat tinggal
kepada Aminah, lalu
setelah itu bayang-bayang wajahnya
tersembunyi bersama kafilah dan rnereka pun hilang. Aminah tidak
mengetahui bahwa itu adalah kesempatan terakhirnya setelah dua bulan
dari
perkawinannya. Abdullah mengunjungi
paman-pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, dan di sana ia
meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal
dunia.
Abdullah bin Abdul
Muthalib kini telah meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh
lima tahun. Kabar kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan
hati orang-orang yang mendengarnya, sehingga kabar itu sampai ke istrinya.
Aminah tampak menangis tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan tidak mengetahui jawabannya, mengapa
Allah SWT menebusnya dengan seratus unta jika kemudian Dia menetapkan kematian
baginya.
Tidak lama
kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya janin dengan gerakan yang sedikit, ia tampak
mulai mengetahui bahwa ia sedang hamil. Aminah
menangis dua kali, pertama ia menangis untuk
dirinya sendiri dan kali ini ia menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat
dilahirkan. Aminah tidak pernah
mengetahui sebelumnya bahwa janin yang dikandungnya akan menjadi anak
yatim, ayahnya meninggal saat ia dilahirkan.
Anak yatim
ini harus menanggung beban anak-anak yatim dan orang-orang fakir serta
orang-orang yang
sedih di muka bumi. Ia akan menjadi Nabi
yang terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi rahmat yang
dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat
kecuali orang
yang merasakan penderitaan dan
kepahitan. Inilah anak kecil yang sebelum dilahirkan telah menelan
kesedihan. Dan berlalulah hari demi hari, lalu
hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun telah mengering,
namun kesedihannya tampak menyerupai
sebuah pohon yang turnbuh bersama
kehausan.
Kemudian kesedihannya
hari demi hari semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu mulai tidak tampak
ketika ia mendapatkan bahwa janin yang dikandungnya tidaklah memberatkannya,
sebaliknya ia merasakan betapa ringannya janin yang dikandungnya bagaikan merpati
yang berkeliling di seputar Ka'bah, dan seandainya kesedihannya yang
selalu mengitarinya, maka tidak ada wanita yang lebih bahagia
darinya dengan kehamilan yang ringan ini. Janin itu adalah manusia yang
mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin dekatlah hari
kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati Mekah.
Abrahahh adalah seorang penguasa Yaman, yaitu
pada saat Yaman tunduk kepada Habasyah setelah penguasa Persia diusir.
Di Yaman ia membangun suatu gereja
yang menunjukkan bangunan yang menakjubkan. Abrahahh
membangunnya dengan niat agar orang-orang
Arab berpaling dari Baitul Haram di Mekah. Ia melihat betapa orang-orang
Yaman tertarik dengan rumah
tersebut. Dan ketika ia tidak
melihat gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik seperti itu dan
tidak mampu menarik hati orang-orang Arab, maka ia berkeinginan kuat
untuk
menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang
tidak menuju ke Ka'bah lagi melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya
ia menyiapkan pasukan yang besar yang dipenuhi dengan berbagai senjata,
kemudian pasukan
itu menuju Ka'bah.
Pasukan Abrahahh
terdiri dari kelompok gajah yang besar yang digunakannya untuk
menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu bagaikan tank-tank yang kita
gunakan
saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar rencana tersebut. Memang
orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai penyembah berhala, meskipun
demikian mereka sangat memberikan
penghargaan dan penghormatan terhadap Ka'bah,
karena mereka meyakini bahwa mereka adalah anak-anak Nabi Ibrahim as dan
Nabi Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan
pasukan tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang mulia dari penduduk
Yaman yang bernama Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan dari kalangan
orang-orang Arab untuk memerangi Abrahahh, sehingga ada beberapa orang
yang
mengikutinya. Abrahahh berhadapan dengan tentara tersebut tetapi pasukan
yang sedikit itu dapat dengan mudah dipatahkan oleh pasukan kafir
yang besar itu. Kemudian Dunaher pun
kalah dan menjadi tawanan Abrahahh. Pasukan Abrahahh tersebut juga
sempat
ditentang oleh Nufail bin Hubaid
al-Aslami, namun Abrahahh pun dapat mengalahkan mereka dan berhasil
menawan Nufail.
Kemudian ketika Abrahahh
melewati kota Taif, menghadaplah kepadanya beberapa orang tokoh setempat, dan
mereka tampak gemetar ketakutan dan berkata kepadanya bahwa
sesungguhnya 'rumah' yang ditujunya tidak berada di tempat mereka, tetapi
berada di Mekah. Hal itu mereka sampaikan dengan maksud untuk memalingkannya
dari rumah berhala mereka, di mana mereka membangun di dalamnya
berhala yang bernama Latha kemudian mereka mengutus seseorang yang akan
menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah. Ketika Abrahahh berada di
antara Taif dan Mekah, ia mengutus seorang pemimpin pasukannya sehingga ia
melihat keadaan Mekah. Di sana ia merampas banyak harta dari kaum Quraisy dan
selain mereka, dan di antara yang dirampasnya adalah dua ratus unta milik Abdul Muthalib bin
Hasyim. Saat itu Abdul Muthalib adalah salah
seorang pembesar Quraisy dan pemimpin mereka,
serta pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan
utusan Abrahahh di Mekah telah menimbulkan gejolak pada
kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak, begitu juga kaum
Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka tidak memiliki
kemampuan untuk melawan Abrahahh, sehingga mereka membiarkannya, lalu
tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang kuat
yang
sulit untuk ditandingi. Dalam surat
yang dibawa oleh utusannya itu, Abrahahh menyampaikan bahwa ia tidak
datang untuk memerangi mereka, namun ia datang hanya untuk menghancurkan
Ka'bah.
Jika mereka tidak menentangnya, maka
darah mereka tidak akan ditumpahkan. Lalu utusan itu menemui Abdul
Muthalib, ia
menceritakan tentang keinginan Abrahahh.
Abdul Muthalib berkata: "Kami tidak ingin memeranginya karena kami tidak
memiliki kekuatan. Ka'bah adalah rumah Allah SWT yang mulia dan suci,
dan
rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia mencegahnya, maka itu adalah
rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia membiarkannya, maka
demi Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankannya."
Kemudianutusan itu pergi bersama Abdul Mutihalib menuju Abrahahh.
Abdul Muthalib adalah seseorang
yang sangat terpandang dan sangat mulia. Ia
memiliki kewibawaan dan kehormatan yang mengagumkan. Ketika Abrahahh
melihatnya, Abrahahh menampakkan
penghormatan kepadanya. Abrahahh memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka bahwa ia
duduk bersamanya di kursi
kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari kursinya dan duduk di atas sebuah permadani dan mendudukkan
Abdul Muthalib di sisinya. Kemudian
ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan
padanya apa kebutuhannya?" Abdul Muthalib berkata: "Kebutuhanku adalah agar Abrahahh
mengembalikan dua ratus ekor unta
yang diambilnya dariku" Ketika Abdul Muthalib mengatakan demikian,
wajah Abrahahh berubah, lalu ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan padanya sungguh aku merasa kagum ketika melihatnya,
kemudian aku merasakan kehati-hatian saat berbicara dengannya, apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus ekor unta
yang telah aku ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang merupakan simbol agamanya dan kakek-kakeknya,
yang aku datang untuk
menghancurkannya dan dia tidak menyinggungnya sama sekali" Abdul Muthalib menjawab: "Aku adalah pemilik
unta, sedangkan pemilik rumah itu
adalah Tuhan yang melindunginya." Abrahahh berkata: "Dia tidak
akan mampu melindunginya dariku." Abdul
Muthalib menjawab: "Lihat saja nanti!"
Selesailah
dialog antara Abdul Muthalib dan Abrahahh. Abrahahh pun mengembalikan unta
yang telah dirampasnya. Abdul Muthalib pergi menemui orang-orang Quraisy dan
menceritakan apa yang dialaminya, dan ia memerintahkan mereka untuk
meninggalkan Mekah
dan berlindung dibalik gua-gua di gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan oleh pemiliknya. Aminah binti Wahab keluar ke
gunung-gunung di dekat kota Mekah kemudian malaikat turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan
memegangi pintu Ka'bah dan berdiri bersama
dengan sekelompok orang-orang Quraisy, mereka berdoa kepada Allah SWT
dan meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat memerintahkan
gajah-gajah tidak
melangkahkan kakinya sehingga gajah
itu pun tetap di tempatnya dan menaati perintah
para malaikat, kemudian gajah-gajah itu menerima pukulan yang dahsyat
namun gajah-gajah itu tetap
berdiam di tempatnya, gajah-gajah
itu tampak gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi gajah-gajah itu
menolak untuk bergerak dan tidak
bergerak selangkah pun. Abrahahh
bertanya: "Mengapa pasukan tidak bergerak?" Kemudian dikatakan kepadanya
bahwa gajah-gajah menolak
untuk bergerak. Abrahah mengangkat
cemetinya. Dengan muka emosi, ia ingin melihat apa yang sebenarnya
terjadi
dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu
bersinar dan ia duduk di kemahnya. Ketika ia keluar, matahari
bersembunyi di balik segerombolan burung. Abrahah mengangkat pandangannya ke arah
langit. Mula-mula ia membayangkan bahwa ia melihat sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia mengamat-amati awan itu. Dan ternyata
ia bukan awan biasa. Itu adalah
sekelompok burung yang menutupi cahaya matahari dan menyerupai awan yang
tebal. Burung ababil, burung yang banyak.
Gajah-gajah semakin berteriak dengan kencang
dan tampak ketakutan.
Dan rasa takut itu kini menghinggapi seluruh pasukan. Abrahah berteriak di tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan
untuk maju secara paksa. Kemudian terbukalah salah satu jendela dari jendela al-Jahim, dan burung-burung itu
menghujani pasukan dengan batu dari
Sijil, yaitu batu yang sama yang pernah dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu menyerupai bom-bom atom
yang digunakan saat ini.
Jika Anda membaca
buku-buku kuno, maka Anda akan mengetahui bagaimana peristiwa yang menimpa
pasukan Abrahah. Anda akan membayangkan bahwa Anda berada di hadapan suatu
kekuatan yang menghancurkan yang tidak diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali sebagian darinya
setelah empat belas abad dari peristiwa
tersebut. Buku-buku itu mengatakan bahwa pasukan itu dihancurkan dengan penghancuran yang dahsyat.
Para tentara Abrahah
kembali dalam keadaan binasa di mana daging-daging dari tubuh mereka berceceran di jalan. Abrahah
pun mendapatkan luka dan mereka keluar dari
tempat itu dalam keadaan dagingnya
terpisah satu persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati. Kemudian
jasad para pasukannya tersebar dan berceceran di bumi, seperti tanaman yang
dimakan oleh binatang. Setelah mendekati
setengah abad, turunlah suatu surah di Mekah yang menceritakan tentang
peristiwa itu:
"Apakah kamu
tidak memperhatikan bagimana Tuhanmu telah bertindak terhadap
tentara gajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk
menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada
mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka
dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadihan
mereka seperti daun yang dimakan (ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan gajah
yang ingin memporak-porandakan Mekah dikalahkan. Kemudian mereka
dihancurkan dan
Tuhan pemilik Ka'bah berhasil melindungi rumah suci-Nya. Perlindungan
tersebut
bukan sebagai penghormatan bagi orang yang tinggal di rumah itu dan
bukan sebagai bentuk pengkabulan
doa kaum yang menyembah berhala yang
memenuhi tempat itu. Allah SWT sebagai Pelindung Ka'bah memeliharanya
karena
adanya hikmah yang tinggi; Allah SWT
menginginkan sesuatu bagi rumah itu; Allah SWT ingin melindunginya agar
tempat itu menjadi tempat yang
damai bagi manusia dan supaya tempat
itu menjadi pusat dari akidah yang baru dan menjadi tanah bebas yang
aman, yang tidak dikuasai oleh seseorang pun dari luar dan juga tidak
didominasi oleh
pemerintahan asing yang akan membatasi
dakwah. Yang demikian itu karena di sana terdapat rumah dari rumah-rumah
di Mekah yang lahir di sana seorang anak
di mana ibunya bernama Aminah binti Wahab dan ayahnya adalah Abdullah,
salah
seorang tokoh Arab. Anak itu belum
dilahirkan dan belum dapat tugas kenabian dan ia belum memikul Islam di
atas pundaknya dan belum menjadi
rahmat bagi alam semesta. Kemudian datanglah Abrahah yang ingin
menghancurkan semua ini tanpa ia mengetahui semua rahasia
ini.
Tragedi yang
menimpa Abrahah adalah karena bahwa ia berusaha menentang
kehendak Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu menghancurkannya
dengan mukjizat yang mengagumkan. Datanglah banyak burung dengan membawa
batu-batuan yang tidak didengar suaranya. Kemudian burung-burung
melemparkan batu-batu itu kepada Abrahah
beserta tentaranya. Semua ini berdasarkan rencana Ilahi terhadap
rumah-Nya dan agama-Nya serta nabi-Nya sebelum
orang mengetahui bahwa Nabi Islam telah bersiap-siap untuk meninggalkan
tempat tidurnya di perut ibunya dan mulai memasuki
kehidupan yang keras di muka bumi.
Di
tengah-tengah kegembiraan Mekah karena keselamatan penghuninya dan
selamatnya Ka'bah, Aminah binti Wahab bermimpi: di tengah suatu malam ia
menyaksikan dirinya berdiri sendirian di tengah-tengah gurun, dan telah keluar
dari dirinya suatu cahaya besar yang menyinari timur dan barat dan terbentang
hingga
langit. Aminah tiba-tiba terbangun dari tidurnya namun ia tidak mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah hari demi
hari dari tahun gajah. Dan pada waktu sahur dari malam Senin hari
keduabelas dari bulan Rabiul Awal, Aminah melahirkan seorang anak kecil yang
yatim yang bernama Muhammad
bin Abdillah bin Abdul Muthalib, seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum ia dilahirkan, dunia mati
karena kehausan padanya. Kehausan dunia
sangat besar kepada cinta, rahmat, dan keadilan. Sekarang teiah berlalu
600 tahun dari kelahiran al-Masih dan orang-orang
Masehi telah menjauhi ajaran cinta, bahkan keyakinan-keyakinan
berhalaisme telah meresap kepada sebagian kelompok mereka dan kejernihan
ajaran tauhid telah ternodai. Sedangkan orang-orang Yahudi telah
meninggalkan
wasiat-wasiat Musa dan mereka kembali menyembah lembu yang terbuat dari
emas. Dan setiap orang dari mereka lebih
memilih untuk memiliki lembu emas
yang khusus. Demikianlah, berhalaisme telah menyerang di bumi. Bumi
dipenuhi oleh kegelapan. Akal
disingkirkan dan Tuhan diiupakan dan
mereka menyerahkan diri mereka kepada pembohong.
Ketika jantung dunia
telah terkena kekeringan, maka memancarlah dari timur suatu mata air
keimanan yang jernih yang menjadi puas dengannya separo dunia. Dan
mukjizat besar
terjadi ketika mata air ini
mengeluarkan air yang jernih dari jantung gurun yang paling besar
ketandusannya di dunia, yaitu gurun jazirah Arab. Berkenaan dengan
penggambaran masa tersebut, dalam
hadis yang mulia dikatakan:
"Sesungguhnya Allah melihat penduduk bumi lalu Dia murka kepada
mereka, baik orang-orang Arab maupun orang-orang
Ajam kecuali sebagian kecil dari Ahlulkitab."
Di tenda yang kasar, lahirlah seorang anak
yatim yang kemudian bertanggung jawab untuk
memberikan minum kepada dunia yang
haus pada cinta, keadilan, kebebasan, serta kebenaran. Sementara itu, beberapa langkah dari tempat
kelahirannya terdapat berhala-berhala yang memenuhi Baitul 'Athiq dan
sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail agar menjadi rumah Allah SWT dan Dia disembah di dalamnya dan
manusia merasa tenteram di dalamnya. Di rumah yang kuno ini—yang dibangun sebelumnya oleh Adam—dipenuhi patung-patung tuhan yang
terbuat dari batu dan kayu. Ini menunjukkan betapa akal orang-orang Arab saat itu mengalami titik terendah.
Sementara itu
nun jauh di sana, tepatnya di Yatsrib atau Madinah dipenuhi oleh
orang-orang Yahudi yang mereka datang di sana karena melarikan diri dari penindasan orang-orang
Romawi. Mereka tinggal di situ bagaikan
srigala-srigala di atas tanah yang tersubur di mana mereka melakukan
monopoli dalam perdagangan. Mereka membagun
kejayaan mereka dengan memanfaatkan orang-orang Arab dan keheranan mereka terhadap diri mereka sendiri.
Para cendikiawan
Yahudi memperdagangkan segala sesuatu, dimulai dari emas sampai Taurat.
Mereka menyembunyikan kertas-kertas darinya dan menampakkan sebagiannya;
mereka mengubah kertas-kertas Taurat itu untuk memperkaya diri mereka. Pada
saat orang-orang Yahudi menyembah emas dan sangat lihai melakukan persekongkolan,
orang-orang Arab justru menyembah batu dan mereka pandai
berperang. Mereka juga lihai dalam membuat syair lalu menggantungkannya
di atas tirai-tirai Ka'bah. Orang-orang Arab hidup di bawah naungan sistem
kesukuan di mana kepala suku adalah pemimpin dan nilainya sebanding
dengan anak buahnya, dan kemampuan mereka dalam berperang. Dan
keutamaan seseorang dilihat dari asal muasalnya serta nilainya juga dilihat
dari kefanatikannya serta kebanggannya kepada nasab yang merupakan
kemuliannya, juga kefanatikannya terhadap berhala tertentu yang merupakan
agamanya. Jadi, segala bentuk kemuliaan dan kewibawaan tidak
terbentuk kecuali dalam ruang lingkup yang sempit dalam kabilah atau kesukuan.
Sedangkan di
tempat yang jauh dari Mekah, Romawi menyerupai burung rajawali
yang lemah, namun belum sampai kehilangan kekuatannya.
Orang-orang Romawi sangat menyanjung kekuatan. Sedangkan di belahan
timur dari utara negeri Arab, orang-orang Persia menyembah api dan air. Api tetap
menyala di tempat peribadatan mereka di mana manusia rukuk untuknya. Dan di
sana terdapat danau Sawah yang dianggap suci oleh mereka.
Sementara itu, Kisra, raja kaum Persia
duduk di atas singgasananya dan memberikan
keputusan terhadap manusia. Keputusan Kisra
selalu didengar dan dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang berani
menentangnya dan menolaknya. Orang-orang Persia berhasil mengalahkan
Romawi dan Yunani, sehingga mereka menjadi kekuatan yang dahsyat di muka
bumi. Meskipun
mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, namun penyembahan api
jelas-jelas
menunjukkan betapa bodohnya mereka dan betapa kekuatan mereka diliputi
oleh kebodohan sehingga akal mereka tercabut dan mereka
terhalangi untuk mencapai kebenaran. Alhasil, kegelapan semakin
meningkat di setiap penjuru bumi dan kehidupan berubah menjadi
hutan yang lebat di mana di dalamnya seorang yang kuat akan
menyingkirkan seorang yang lemah dan di dalamnya yang menang adalah
kebatilan.
Di
tengah-tengah suasana yang demikian kelam, lahirlah seorang anak di tenda
Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka padamlah api yang disembah oleh kaum
Persia dan keringlah danau Sawah yang disucikan oleh manusia, bahkan robohlah
empat belas loteng dari istana Kisra. Dan setan merasa bahwa penderitaan yang
besar telah merobek-robek hatinya. Ini semua sebagai simbol dimulainya
kehancuran kejahatan atau keburukan di muka bumi dan terbebasnya akal
manusia dari penyembahan terhadap sesama manusia atau terhadap hal-hal yang
bersifat khurafat. Manusia diajak hanya untuk menyembah kepada Allah
SWT. Kelahiran Rasul sebagai bukti hilangnya kelaliman, sebagaimana kelahiran
Nabi Musa yang menunjukkan kebebasan Bani Israil dari kelaliman Fir'aun.
Ajaran
Muhammad bin Abdillah merupakan ajaran revolusi yang paling meyakinkan
dan yang
paling penting yang pernah dikenal di dunia; ajaran yang bertugas untuk
menyelamatkan dan membebaskan akal dan materi. Tentara Al-Qur'an
adalah tentara yang paling adil dan
paling berani untuk menghancurkan orang-orang yang lalim. Kita akan
melihat dalam sejarah Nabi bahwa
kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi Ka'bah sebelum
kelahirannya. Kemudian terjadilah peristiwa luar
biasa setelah kelahirannya di mana terjadilah peristiwa pembelahan dada
pada saat beliau masih kecil, begitu juga
beliau dinaungi oleh awan di waktu kecil,
bahkan beliau terkenal pada saat masih kecil dengan kecenderungan untuk
meninggalkan permainan-permainan
yang biasa dimainkan oleh anak-anak
kecil seusia beliau. Allah SWT memberikan penjagaan khusus kepadanya
sehingga Jibril as turun kepadanya dengan
membawa wahyu.
Selanjutnya,
mukjizatnya yang pertama adalah mukjizat yang terdapat pada kepribadiannya dan
pemikiran-pemikirannya. Itulah yang menjadi mukjizatnya yang terbesar
setelah Al-Qur'an; itu adalah bangunan ruhani yang tinggi di mana beliau mampu menahan penderitaan di jalan Allah SWT. Dan dalam
menegakkan kebenaran, beliau memikul berbagai macam rintangan. Beliau
melaksanakan amanat yang diembannya secara
sempuma dan sebaik-baik mungkin. Hal yang indah yang dikatakan tentang
mukjizat Nabi setelah diutusnya beliau
adalah bahwa beliau tidak mempunyai mukjizat
selain usaha membebaskan akal: tanpa memiliki kekuatan luar biasa selain membebaskan pikiran, tanpa
dalil selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan Isa
bin Maryam telah berdakwah dan mengajak manusia untuk menciptakan kesamaan,
persaudaraan, dan cinta kasih di antara mereka, namun Muhammad saw
diberi karunia untuk
mewujudkan persamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara orang-orang mukmin di tengah-tengah kehidupannya dan setelah
kehidupannya.
Ketika Nabi Isa mampu
menghidupkan orang-orang yang mati dan mengeluarkan mereka dari kuburan,
Muhammad bin Abdillah menghidupkan orang-orang hidup dari kematian mereka yang tidak pernah mereka sadari. Itu
adalah bentuk kematian yang paling berat. Beliau juga mengeluarkan rnereka dari
kegelapan dan kebodohan menuju cahaya ilmu,
dan dari belenggu syirik dan kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman sebagai
seorang Nabi dan raja mampu memperkerjakan jin untuk mengabdi padanya,
bahkan mereka mampu terbang
beribu-ribu mil untuk menghadirkan
singgasana musuh-musuhnya agar mereka semua tercengang terhadap
kemampuannya,
sehingga mereka masuk Islam. Namun
Muhammad saw justru mengabdi kepada
Islam hanya sebagai seorang tentara yang sederhana. Beliau mengetahui
bahwa ketika beliau lalai sesaat saja dari dakwah di jalan Allah SWT,
maka kesempatannya dalam menyebarkan agama Islam akan hilang.
Di saat
terjadi peristiwa besar dalam peperangan, tiba-tiba azan salat dikumandangkan,
sehingga para pasukan yang berperang mengerjakan salat. Tidak ada malaikat
yang turun untuk melindungi mereka ketika salat atau mencegah
datangnya anak-anak panah dari punggung mereka saat sujud. Karena itu,
hendaklah para pasukan melindungi dirinya sendiri. Para pasukan mukmin berusaha
salat
secara bergantian: sebagian mereka salat dan sebagian mereka bertugas
untuk menjaga.
Allah SWT
berfirman:
"Dan apabila
kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan
dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata,
kemudian apabila mereka sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka
hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi
musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin agar kamu
lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu,
lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah
masalah itu dan tidak adak malaikat yang turun untuk melindunginya
dan menolongnya. Ini adalah masa kematangan akal dan masa keletihan para
nabi dan orang-orang mukmin. Dan sesuai kadar keletihan mereka dalam
menyampaikan ajaran Islam, mereka pun akan mendapatkan balasan yang
besar.
Pada masa
para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, mereka menghadirkan
mukjizat-mukjizat kepada kaum mereka saat memulai dakwah, sehingga
kaum tersebut mempercayai apa saja yang mereka bawa, sedangkan Nabi Muhammad
bin Abdillah tidak menghadirkan kepada kaumnya selain dirinya dan ketulusannya.
Allah SWT
telah memutuskan untuk melindungi Musa dan memerintahkannya untuk mengangkat
gunung di atas kaumnya hingga mereka beriman kepada Taurat, atau untuk menjatuhkan
gunung
tersebut di atas mereka. Ketika mengetahui hal yang Demikian itu,
orang-orang Yahudi sujud dengan meletakkan pipi mereka di atas tanah dan mereka
mengamati bukit batu yang berada di atas kepala mereka yang diangkat oleh
tangan yang tersembunyi. Sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah tak
pernah memaksa seseorang pun. Berimanlah beberapa orang kepadanya dan
puaslah beberapa orang kepadanya dan matilah bersamanya orang-orang yang mati
dalam keadaan puas. Beliau tidak membawa pedang kecuali saat panah
yang beracun mendekati jantung Islam dan mengancamnya.
Dakwah para nabi menuntut terjadinya
mukjizat demi mukjizat. Ini karena masa kekanak-kanakan manusia serta
kelemahan akal dan hilangnya panca indera menuntut rahmat Allah
SWT untuk mendatangkan mukjizat yang sesuai dengan masa turunnya
mukjizat tersebut dan budaya masyarakat setempat.
Adalah hal yang maklum bahwa di tengah-tengah penduduk Mekah saat itu
tidak terdapat orang-orang yang cerdas atau
orang-orang yang bijak yang mampu menyerap kata-kata yang baik. Dan
kesulitan
yang dihadapi oleh Islam adalah bahwa ia tidak diturankan pada masa ini
saja, tetapi Islam diturunkan untuk setiap
masa. Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah memasuki masa kematangan
berpikir yang mengagumkan, maka hikmah-Nya menuntut
bahwa pernyataan yang pertama kali disebutkan dalam risalah-Nya adalah "iqra'"
(bacalah). Di samping itu, risalah
tersebut mengandung pemikiran yang universal, sistem yang membangun, dan
hukum yang mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan manusia yang sempurna.
Adalah tidak
mengurangi kehormatan para nabi sebelum Nabi Muhammad saw di mana
mereka tidak diutus di masa-masa kematangan pemikiran, tetapi yang menambah
kehormatan Nabi Muhammad saw bahwa beliau diutus di tengah-tengah masa kematangan berpikir, dan
beliau diutus sebelum datangnya masa ini. Beliau memikul
berbagai lipat cobaan yang pernah dipikul oleh para nabi; beliau berdakwah
dengan menanggung berbagai lipat godaan dan cobaan; beliau mengalami siksaan
yang pernah dialami oleh semua para nabi; beliau mencintai Allah SWT
sebagaimana para nabi mencintai-Nya. Allah SWT memuliakannya ketika
beliau mengimami mereka di saat salat pada saat beliau melakukan Isra' dan Mi'raj.
Meskipun demikian, ketika beliau keluar pada suatu hari menemui sahabat-sahabatnya
dan mendapati mereka mengutamakan para nabi dan mendahulukannya atas
mereka, maka beliau justru menampakkan kemarahan dan wajahnya berubah. Beliau
berkata: "Janganlah kalian mengutamakan aku atas Yunus bin
Mata."
Melalui pernyataan itu, beliau berusaha
meletakkan suatu pondasi pemikiran yang harus dilalui oleh kaum Muslim di
mana para nabi memang memiliki derajat tertentu di sisi Allah SWT. Boleh jadi ada
nabi yang lebih afdal atau yang lebih mulia daripada yang lain. Siapakah yang
menetapkan hal itu? Tidak ada seorang pun selain Allah SWT. Ada
pun kaum Muslim hendaklah mereka berhenti pada batas tertentu yang seharusnya
mereka berikan berkaitan dengan sopan santun terhadap para nabi. Selama
Allah SWT menyampaikan shalawat kepada rasul sebagai bentuk penghormatan dan
memerintahkan mereka untuk menyampaikan shalawat kepadanya, dan
selama Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain, maka hendaklah mereka
juga bershalawat kepada semua nabi tanpa perbedaan, meskipun pada
bentuk shalawat itu sendiri.
Sementara
itu, bayi yang mungil itu yang lahir di Mekah bergerak setelah tahun
gajah. Kemudian berita tersebar di sana sini dan Sampailah ke
telinga kakeknya bahwa cucunya telah dilahirkan. Abdul Muthalib segera menuju ke tempat itu
dan membawa cucunya yang yatim lalu
berkeliling dengannya di Ka'bah sambil memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak
merasa terpukau dengan nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia tampak
bingung menentukan nama yang paling tepat buat cucunya, bahkan kebingungannya itu berlanjut sampai enam hari,
sehingga sang Nabi disunat. Ketika malam telah menyelimuti kawasan Mekah,
datanglah kepadanya suara yang sama yang dulu pernah dilihatnya dan didengarnya yang memerintahkannya untuk
menggali zamzam. Di tengah-tengah
tidurnya, suara itu membisikkan kepadanya bahwa nama cucunya berasal
dari al-Ham, yang berarti Muhammad atau
Ahmad.
Orang-orang
Quraisy bertanya kepada Abdul Muthalib: "Nama apa yang engkau
berikan kepada cucumu?" Abdul Muthalib menjawab sambil mengingat bisikan suara
yang didengarnya saat mimpi,
"Muhammad." Nama tersebut sebenamya tidak umum di kalangan orang-orang Jahilliyah. Mereka bertanya,
"Mengapa Abdul Muthalib tidak memakai narna-nama kakek-kakeknya dan
nama-nama yang biasa dipakai di kalangan
mereka." Abdul Muthalib menjawab:
"Aku ingin Allah SWT memujinya di langit dan manusia memujinya di bumi."
Kami tidak mengetahui dorongan apa yang
mendikte Abdul Muthalib
untuk menyatakan kalimat tersebut. Apakah kalimat itu bersumber dari
realitas kebanggaan orang-orang Arab yang populer atau berasal dari
realitas kebanggaan tradisional?
Atau, apakah berangkat dari realitas kegembiraan yang dalam dengan
kelahiran si cucu, ataukah kalimat itu
bersumber dari suasana ruhani yang jernih dan bisikan alam gaib? Tentu
kami
tidak bisa menjawab. Yang dapat kami
ketahui adalah bahwa seseorang tidak akan layak menyandang predikat
manusia
yang dipuji di bumi dan dipuji oleh Allah
SWT di langit seperti predikat yang disandang oleh Muhammad bin
Abdillah.
Nabi
Muhammad saw muncul ke alam wujud dalam keadaan yatim. Beliau
ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih janin di dalam perut ibunya. Allah SWT berfirman:
"Bukankah Dia mendapatimu
sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?"
(QS. adh-Dhuha: 6)
Allah SWT
melindunginya. Orang-orang sufi mengatakan bahwa sebab-sebab
kemanusiaan seperti adanya kakeknya Abdul Muthalib dan
bagaimana ia mengasuhnya dan melindunginya tidak lain hanya bentuk
lahiriah yang tidak begitu penting, sedangkan bentuk batiniah yang
sebenarnya adalah kita berada di hadapan manusia yang dilindungi dan
diasuh
oleh Tuhannya sejak masih kecil. Allah SWT mendidiknya saat beliau
masih kecil, dan mengujinya dengan keyatiman saat beliau masih janin
serta mengujinya dengan
kelaparan sejak masih kecil, dan dewasa dengan kematian si ibu, saat
beliau masih kecil dengan keterasingan di tengah-tengah keramaian, dan
dengan terjaga di tengah-tengah
tidur serta dengan penderitaan demi penderitaan. Allah SWT telah
menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul beban risalah terakhir.
Selanjutnya, ibunya
seringkali memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa
banyak dari wanita-wanita yang menyusui tidak berkenan untuk mengasuhnya.
Adalah sudah menjadi tradisi yang berkembang di Mekah di mana
keluarga-keluarga yang mulia mengirim anaknya ke kawasan dusun agar anak
tersebut menyerap dan menghirup udara segar serta memperoleh mainan yang
memadai. Dan biasanya wanita-wanita yang menyusui anak-anak lebih tertarik
menyusui anak-anak dari orang-orang kaya. Namun ketika pemimpin manusia
seorang yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa menyusui tidak berminat
kepadanya.
Marilah kita
telusuri bagaimana Halimah binti Abi Duaib menceritakan kisahnya bersama
anak
kecil yang disusuinya: "Saat itu terjadi musim tandus dan kami tidak
memiliki sesuatu sehingga aku dan suamiku mengalami kemiskinan yang luar
biasa. Lalu kami menetapkan
keluar ke Mekah dan menemani wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami semua
mencari anak-anak yang masih menvusu agar orang tua mereka dapat
membantu kami untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang yang aku tunggangi sangat
lemah dan sangat kurus yang itu semua
disebabkan oleh kekurangan makanan. Bahkan kami khawatir kalau-kalau ia
berhenti di tengah perjalanan dan mati. Dan kami tidak tidur semalaman
karena
melihat kondisi anak kecil yang
bersama kami. Ia menangis karena tidak menemukan makanan yang dapat
dimakannya. Ia menangis karena kelaparan dan
tidak mendapat air susu, baik dari air susuku maupun air susu unta yang
dibawa oleh suamiku, sehingga kami tidak
dapat memuaskan dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan
keputusasaan. Aku bertanya-tanya bagaimana aku
dapat melakukan sesuatu dalam
keadaan yang demikian.
Akhirnya,
kami sampai di Mekah. Sementara itu, wanita-wanita yang ingin mencari
anak-anak yang dapat mereka susui telah mendahului kami. Mereka mengambil anak-anak
kecil yang mereka sukai, kecuali satu anak,
yaitu Muhammad di mana ayahnya telah meninggal
dan ia berasal dari keluarga yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya sangat mulia di antara tokoh-tokoh
Quraisy. Oleh karena itu,
wanita-wanita enggan untuk mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak sepaham dengan mereka karena aku
tidak peduli dengan keyatiman dan kcfakirannya. Kemudian aku malu untuk kembali dan tidak mengambil bayi
yang dapat aku susui kemudian. Di samping
itu, aku malu jika mendapat cercaan dari wanita-wanita itu. Lalu aku merasakan
adanya kasih sayang yang memenuhi hatiku terhadap anak kecil yang tampan
itu yang akan diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah
tersebut mengatakan bahwa saat anak-anak kecil mendapatkan wanita-wanita
yang menyusuinya, maka Muhammad bin Abdillah sedang tidur dalam keadaan lapar di
ranjangnya yang kasar, tanpa disusui oleh siapa pun. Suatu hikmah yang
tinggi berkehendak agar bayi yang masih menyusui itu menghadapi dunia dalam keadaan yatim dan dalam
keadaan kelaparan agar ia dapat merasakan
penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang yang lapar sebelum ia
menyelamatkan mereka.
Halimah
mengatakan bahwa ia meyakinkan suaminya bahwa ia merasakan keinginan
yang kuat untuk mengambil anak yatim ini, sehingga suaminya
menyetujuinya. Halimah tidak mengetahui rahasia keinginannya yang samar agar
ia kembali untuk mengambil anak yatirn yang masih menyusu ini. Ia tidak
mengetahui bahwa Allah SWT telah menanamkan rasa cinta kepada anak kecil
itu dalam hatinya seperti Allah SWT menanamkan cinta kepada Musa pada hati
isteri Fir'aun. Jika Musa menolak wanita-wanita lain untuk menyusuinya
kecuali ibunya setelah Allah SWT mencegahnya dari susuan wanita-wanita
lain agar ibunya merasa bahagia dan tidak bersedih, maka
Muhammad bin Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan mulia—-justru
ditolak oleh wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia sendiri tidak pernah menolak seseorang pun.
Halimah kembali
kepadanya dan ia memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya. Nabi
Muhammad saw adalah seorang yang mulia. Halimah meletakkan tangannya di
dadanya, sehingga anak kecil itu tertawa. Halimah mencium di antara kedua
matanya. la meletakkannya di kamarnya. Halimah mengetahui bahwa kedua air
susunya telah kering, namun tiba-tiba air susunya memancar dengan keras sebagai
bentuk kasih sayang dan tanda kebesaran dari Allah SWT. Kini Halimah pun
dapat menyusuinya. Apakah itu merupakan hikmah yang tinggi di mana
anak kecil tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang sedikit? Ataukah anak
kecil itu sudah dapat mendidik dirinya untuk zuhud dan qanaah sebelum ia
mendidik orang-orang dewasa tentang pengorbanan dan kesatriaan?
Halimah kembali ke
gurun Bani Sa'ad dan ia membawa Muhammad bin Abdillah. Belum lama ia
menyaksikan tanahnya yang
tandus sehingga tiba-tiba kebaikan dunia terbuka dan mekar di hadapanya, di mana bumi dipenuhi dengan
kehijau-hijauan setelah mengalami masa tandus. Pohon-pohon berbuah dan
buah kurma tampak berseri-seri setelah
sebelumnya layu, bahkan susu-susu binatang
pun mulai tampak banyak. Allah SWT memberikan berkah-Nya kepada tempat tersebut. Halimah mengetahui bahwa kabaikan ini
telah datang bersama kedatangan anak kecil yang diberkahi, sehingga
cintanya kepada anak itu semakin bertambah. Bahkan
suaminya pun menjadi tawanan cinta yang lain kepada Muhammad saw.
Pada suatu hari ia berkata kepada
isterinya: "Apakah engkau mengetahui
wahai Halimah bahwa engkau telah mengambil seorang anak yang mulia?"
Halimah berkata: "Anak kecil itu
tidak menangis dan tidak berteriak kecuali ketika ia telanjang." Ketika
anak kecil itu gelisah di tengah malam dan tidak
tidur, maka Halimah membawanya
keluar dari kemah dan ia berhenti bersamanya di bawah sinar bintang.
Saat itu anak itu tampak bergembira ketika menyaksikan langit. Setelah
kedua matanya
terpuaskan oleh pandangan ke arah
langit, ia pun mulai tidur.
Ketika anak
itu mencapai tahun yang kedua, maka ia telah disapih, sehingga ibunya
ingin mengambilnya, tetapi Halimah tidak kuat untuk menahan perpisahan
ini.
Halimah menjatuhkan dirinya di hadapan kedua kaki sang ibu dan ia mulai
menciuminya dan ia meminta agar membiarkannya bersama anaknya
sehingga anak itu benar-benar kuat
dan dapat kembali menghirup udara segar gurun. Akhirnya, Rasulullah saw
tinggal di tempat Bani Sa'ad sampai lima
tahun. Dan pada masa lima tahun ini terjadi peristiwa penting yang
terkenal dengan peristiwa pembelahan dada.
Kehendak Ilahi telah menetapkan kepada
Ruhul Amin, yaitu Jibril untuk menemui Muhammad bin Abdillah dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi
serta menyuci hatinya dengan rahmat dan mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan bagian dunia darinya.
Seperti biasanya Rasulullah saw keluar
pada suatu hari bersama saudara susuannya
dengan menunggangi sekawanan domba menuju
tempat pengembalaan. Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam keadaan takut dan menangis sambil
berteriak bahwa Muhammad telah
terbunuh. Muhammad diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju yang putih lalu kedua orang itu menelentangkannya
dan membelah dadanya.
Mendengar hal itu,
Halimah sangat kaget dan terpukul. Ia segera pergi sambil
berlari mencari Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang mengikuti
petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad. Akhirnya, mereka menemukan Muhammad sedang
duduk di atas tanah di mana wajahnya tampak
pucat dan kedua matanya menyala.
Halimah dan
suaminya mencium dengan lembut dan mulai menampakkan kasih sayangnya.
Kemudian
mereka bertanya, "apa yang terjadi?" Muhammad menjawab: "Ketika
aku memperhatikan domba-domba yang sedang bermain aku dikagetkan dengan
kedatangan dua orang yang memakai
pakaian yang putih. Mula-mula aku menyangka
bahwa mereka adalah burung yang besar, namun
ternyata aku salah. Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal yang
memakai pakaian warna putih. Salah
seorang dari mereka berkata kepada temannya dengan menunjuk ke arahku,
"Apakah ini anaknya?" Yang lain
menjawab, "benar." Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu mereka
mengambilku dan menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka
mengambil sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya
jauh-jauh. Setelah itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Anas dan juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Para mufasir
berbeda pendapat tentang simbolisme yang dalam
ini. Sebagaian besar ulama menakwilkan peristiwa
tersebut. Pakar-pakar klasik, seperti Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu diisyaratkan oleh firman-Nya:
"Bukankah Kami telah
melapangkan untukmu dadamu?. "
(QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan
tokoh-tokoh hadis, seperti Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa
seperti Muhammad saw tidak mungkin terlepas dari bimbingan Ilahi dan
tidak
mungkin terkena waswas sekecil apa pun yang biasa menimpa manusia biasa.
Jika
suatu kejahatan
menjadi suatu gelombang yang memenuhi cakrawala, maka di sana terdapat
hati yang segera memungutnya dan terpengaruh dengannya, namun hati para
nabi dengan adanya
bimbingan Allah SWT tidak akan
terpanggil dan tidak terkena arus kejahatan tersebut.
Dengan demikian, usaha para nabi terfokus
pada peningkatan kemajuan atau ketinggian,
bukan memerangi kerendahan. Diriwayatkan
oleh Abdillah bin Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seseorang di antara kalian kecuali
ia diawasi oleh temannya dari
kalangan jin dan temannya dan dari kalangan malaikat." Para sahabat berkata: "Apakah hal itu juga
berlaku kepadamu wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah SWT membantuku, sehingga ia
berserah diri dan tidak memerintahkan kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah sikap orang-orang yang
dahulu dan para ahli hadis berkaitan dengan peristiwa pembelahan dada.
Kami
kira bahwa kejadian yang luar biasa tersebut
berhubungan dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Ia
merupakan perjalanan di mana Rasulullah saw
akan menebus alam angkasa dan akan mencapai alam langit. Kemudian beliau
akan melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha yang di
sana terdapat
Janatul Ma'wah.
Pandangan
tersebut kembali kepada pendapat kami yang mengatakan bahwa
peristiwa pembelahan dada berulang lebih dari sekali saat Rasul
saw mencapai usia lima puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada
terjadi kedua kalinya pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari
meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan
kepada mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau bersabda:
"Ketika aku berada di Hathim—atau beliau berkata di Hijr—saat aku
dalam keadaan antara tidur dan bangun, maka seorang datang
kepadaku lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan dan
perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan hatiku dan membawa mangkok dari emas yang
penuh dengan keimanan lalu ia menyuci hatiku. Kemudian diulanginya."
Kami kira bahwa
pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan
kesucian Rasul saw dan sebagai bentuk penyiapannya untuk melalui
Isra' dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan dari Ilahi bahwa
anak ini akan mencapai suatu kedudukan yang belum pernah dicapai oleh manusia dan
tidak akan dicapai manusia sesudahnya.
Setelah peritiwa pembelahan dada, berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian besar waktunya digunakan
untuk merenung dan menyendiri. Dari roman wajahnya tampak keseriusan yang biasanya menghiasi wajah
orang-orang dewasa.
Berlalulah hari demi
hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama Halimah di
dusun Bani Sa'ad. Beliau sangat terpengaruh dan sangat terkesan dengan
keadaan di sana. Diriwayatkan bahwa beliau pemah mengingat masa kecilnya
di Bani Sa'ad dan beliau membanggakannya. Beliau menyebutkan pengorbanan mereka
dan sikap mereka yang baik. Beliau berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad,
tanpa bermaksud menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan
salah seorang mereka lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara
mereka."
Kemudian
Muhammad bin Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima tahun. Beliau
hidup
beberapa hari bersama ibunya di mana si ibu merasakan kesedihan yang
dalam
atas kepergian ayahnya. Sesuai janji untuk mengingat ayahnya yang telah
pergi, Aminah
menetapkan untuk mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah
dan Yatsrib lebih dari lima ratus kilo meter di
gurun yang kering yang jauh dari tanda-tanda kehidupan. Anak itu
menempuh peijalanan yang berat. Setelah perjalanan
yang berat ini, Muhammad bin
Abdillah tinggal di tempat paman-paman dari ibunya di Madinah selama
satu
bulan. Muhammad melihat rumah yang di
situ ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah bersama
ibunya ke kuburan yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di dalamnya.
Mula-mula pikirannya terfokus pada keadaan yatim sambil ia mulai
memperhatikan linangan air
mata ibunya yang diam.
Selesailah
masa satu bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya
menemaninya untuk kembali ke Mekah. Kedua anak manusia itu sampai di
pertengahan
jalan. Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui rahasia kepucatan wajah
ibunya. Lalu
malaikatul maut turun di suatu tempat yang yang bernama Abwa. Di situlah
Aminah binti Wahab telah bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT.
Sang ibu
meninggal dan meninggalkan anak satu-satunya bersama seorang pembantu. Pembantu itu
menampakkan rasa kasihnya terhadap anak
kecil yang kehilangan ayahnya saat masih janin dan kehilangan ibunya
saat berusia enam tahun. Muhammad bin Abdillah
kini menjadi sendiri dan ia dalam keadaan menangis. Ia mencapai kematangan setelah ia melewati kesedihan
kehidupan dan kerasnya kehidupan
sebagai anak yatim.
Rasulullah
saw pernah ditanya setelah masa diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?"
Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah
dasar agamaku. Cinta adalah pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan adalah
temanku."
Allah SWT telah
menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan sehingga beliau dapat memberikan
kepada manusia buah dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak kecil itu
kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak terpaku. Lalu Abdul
Muthalib,
kakeknya menampakkan cinta yang luar biasa
dan penghormatan padanya. Setelah dua tahun
ketika Muhammad bin Abdillah berusia delapan tahun, maka meninggallah
salah satu benteng yang terbaik yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul
Muthalib. Kemudian anak kecil itu kini merenungi kakeknya laksana orang
dewasa. Ia tampak
tegar seperti layaknya orang dewasa.
Kita tidak
mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah Allah SWT
mencegah Nabi yang terakhir untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah,
kasih
sayang seorang ibu, dan bimbingan seorang
kakek? Apakah Allah SWT ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih
sayang dan cinta yang semata-mata bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah
SWT ingin
mendidiknya dengan kesedihan dan
memberinya perasaan-perasaan yang penuh dengan penderitaan? Apakah Allah
SWT ingin membuat hati Rasul-Nya hanya tertuju kepadanya? Dahulu Allah
SWT berkata
kepada Musa:
"Dan Aku telah
memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu Allah SWT memberi kabar
gembira kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana Isa memberi kabar gembira di
dalam Injil dengan kedatangan seorang Nabi
setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi Musa meminta kepada Tuhannya
agar memberinya dan memberi umatnya puncak
keutamaan, lalu Allah SWT menjawab
bahwa Dia telah menetapkan keutamaan ini kepada Nabi yang terakhir Ahmad
dan umatnya.
Allah SWT
telah memilih Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak
mencegahnya untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan
mendidiknya di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia berkehendak
untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih sayang
seorang manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi tersebut hanya
mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT
berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan
Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai
seorang yang kekurangan, lalu Dia
memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak
yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah
kamu menghardiknya. Dan terhadap
nikmat Tuhanmu maha hendaklah kamu menyebut-nyebutnya
(dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna ayat tersebut
secara harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah SWT
melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu Allah SWT memberinya
petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT memampukannya. Allah
SWT melindunginya dengan mengasuhnya,
membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan yang tidak
pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah
kematian kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT
telah meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga
pamannya mengutamakan Muhammad saw daripada anak-anaknya dan
memuliakannya serta menghormatinya, bahkan Abu Thalib mendudukkannya di
ranjangnya yang biasa dibentangkannya di hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun yang duduk selainnya.
Muhammad bin Abdillah hidup di
jantung gurun Mekah sebagai seorang yang
memiliki kesadaran yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum yang mabuk-mabukan dan para penyembah
berhala serta para pedagang minuman keras dan para syair dan orang-orang yang
berperang dan tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad bin
Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya semakin dewasa, maka ia
bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara kecuali jika diajak seseorang
berbicara; beliau tidak terlibat dalam permainan hura-hura anak-anak
muda; beliau merasakan kesedihan yang dalam; beliau sering menyendiri dan membuka matanya
di hamparan pasir-pasir. Mulutnya terdiam dan akalnya berpikir. Beliau
merenungkan di masa kecilnya bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan
terpukau dengannya; bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada
batu-batu yang tidak memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak
dapat melakukan apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian
yang fitri terhadap dunia berhala dan patung.
Di dalam dirinya
terdapat penghinaan yang besar terhadap sembahan-sembahan dari
batu ini, suatu penghinaan yang menjadikannya tidak mau mendekat
selama-lamanya terhadap patung tersebut. Namun hatinya yang besar
dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat dari kesedihan kakeknya
Ibrahim.
Beliau sedih karena akal manusia
menyembah batu dan emas, kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau
mendengar apa yang dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan
dan keadaan
masyarakat; beliau juga menyaksikan
betapa banyak pertentangan dan perkelahian di antara manusia yang justru
disebabkan oleh masalah-masalah yang
sepele, sehingga keheranan beliau semakin bertambah dan sudah barang
tentu kesedihannya
pun semakin dalam. Tidakkah manusia
mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya, ibunya, dan kakeknya?
Mengapa mereka menimbulkan pertentangan
ini, hingga mereka mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika
usianya semakin bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya dalam hidup,
dan sepak terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak sama
dengan seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu. Meskipun kami kira
bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau tidak
mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang pun. Beliau belum bertujuan untuk memperbaiki
masyarakat atau kemanusiaan. Benar bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis timbul
dalam benaknya dan ingin segera menemukan
jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat
menemukan jawaban atau jalan keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS.
adh-Dhuha: 7)
Yang dimaksud
ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam menafsirkan kejahatan dan usaha
melawannya karena ketiadaan senjata dan kecilnya usia. Semua itu justru
menambah sikap diam anak kecil itu dan
menjauhkannya dari dunia yang akan mencemari akal, sehingga akalnya
selamat dari segala noda dan tetap di bawah
naungan kejernihannya.
Anak kecil itu tetap
jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya yang berupa
kecenderungan untuk menyembah berhala dan cinta kekuasaan dan
kebanggaan. Ia selalu
mendekat dan lebih mendekat kepada
hakikatnya yang suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan jiwanya
yang bersih dan rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada manusia,
bahkan
kepada binatang dan burung. Ketika ia duduk
akan makan lalu ada burung merpati berkeliling
di seputar makanannya rnaka ia meninggalkan makanannya untuk burung itu.
Pada saat orang-orang memukul anjing yang mendekat kepada makanan
mereka, maka ia
justru mencabut suapan yang ada di
mulutnya dan memberikannya pada anjing, kucing, anak-anak kecil, dan
orang-orang fakir. Bahkan seringkali di
waktu malam ia tidur dalam keadaan lapar karena ia memberikan makanannya
ke orang lain.
Muhammad saw
adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan, maka beliau
bekerja sebagai
pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi
Musa, dan nabi-nabi yang lain yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian
beliau melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu Thalib menuju
Syam saat
beliau berusia tiga belas tahun.
Beliau menyaksikan keadaan umat-umat yang lain, maka keheranannya
semakin bertambah terhadap masa jahiliyah ini.
Ketika beliau menyaksikan orang-orang tersesat, maka kesedihannya
semakin
bertambah dan hatinya semakin tersentuh dan pikirannya semakin dalam.
Pada saat
perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa terhadap anak kecil itu. Kemungkinan besar
itu justru menambah kebingungannya. Seorang
pendeta yang bernama Buhaira berdiri di jendela rumah yang menjadi tempat
peribadatannya di Suria. Tiba-tiba ia
memperhatikan suatu awan putih—tidak seperti biasanya—yang
menghiasai langit yang biru. Saat itu udara sangat terang, sehingga
munculnya awan tersebut sangat mengherankan. Kemudian pandangan
Buhaira yang tertuju ke langit, kini tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu
menyerupai burung yang putih yang menaungi
kafilah kecil yang menuju ke arah utara. Buhaira memperhatikan bahwa
awan tersebut mengikuti kafilah.
Jantung
Buhaira berdebar dengan keras karena ia mengetahui melalui buku-buku
peninggalan kaum Masehi yang otentik bahwa seorang nabi akan
muncul ke dunia setelah Isa. Sifat dan kabar nabi tersebut diceritakan dalam buku-buku
kuno. Buhaira segera meninggalkan tempatnya,
lalu ia segera memerintahkan untuk menyiapkan
makanan yang besar. Kemudian ia mengutus seseorang untuk menemui kafilah tersebut dan mengundang
mereka untuk jamuan makan. Salah seorang
mereka berkata dengan nada bercanda
kepada Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai
Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian kepada kami, padahal
kami telah melewati dan singgah di tempat ini
lebih dari sekali. Ada peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira menjawab:
"Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang tersebut
tidak dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya dan tidak menyingkapkan rahasia kemuliaan yang
datangnya tiba-tiba ini. Buhaira memberi makan mereka dan mulai
memperhatikan di antara mereka adanya seseorang yang memiliki tanda-tanda
yang dibacanya dalam kitab-kitabnya yang kuno tentang seorang rasul yang ditunggu. Namun ia tidak
menemukannya, hingga ia bertanya kepada
mereka: "Wahai kaum Quraisy,
apakah ada seseorang yang tidak hadir bersama jamuanku ini?" Mereka menjawab: "Benar, ada
seseorang yang tidak ikut bersama kami. Kami meninggalkannya karena ia
masih kecil." Buhaira berkata:
"Sungguh aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia supaya hadir
bersama kami dan memakan makanan ini."
Salah seorang lelaki dari kaum Quraisy berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami untuk
meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang
kami diundang di dalamnya.
Pamannya
meminta maaf karena Muhammad masih kecil, kemudian sebagian mereka berdiri dan
menghadirkannya. Belum lama Buhaira
memandangi kejernihan dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui bahwa ia telah mendekati tujuannya. Buhairah
terpaku ketika memandangi Muhammad bin Abdillah sehingga kaum selesai
makan dan mereka berpisah.
Muhammad bin Abdillah duduk
sendirian. Buhaira menghampirinya dan
berkata: "Wahai anak kecil, demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah
kiranya engkau memberitahu aku
terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin mengetahui sikap
anak ini terhadap berhala kaumnya.
Anak kecil itu menjawab: "Jangan engkau bertanya kepadaku tentang Lata
dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada
keduanya." Buhaira berkata:
"Dengan izin Allah aku ingin bertanya kepadamu." Anak kecil itu
menjawab: "Tanyalah apa saja yang
terlintas di benakmu."
Buhaira bertanya kepada anak kecil itu
tentang keluarganya, kedudukannya di
tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan pendapat-pendapatnya.
Dialog tersebut terjadi jauh dari pantauan kaum karena mereka tidak akan
diam ketika mendengar bahwa Muhammad membenci berhala-berhala mereka.
Kemudian
Muhammad menjawab
pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin,
hingga membuat Buhaira mantap bahwa ia sekarang duduk bersama seorang
Nabi yang
kabar berita gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa sebagaimana
disampaikan oleh
nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa. Setelah itu, ia bangkit
meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke
Abu Thalib ia bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu
Thalib
menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin
ayahnya masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku.
Ayahnya dan ibunya telah
meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar, kembalilah kamu ke negerimu
dan hati-hatilah dari kaum
Yahudi." Abu Thalib bertanya
tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu
mulai mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya.
Lalu ia
berkata: "Ia akan memiliki kedudukan tertentu."
Buhaira tidak menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak menentukan
kedudukan yang dimaksud.
Lalu
berlalulah peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau tanpa
menggugah kesadaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak membawa pengaruh
berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah menganggap bahwa penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan
memberitahunya akan kedudukan yang
akan disandangnya adalah semata-mata basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja makan ketika para tamu memuji
kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang mengundang akan
memuji akhlak para pemuda mereka. Alhasil,
peristiwa tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi sahabat-sahabat yang
ikut dalam kafilah, sehingga mereka
tidak mengetahui rahasia perkataan pendeta
dan mereka tidak menyebarkan pembicaraan yang mereka dengar darinya.
Peristiwa itu tersembunyi meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa gerangan
yang terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga pendeta
perlu mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan yang akan
diembannya seperti yang diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa hubungan
semua ini dengan kesedihan-kesedihannya yang dalam serta kebingungannya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit berputar di benaknya. Kemudian
seperti biasanya kafilah tersebut kembali ke Mekah. Muhammad kembali menuju keterasingannya.
Ia memperhatikan keadaan alam di sekitarnya.
Kemudian ia melihat kembali penderitaannya; ia berusaha untuk
mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi
kepada manusia dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari demi hari
berlalu. Muhammad saw tampil dengan pakaian ketulusan kasih sayang, dan
amanah
serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya, sehingga
kejujurannya terkenal di tengah-tengah kaumnya. Bahkan kejujuran dan
amanatnya
tidak bakal diragukan oleh seseorang pun dari penduduk Mekah. Dan ketika
beliau datang dengan membawa risalahnya dan beliau ditentang mayoritas
masyarakatnya, namun tak seorang pun
yang berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh bahwa ia
terkena sihir atau kesadarannya telah hilang.
Pada tahun
ketiga belas dari masa kenabian, ketika semua kabilah sepakat untuk
membunuhnya dan mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan mereka
mengepung rumahnya, maka di saat situasi yang sulit ini beliau
menetapkan untuk berhijrah. Tetapi sebelumnya beliau mewasiatkan kepada Ali bin
Abi Thalib, anak pamannya untuk tetap tinggal di rumahnya agar ia dapat
mengembalikan amanat yang dititipkan oleh semua musuhnya dan para sahabatnya.
Ini beliau maksudkan agar Ali dapat menyerahkan amanat tersebut di waktu pagi kepada para
pemiliknya. Anda dapat melihat betapa para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka ketika dijaga oleh Muhammad saw.
Hari demi
hari berlalu dan tahun demi tahun pun lewat. Sementara itu, kesucian dan kejujuran
Muhammad saw semakin meningkat. Dan di
tengah lautan keheningan yang mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah menyebarkan layar perahunya yang putih, maka ia
harus menemui hakikat azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan
rasul. Muhammad bin Abdillah mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai
Tuhan Pengatur dan Pencipta; Tuhan yang
Maha Satu dan yang tiada tuhan selain-Nya.
Muhammad dijauhkan
dari suasana kenikmatan dan foya-foya yang biasa dilakukan oleh para pemuda
seusianya. Dan ketika pemuda Mekah berbangga-bangga dengan banyaknya minuman keras yang
mereka minum dan banyaknya bait-bait syair yang mereka katakan tentang
wanita, maka Muhammad bin Abdillah telah menemukan jati dirinya di suatu gua yang tenang di gunung
yang besar. Ia memilih untuk menghabiskan
waktunya di dalam keheningan gua tersebut. Ia merenung dengan hatinya tentang
keadaan alam; ia memikirkan keagungan
rahasia-rahasianya dan rahmat Penciptanya
serta kebesaran-Nya.
Pada tahun yang kedua puluh lima, beliau
mengenal Ummul Mu'minin, isterinya yang
pertama, yaitu Khadijah binti Khuwailid yang saat itu berusia empat puluh tahun. Khadijah adalah wanita yang
mulia dan mempunyai cukup harta. Ia berdagang dan suaminya telah meninggal. Banyak orang yang
mendekatinya dengan alasan untuk
mendapatkan kekayaannya. Khadijah mencari seseorang laki-laki yang dapat
membawa harta dagangannya menuju Syam, lalu
Khadijah mendengar berita yang cukup banyak berkenaan dengan kejujuran dan amanat serta kesucian
Muhammad bin Abdilah. Akhirnya, Khadijah mengutus Muhammad saw untuk membawa barang dagangannya. Muhammad saw pergi
dalam perjalanannya yang kedua ke Syam saat beliau berusia dua puluh lima tahun. Allah SWT memberkati perjalannya di mana
beliau kembali dengan membawa keuntungan yang berlipat ganda yang
diserahkannya kepada Khadijah. Muhammad saw
tidak peduli dengan harta Khadijah dan tidak peduli kepada kecantikannya;
Muhammad saw hanya memandang kemuliaan yang
dipegangnya. Kemudian Khadijah merasakan getaran cinta terhadap Muhammad saw.
Dan Akhirnya, ia mengutarakan
keinginan untuk menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun setuju.
Paman
Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan menyampaikan khotbah pada saat perayaan
perkawinannya: Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan seorang pun dari
kaum Quraisy karena ia
adalah seorang yang mulia, baik dari sisi akal maupun ruhani. Meskipun ia seorang yang fakir namun harta adalah
naungan yang akan hilang dan benda
yang bersifat sementara.
Setelah
menikah, Muhammad saw justru mendapatkan kesempatan yang lebih besar
untuk merenung dan menyendiri serta beribadah. Kemudian kehidupan yang
dijalaninya justru meningkatkan kemuliaannya, sehingga keutamaannya
tersebar di sana sini. Beliau tidak
pernah terlibat dalam pergulatan yang keras untuk memperebutkan
materi-materi dunia. Beliau selalu
menggunakan akal sehatnya daripada terlibat dalam kesesatan mereka dan
kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada
saat itu. Kemudian usianya kini
mendekati empat puluh tahun.
Setelah merasakan
kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih untuk menjauh
dari mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah SWT membimbingnya
untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat keluar dari
Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai mendaki dan
mendaki. Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu semakin luas. Udara tampak
lembut dan tersingkaplah hijab, dan pandangan semakin terbentang.
Kemudian beliau memasuki gua. Keheningan menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap sadar dan
tidak ada sesuatu yang dapat menghalang-halangi pandangan internal yang dalam. Dalam suasana kesunyian terkadang lahirlah
pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di atas
angkasa gua lalu tersebar menuju ke
tempat yang lebih luas. Tidak ada sesuatu pun yang membatasinya atau mengekang
kebebasannya.
Kita tidak
mengetahui pikiran-pikiran apa yang terlintas pada manusia termulia dan
terbesar di atas bumi itu saat beliau duduk di gua Hira beberapa
bulan. Apa yang beliau pikirkan dan apa gerangan yang beliau risaukan? Mimpi
apa yang ada di benaknya dan perasaan-perasaan apa yang lahir dalam hatinya?
Bagaimana keadaan
batu-batu yang ada di sisinya? Apakah atom-atom batu yang berputar di sekelilingnya menyahuti tasbihnya yang diam, seperti
atom-atom batu yang bersahut-sahutan bersama Daud saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami tidak mengetahui secara pasti bentuk
kelahiran yang terjadi
dalam dirinya. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau tidak berpikir tentang kenabian dan beliau tidak
berpikir untuk memberikan petunjuk
kepada manusia; beliau tidak melakukan praktek-praktek sufisme karena beliau
sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus
di tengah-tengah manusia. Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu beliau meninggalkan uzlahnya dan
turun ke medan serta membawa senjata. Beliau mempertahankan kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan Tuhannya.
Mula-mula lahirlah tasawuf dan
setelahnya lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini
oleh manusia sekarang, tetapi ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana
pada akhirnya yang bersangkutan menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk membela manusia dan
kehormatannya.
Pada suatu hari beliau duduk di
gua Hira dan tiba-tiba beliau dikagetkan
dengan kedatangan Jibril yang berdiri di depan pintu gua. Malaikat
tersebut memeluknya erat-erat lalu
memerintahkannya untuk membaca sambil berkata: "Bacalah!"
Muhammad bin Abdillah menjawab: "Aku
tidak mampu membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa beliau tidak
mengenal bacaan dan tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau baca?
Malaikat
kembali memeluknya dengan kuat sehingga Rasulullah saw menganggap bahwa
ia meninggal. Kemudian malaikat melepasnya dan
memerintahkannya untuk membaca.
Beliau kembali menjawab: "Aku tidak bisa membaca." Malaikat yang mulia
kembali memeluknya dan kembali memerintahkan untuk membaca. Dan
lagi-lagi
Rasulullah saw menjawab dengan
gemetar: "Apa yang aku baca?" Kemudian Jibril membaca permulaan
ayat-ayat yang turun kepada beliau:
"Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah
peristiwa itu, Jibril menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul
secara tiba-tiba. Rasulullah saw merasakan dalam dirinya kejadian yang
luar biasa yang pernah dirasakan oleh Nabi Musa saat beliau
mendengar panggilan-panggilan suci di lembah Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari
ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah pun segera menuju ke rumahnya
dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke gunung dan kembali ke rumahnya dan
kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia bergetar denga keras dan beliau merasakan
ketakutan dan kegelisahan.
Apakah beliau kali ini
berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah beliau telah mengigau
sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat wajah-wajah yang belum pernah
dilihatnya?
Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya karena beliau sangat benci kepada
perdukunan. Beliau memasuki rumahnya dengan keadaan gemetar. Beliau berkata
kepada isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah aku!" Kemudian
isterinya segera menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap keringat
yang berada di keningnya. Isterinya dikagetkan dengan kepucatan wajah beliau yang
mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah bertanya
kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw
menceritakan secara detail apa yang dialaminya. Kemudian ia berkata: "Sungguh
aku khawatir terhadap diriku." Khadijah mengetahui bahwa ia sekarang
berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita gembira yang ia tidak mengetahui
hakikatnya, suatu berita gembira yang seharusnya tidak dihadapi Muhammad saw
dengan kekhawatirkan dan kegelisahan.
Khadijah berkata
dengan maksud untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi Allah,
Allah SWT tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah
seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang berbicara dengan
jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun kalimat-kalimat tersebut penuh
dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi
kegelisahan Rasul saw juga belum hilang. Kemudian Khadijah pergi bcrsama
beliau ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman Khadijah.
Waraqah
adalah seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam bahasa Ibrani
dan ia cukup
mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di mana matanya telah buta
karena masa tua.
Khadijah
berkata kepadanya: "Wahai putra pamanku, dengarlah dari anak
saudaramu." Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau
lihat?" Rasulullah
saw menceritakan apa yang dialaminya secara
sempurna. Waraqah berkata sambil mengangkat kepalanya yang tampak
keheranan: "Itu adalah Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan kepada
Musa." Sebagai
seorang yang mengerti, Waraqah bin
Nofel mengetahui bahwa ia berada di hadapan seorang Nabi yang berita
gembiranya disampaikan oleh Taurat dan Injil.
Setelah
keheningan sesaat, Waraqah berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika kaummu mengeluarkanmu
dan mengusirmu." Rasulullah saw
bertanya: "Mengapa aku harus diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar, tidak ada seorang
pun yang akan datang seperti dirimu
kecuali engkau akan mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya aku hadir
di saat itu niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah, akhirnya
Islam pun dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan Allah SWT telah
memilih Nabi yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim yang pertama.
Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat dari Islam? Apabila Muhammad saw sebagai
Nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah SWT di muka bumi dan kita
mengetahui bahwa para nabi semuanya sebagai Muslim, maka bagaimana beliau dapat dikatakan
mendahului mereka dalam keislaman dan
menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam yang dibawa
oleh Muhammad saw tidak berbeda dalam esensinya dengan Islam yang dibawa oleh
Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang lain, tetapi yang berbeda adalah
bentuknya, sedangkan esensinya tetap seperti semula, yakni berdasarkan tauhid. Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berbeda dalam bentuknya
dengan Islam yang dibawa nabi-nabi sebelumnya karena sebab yang
penting, yakni bahwa Islam ini merupakan ajaran yang universal dan berisi aspek
kemanusiaan yang abadi. Islam tidak terbatas atas orang-orang Arab tetapi
ia berlaku atas semua golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak
terbatas untuk kabilah tertentu atau bangsa tertentu atau bumi tertentu atau
lingkungan tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau
dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal
manusia di mana saja mereka berada tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas ajaran
Islam tidak dikenal pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di mana
setiap risalah itu diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman tertentu. Oleh
karena itu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang bersifat temporal
seringkali mendukung risalah-risalah yang dahulu. Ketika Islam datang sebagai
bentuk ajakan untuk menghidupkan akal manusia secara bebas, maka di sana tidak ada
alasan untuk membawa mukjizat yang mengagum-kan. Hanya ada satu
kata yang dapat dijadikan pembuka untuk berdakwah dan membuka akal manusia,
yaitu kata "iqra"' (bacalah). Dan hendaklah bacaan
ini berdasarkan nama Allah SWT. Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Coba Anda renungkan permulaan
pertumbuhan dan puncak pencapaian. Di sini tersembunyi mukjizat yang
hakiki jika Anda berusaha mencari mukjizat yang hakiki.
Bacalah, dan
Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan dan rezeki serta rahmat
dan kelembutan. Dia Maha Mulia yang mengajarkan manusia apa saja yang tidak
diketahuinya. Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ajakan untuk membaca. Ia
adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah
orang-orangyang berilmu (ulama)." (QS. Fathir:
28)
Takut kepada
Allah SWT tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil
kebodohan dengan bentuk apa pun akan melahirkan rasa takut. Oleh karena itu,
dalam pandangan Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia bukan kemewahan dan
bukan hanya perhiasan. Kaum Muslim telah mengalami masa kemuliaan dan
kejayaan
dan mereka berhasil menguasai bumi ketika mereka memahami Islam secara
benar, tetapi ketika pemahaman ini jauh dari mereka, maka mereka kembali dalam
keadaan yang paling buruk, bahkan lebih buruk daripada masa jahiliah.
Jadi, ilmu dalam Islam
merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan alam wujud. Kisah Nabi
Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an adalah bukan
semata-mata kisah kesalahan memakan pohon tcrlarang, tetapi ia juga kisah yang memiliki
dimensi-dimensi yang dalam dan aspek-aspek yang beraneka ragam. Ketika
Anda menyclami kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan simbol-simbol dari
makna-makna yang lebih penting.
Dialog
internal yang dialami oleh para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam
untuk memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di dalamnya serta pengajaran yang
diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama semuanya dan bagaimana beliau mengemukakan nama-nama
tersebut kepada para malaikat, serta ketidaktahuan mereka tentang nama-nama
itu, kemudian usaha Nabi Adam untuk memberitahu mereka tentang apa yang
diketahuinya serta pengetahuan para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam
dan
para keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini menjadikan tujuan
dari penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah
secara umum. Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman Allah
SWT:
"Dan Ahu tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menyembah-(Ku)." (QS. adz-Dzariat: 56)
Lalu bagaimana kita
memahaminya saat ini dan bagaimana generasi yang pertama dari kaum Muslim dan
dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para pengikutnya dan para tentaranya
memahaminya? Saat ini kita memahaminya dengan pemahamam yang sederhana. Kita
mengetahui bahwa kalimat "untuk menyembah-Ku " berarti ritualitas
dalam beribadah dan aspek-aspek lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat
syahadat, salat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. Sehingga
orang-orang yang salat diperbolehkan untuk menyembah Allah SWT di
negeri mereka atau di rumah-rumah mereka, meskipun mereka hidup di bawah
pemikiran orang-orang Barat dan membeli produk-produk yang dibuat mereka serta memanfaatkan
ilmu dan kecanggihan tehnologi orang-orang Barat. Namun mereka sendiri
tidak menghasilkan apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan kontribusi kepada
kehidupan; mereka tak ubah-nya seperti bulu yang dimainkan oleh ombak.
Sedangkan pemahaman yang dahulu berkaitan dengan kalimat tersebut
sebagai berikut:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali
untuk menyembah-(Ku). " (QS. adz-Dzariat:
56)
Ibnu Abbas
membacanya: "Illa liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui).
Perhatikanlah bagaimana pentingnya perbedaan antara
praktek-praktek ibadah dengan bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang
jauh dalam ma'rifah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah
SWT. Orang Muslim yang pertama meyakini bahwa Allah SWT menciptakannya agar
ia mengetahui Allah SWT atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga
ambisi orang Muslim yang pertama sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk
membebaskan dunia semuanya: satu tangan berpegangan dengan Al-Qur'an dan
tangan yang lain memegang pedang untuk menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret
manusia kepada kesesatan.
Kemudian
jatuhlah dari Islam hakikat ilmu, sehingga umat Islam tidak dapat
memimpin kehidupan dan mereka justru men-dapatkan kehinaan. Allah SWT
berfirman:
"Allah
menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu
(juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi
Allah hanyalah Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah kesaksian
kepada Allah swt dan kesaksian kepada malaikat, maka disebutlah
secara langsung kesaksian kepada orang-orang yang berilmu. Maka,
adakah penghormatan terhadap ilmu yang lebih besar daripada penghormatan
ini?
Ilmu dalam Islam berbeda dengan ilmu dalam peradaban Barat. Memang
benar bahwa Islam yang bertanggung jawab terhadap tumbuhnya pandangan
ilmiah dan metode
eksperimental di mana berdasarkan metode ini tegaklah peradaban Barat
yang kemudian melahirkan berbagai produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan
metode eksperimental
adalah metode al-Istiqra, yaitu
suatu metode yang mengikuti bagian-bagian terkecil (parsial) melalui
jalan eksperimen yang dapat tunduk terhadap eksperimen dan melalui jalan
memperhatikan hal-hal yang tidak dapat tunduk terhadap suatu eksperimen, atau
melalui jalan matematis murni yang membutuhkan kepada matematis murni di mana hal itu bertujuan untuk menyingkap hukum-hukum
yang menguasai benda. Sistem ini bidangnya adalah alam dan alatnya adalah panca indera dan akal. Sistem ini
dimanfaatkan oleh seorang Eropa yang
bernama Roger Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat berhutang kepada kaum Muslim dan peradaban Islam.
Seorang guru yang
bernama Bruicll dalam bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan
tentang dasar-dasar peradaban Barat di mana ia berkata: "Roger Bikun
mempclajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford kepada
guru-gurunya yang berasal dari Arab di Andalus. Dan Roger Bikun dan
Fenessis Bikun tidak dapat
menisbatan keutamaan yang mereka peroleh dalam menciptakan sistem
eksperimental kepada diri mereka
sendiri. Roger Bikun hanya seorang
duta dari duta-duta ilmu. Oleh karena itu, ia tidak malu ketika
menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab adalah jalan
satu-satunya untuk
mengetahui kebenaran."
Demikianlah pernyataan pakar-pakar
Barat yang jujur. Yang demikian ini bisa
dijadikan sanggahan terhadap orang-orang Barat yang tidak jujur agar
mereka mengetahui bahwa mereka sebenarnya
mengambil senjata yang sebenarnya berasal dari Islam. Dan jika dikatakan
bahwa rahasia kebangkitan Barat saat
ini dan keunggulannya atas Timur
kembali kepada pengambilannya terhadap sebab-sebab metode eksperimental,
yaitu metode Islam, maka rahasia kehancuran Barat dan kebingungannya
serta
kegelisahannya adalah karena mereka
tidak menghubungkan metode tersebut dengan kebesaran Allah SWT
sebagaimana semestinya. Metode eksperimen-tal—sebagaimana diambil
orang-orang
Barat—dimulai dari alam dan berakhir kepadanya sebagai sesuatu
tujuan. Jadi, ruang lingkup pembahasan mereka adalah berkisar kepada
materi, dan alat-alat
pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan serta istiqra.
Tiada setelah alam
kecuali kematian dan kematian adalah rahasia yang misterius dan melawannya
adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui apa yang terjadi setelah
kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun tentang ruh. Tidak ada hubungan
antara ilmu dan akhlak; tidak ada jawaban dari ilmu tentang tujuan kehidupan
ini. Kita hanya mempelajari aspek-aspek lahiriah dan mencapai hukum-hukumnya
saja. Demikianlah pandangan Barat tentang ilmu di mana ia hanya sekadar alat dan
sarana untuk mengatur alam dan berusaha menguasainya. Sedangkan metode
ilmiah
dalam Islam menyatakan bahwa gerakan atom dengan gerakan sistem tata surya di
bawah kendali Zat Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha Pencipta. Ilmu dalam Islam
justru membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala
sesua-tu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu justru mengantarkan manusia untuk
mencapai rasa takut kepada Allah SWT
sebagaimana membimbingnya beribadah kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah
orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam datang
dan mengajak manusia untuk membaca, mengetahui, dan takut kepada Allah SWT serta
hanya beribadah kepadanya. Jika ilmu merupakan
sayap pertama di dalam Islam, maka sayap
yang kedua adalah kebebasan. Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
SWT dan tidak ada sembahan selain
Allah SWT.
Seruan ini
mengisyaratkan keruntuhan tuhan-tuhan yang mengusai bumi semuanya, baik
tuhan yang
berupa kepentingan-kepentingan pribadi,
kekayaan, raja, penguasa, pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia,
warisan para kakek dan nenek, berhala-berhala yang terbuat dari batu dan
kayu,
maupun berbagai macam tuhan lain yang bohong. Adalah salah jika
seseorang membayangkan bahwa kalimat "tiada Tuhan selain
Allah" hanya sekadar hiasan
mulut seorang Muslim di mana segala sesuatu yang ada di sekitarnya penuh
dengan kebohongan dan tidak
membenarkan apa yang dikatakannya.
Kalimat tersebut dalam Islam merupakan per-gulatan besar bersama
kegelapan yang ada pada diri manusia, suatu pergulatan yang berakhir
pada penyerahan diri;
pergulatan yang akan berpindah pada kehidupan yang lebih berat, sehingga
kehi-dupan akan berserah diri. Dan mustahil pergulatan
itu akan terjadi kecuali jika
terpenuhi suatu kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan dan menolak
dan
kebebasan yang berakhir kepada pencapaian
batas-batasnya dan kemampuannya serta kebebasan yang meninggi untuk
mencapai keimanan yang dalam dan kokoh. Itu adalah
tanggung jawab yang berarti bahwa ia harus memikul senjata untuk
membebaskan orang lain sebagaimana ia
membebaskan dirinya sendiri.
Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ilmu yang berdiri di atas kebebasan
dan tanggung jawab yang
tumbuh dari kebebasan, dan buah terAkhirnya adalah tauhid dalam
kedalamannya yangjauh.
Jika tauhid dipahami
secara benar, maka manusia akan terbebas dari penyembahan selain Allah SWT:
manusia akan bebas terhadap rasa takut dari kematian, kekhawatiran atas
rezeki, manusia akan terbebas
dari sikap bakhil dan ketakutan terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad bin Abdillah
datang nntuk menyerukan bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah dan bahwa
semua manusia adalah hamba-hamba-Nya. Dcngan membebaskan manusia dari menyembah
sesama mereka, maka kebcbasan yang hakiki telah dimulai. Rasulullah saw
memberitahu bahwa kematian adalah perpindahan dari satu rumah ke rumah yang
lain. Ia bukan akhiran yang misteri dari kehidupan yang tidak dapat
dipahami, tetapi ia hanya sekadar perpindahan. Takut kepada kematian tidak akan
menyelamatkan dari kematian itu sendiri, dan cinta kepada kehidupan tidak akan
memanjangkan ajal. Pada setiap ajal ada ketentuannya. Maka keberanian merupakan
unsur dari unsur-unsur pembentukan kepribadian Islam dan bagian dari
bagian-bagian sel yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah
saw juga menyatakan bahwa rezeki di dunia sudah dijamin dan ditentukan oleh
Allah SWT:
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. " (QS.
Hud: 6)
Jibril
mewahyukan kepada Rasul saw bahwa suatu jiwa tidak akan memenuhi ajalnya
sehingga rezekinya disempurnakan. Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan
bagi manusia untuk khawatir terhadap rasa lapar dan gelisah terhadap hari esok.
Semua ini terjadi dalam ruang lingkup mengambil atau melalui jalanjalan menuju
sebab. Yakni berusaha untuk mencapai rezeki yang merupakan kewajiban bagi orang
Muslim dan percaya terhadap kedermawan Allah SWT yang juga merupakan suatu
kewajiban bagi orang Muslim untuk mempercayainya. Allah SWT berfirman:
"Dan di
langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang
dijanjikan kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah SWT telah
menjamin rezeki di dunia dan memerintahkan manusia untuk berusaha
mencapai rezeki di akhirat. Rezeki di dunia adalah sesuatu yang sudah
dijamin, sehingga manusia tidak perlu melakukan usaha yang terlalu sengit
untuk mencapainya. Cukup baginya untuk berusaha secara benar dan seimbang. Sedangkan berkenaan
dengan rezeki akhirat, Allah SWT memerin-tahkan manusia untuk berusaha
mencapainya karena ia adalah rezeki yang Allah SWT tidak menjaminnya
kecuali jika manusia berhasil melampaui dua jihad: jihad yang besar dan jihad
yang kecil. Jihad besar adalah jihad melawan hawa nafsu dan jihad kecil adalah jihad
melawan musuh di medan perang.
Dengan terbebasnya
seorang Muslim dari kerisauan pada kematian, rezeki, dan rasa takut, maka
Islam memberi seorang Muslim senjatanya dan alat-alatnya dan ia
memerintahkannya untuk mulai memerangi kekuatan-kekuatan kelaliman di
muka bumi. Allah SWT berfirman tentang umat Islam:
"Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah." (QS. Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah,
bagaimana Allah SWT menyebutkan amal makruf nahi mungkar sebelum
keimanan
kepada Allah SWT. Ini dimaksudkan agar akal manusia tergugah akan
pentingnyajihad di jalan Allah SWT. Amal makruf dan nahi mungkar tidak
terwujud
semata-mata dengan memegang tongkat
dan mencambukannya kepada punggung
orang-orang Islam yang tidak salat; ia juga tidak berupa usaha untuk
menahan orang-orang Muslim yang tidak berpuasa. Masalah itu lebih
penting dan lebih besar dari sekadar memperhatikan hal-hal yang bersifat
lahiriah, sedangkan
hal-hal yang bersifat batiniah tidak
diperhatikan.
Ayat tersebut
berarti, hendaklah seorang Muslim membawa senjata dan
berdakwah di jalan Allah SWT serta memerangi orang-orang lalim di muka
bumi. Abu Bakar berkata: "Wahai manusia, kalian membaca ayat berikut
ini:"
"Hai orang-orang
yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat
kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk,"
(QS. al-Maidah: 105)
Dan aku
mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya ketika masyarakat
melihat orang yang lalim dan mereka tidak menghentikannya, maka
Allah SWT akan menimpakan azab kepada mereka semua."
Penafsiran Abu Bakar
terhadap ayat tersebut sangat jelas artinya. Yakni bahwa
pelaksanaan ayat tersebut dapat diwujudkan dengan adanyajihad di jalan
Allah SWT dengan mengangkat senjata sebagai usaha untuk
menghentikan orang-orang yang lalim. Setelah itu, seorang Muslim dapat
mengatakan: "Aku telah melaksanakan tugasku dan tidak akan berdampak kepadaku orang
yang sesat setelah aku memberikan
petunjuk."
Demikianlah
pemahaman orang-orang Islam yang pertama. Maka bandingkanlah
pemahaman tersebut dengan pemahaman kita saat ini di mana kita telah kchilangan
keberanian, dan rasa takut telah menghinggapi tubuh orang-orang Islam. Kaum
Muslim lebih mengutamakan keselamatan diri mcrcka daripada memerangi
orang-orang yang lalim.
Muhammad bin
Abdillah datang dengan membawa risalah Islam yang di dalamnya terdapat
perintah Ilahi untuk rnemerangi orang-orang yang lalim dan mempertahankan
kehormatan orang-orang yang tertindas di muka bumi. Allah SWT berfirman:
"Karena itu,
hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan
akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di
jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak
akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar. Mengapa kamu
tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik
laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: 'Ya
Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim penduduknya
dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari
sisi-Mu. " (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad bin
Abdillah membacakan kepada kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaaan
dengan makna kejayaan yang besar:
"Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga
untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar
dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan
Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?,
maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS.
at-Taubah: 111)
Bacalah ayat tersebut
dua kali dan renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT. Betapa tidak, Dia
membeli jiwa orang-orang mukmin dan harta mereka, padahal jiwa tersebut
dan harta tersebut pada hakikatnya adalah milik-Nya sendiri. Lihatlah
bagaimana kemuliaan Allah SWT di mana Dia membeli harta milik-Nya yang khusus dengan
surga dan bagaimana Allah SWT menganjurkan orang-orang Islam
untuk berperang, dan Dia memberitahu mereka bahwa urusan memerangi orang-orang
lalim dan orang-orang yang tersesat bukanlah hal yang baru atas
orang-orang Islam. Allah SWT telah memerintahkan hal tersebut dalam Injil
dan Taurat. Sebagaimana Nabi Isa diutus dengan pedang, seperti yang
disebutkan dalam lembaran-lembaran atau buku-buku orang-orang Nasrani, maka Nabi Musa
pun diutus dengan membawa pedang. Dan ketika Bani Israil berkata
kepada Nabi Musa, "pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan kami hanya
di sini duduk-duduk saja,", maka
kehendak Ilahi menetapkan agar mereka mendapatkan kesesatan selama empat puluh
tahun sebagai akibat dari perbuatan mereka
itu, agar generasi yang lemah dan hina itu hancur yang mereka justru tidak memenuhi panggilan Allah SWT
dan mereka membiarkan Nabi Musa
bersama Tuhannya berperang, padahal peperangan
itu merupakan tanggung jawab mereka dan tugas mereka yang harus mereka
emban sebagai pengikut Nabi Musa.
Demikianlah esensi
dari ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad bin
Abdillah. Yakni ajakan untuk membaca dan menggali ilmu serta mendapatkan
kebebasan dan yang terpenting adalah usaha melawan kekuatan-kekuatan lalim.
Suatu ajakan yang universal yang tidak dikhususkan untuk kalangan tertentu
atau untuk waraa kulit tertentu atau untuk kaum tertentu atau untuk tempat
tertentu; suatu ajakan kemanusiaan yang komprehensif yang universal yang
ingin mengikat ilmu dan kebebasan dan jihad dengan tujuan yang
lebih tinggi, yaitu mencapai tauhid kepada Allah SWT dan menyucikan-Nya serta
keimanan terhadap hari kemudian dan
kebangkitan manusia semuanya di hadapan Allah SWT.
Adalah salah jika ada orang yang
menganggap bahwa Islam hanya memperhatikan
aspek akhirat dan melupakan aspek duniawi. Menurut Islam dunia adalah
lembar-lembar jawaban yang akan dikoreksi di hari akhir. Ia adalah ujian
dan
tempat percobaan bagi manusia agar manusia mengetahui apakah ia layak
untuk
menda-patkan kemuliaan dari Allah SWT
yang telah diberikan kepada Adam. Atau apakah iajustru layak untuk jadi
bagian
dari tanah neraka Jahim dan batunya,
sebagaimana firman Allah SWT:
"Yang
bahan bakarnya manusia dan batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah saw telah
menjelaskan hikmah dari penciptaan manusia, penciptaan kehidupan dan kematian
ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amabiya. " (QS. al-Mulk:
2)
Dunia adalah rumah
pergulatan. Dan Allah SWT telah menciptakan kehidupan dan kematian agar manusia
menyadari siapa di antara mereka yang terbai amalnya. Tentu pengetahuan ini
tidak akan menambah kekuasaan Allah SWT. Pengetahuan itu justru dibutuhkan oleh
manusia. Allah SWT menciptakan manusia agar menusia mengetahui, danpengetahuan
yang paling penting adalah pengetahuan atau pengenalan terhadap diri. Dan pada
hari kiamat manusia akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia akan mengenal
balasan yang akan diterimanya secara sempurna.
Dan barangkali
mukadimah yang kami sarikan dari hari akhir ini mengharuskan kehidupan di atas
bumi dipenuhi dengan kesucian dan kebersihan, yaitu diliputi dengan kemanusiaan
yang sempurna yang di dalamnya manusia layak untuk hidup. Demikianlah Islam
yang dibawa oleh Muhammad saw. Inilah asasnya dan hakikatnya. Itu adalah
pondasi dan hakikat yang tidak diciptakan oleh Muhammad saw dan tak didahului
oleh rasul-rasul sebelumnya. Hakikat risalah-risalah yang dulu semuanya adalah
tauhid dan mempertahankan kebenaran serta keimanan terhadap hari akhir dan
menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah SWT. Yang baru dalam
Islam adalah ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran Islam serta warna keadilan
yang sangat kental, sehingga sangat tepat jika dikatakan bahwa karakter dari
Islam adalah keadilan. Barangkali bagian ini perlu diperhatikan.
Meskipun agama-agama
samawi pada esensinya satu, tetapi kehendak Allah menuntut turunnya lebih dari
agama dan lebih dari satu nabi. Kehendak tersebut menuntut agar pada setiap
agama terdapat karakter yang khusus yang menggambarkan bentuk yang paling tepat
sesuai dengan kebutuhan utama yang di situ agama itu diturunkan dan sesuai
dengan waktu saat itu. Orang-orang Yahudi misalnya, mereka hidup di
tengah-tengah suasana penyembahan berhala dikalangan orang-orang Mesir kuno. Yahudisme
diturunkan pada Bani Israil yang suka membangkang dan karena itu, karakter
utamanya adalah ketegasan (as-Sharamah) agar mereka tidak terpengaruh
dengan fenomena berhalaisme ala Mesir atau mereka terkena pengaruh dari
tindakan semena-mena Fir'aun. Dengan ketegasan inilah agama Yahudi selamat dan
dapat menjadi risalah penyelamatan dan pembebasan.
Namun Bani Israil
yang memperbudak manusia dan mempunyai hati yang keras pada saat yang sama
mereka keluar dari Fir'aun untuk masuk ke cengkraman orang-orang Romawi di mana
orang-orang Romawi justru lebih lalim dan lebih kuat dari orang-orang Mesir.
Oleh karena itu, orang-orang Masehi bertanggung jawab untuk melakukan
pembebasan baru tetapi dengan cara yang berbeda sesuai dengan
perubahan keadaan. Cara tersebut adalah menjauhkan penggunaan
kekuatan bersenjata karena kekuatan orang-orang Romawi
mengungguli kekuatan saat itu dan menguasai bumi secara keseluruhan.
Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh adalah dengan cara menghindari
tindak kekerasan dan lebih mengutamakan pendekatan cinta. Dan pada kali yang
lain orang-orang Masehi memperoleh kemenangan melalui cara kedamaian dan cinta yang
disebarkannya atas imperialisme Romawi dengan segala senjatanya dan
kekuasaannya.
Adapun Islam
datang sebagai agama yang terakhir dan menyeluruh yang layak untuk
diterapkan di muka bumi, sehingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang
ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak mewarisinya. Oleh karena itu,
agama yang terakhir ini harus mempunyai karakter khusus dan karakter itu adalah
karakter keadilan.
Ketegasan
hanya cocok untuk zaman tertentu dan kelompok tertentu dan keadaan
tertentu, sedangkan cinta adalah contoh yang tertinggi, tetapi ia
tidak dapat menjadi sesuatu tolok ukur untuk dibandingkan dengan
tindakan-tindakan tertentu atau untuk dijadikan alat untuk
melakukan sesuatu. Dan jika ia menjadi tolok ukur bagi orang-orang yang memilki
perasaan yang tinggi atau budaya yang tinggi, maka ia tidak dijadikan tolok
ukur umum dan universal. Adapun keadilan, maka ia menjadi karakter Islam yang
berarti keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan dan meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya. Ini adalah tolok ukur yang menyeluruh dan barometer yang
akhir. Dan barangkali kebesaran keadilan dan pengaruhnya dalam pengaturan alam
bersandarkan kepada firman Allah SWT:
"Allah
menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu)." (QS. Ali 'Imran: 18)
Apabila Allah SWT
dalam Islam merupakan cermin yang tertinggi, maka keadilan yang disaksikan
oleh Allah SWT terhadap diri-Nya sendiri harus menjadi karakter Islam dan kaum
Muslim. Keadilan dalam Islam bukan hanya keadilan ekonomi atau keadilan hukum atau
keadilan dalam balasan, tctapi ia mencakup semuanya. Sebelum semua ini dan
sesudahnya, kcadilan dalam Islam merupakan suatu sistem dalam kehidupan dan
metode utama dalam Islam.
Ketika Anda
memalingkan pandangan Anda dalam Islam, maka Anda akan menemukan
keadilan menghiasi seluruh wajah Islam. Di sana terdapat keadilan antara
agama-agama yang dulu, keadilan antara individu dan masyarakat, keadilan
antara dunia dan agama, keadilan antara pria dan wanita, keadilan
untuk orang-orang yang fakir dan orang-orang yang kaya, keadilan antara para
penguasa dan rakyat, bahkan dengan keadilan itu sendiri bumi dan langit ditegakkan dan
Allah SWT menyebut diri-Nya sebagai al-'Adl (Yang MahaAdil).
Selanjutnya,
Islam adalah agama yang sudah lama sebagaimana lamanya kedatangan
para nabi. Nabi Nuh as berkata dalam surah Yunus:
"Jika kamu
berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikit pun
darimu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka dan aku
disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri
(kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi Ibrahim
dan Nabi Ismail as berkata dalam surah al-Baqarah saat keduanya
membangun Ka'bah:
"Ya Tuhan kami,
terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan Kami, jadikanlah
kami berdua orang yang tunduh patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami
cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji hami,
dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang. " (QS.
al-Baqarah: 127-128)
Nabi Ibrahim tidak
lupa untuk berwasiat kepada keturunannya dan di antara mereka adalah Yakub agar
mereka mati dalam keadaan Islam. Allah SWT berfirman:
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada
anaknya, Demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): 'Hai
anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka
janganlah hamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.'" (QS.
al-Baqarah: 132)
Ketika kematian
mendekati Yakub, beliau mengumpulkan anak-anaknya di
sekelilingnya dan bertanya kepada mereka:
"Apa yang kamu
sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: 'Kami akan menyembah Tuhanmu
dan Tuhan nenak moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan hhaq,
(yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadanya.'"
(QS. al-Baqarah: 133)
Allah SWT memberitahu
kita dalam surah Yunus tentang perkataan Nabi Musa kepada kaumnya:
"Hai kaumku,
jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika
kamu benar-benar orang yang berserah diri." (QS.
Yunus: 84)
Sementara
itu, Nabi Sulaiman adalah seorang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat
yang menceritakan tentang kisahnya bersama Ratu Saba' ketika Ratu
tersebut berkata:
"Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah berbuat lalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama
Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta
alam." (QS. an-Naml: 44)
Demikian juga
Nabi Yusuf, beliau berdoa kepada Allah SWT dan meminta kepadanya
agar mematikannya sebagai orang Muslim dan memasukannya dalam kelompok
orang-orang yang saleh. Allah SWT berfirman dan bercerita tentang
Yusuf dalam surah Yusuf:
"Ya Tuhanku,
sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagaian kerajaan
dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit
dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan
di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh." (QS.Yusuf:
101)
Sementara itu
dalam surah al-Maidah, Allah SWT mewahyukan kepada kaum Hawariyin
agar mereka beriman kepadanya dan kepada rasul-Nya lalu mereka berkata:
"Kami telah
beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." (QS. al-Maidah: 111)
Jadi, Nabi Nuh, Nabi
Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Yakub, Nabi Musa Harun, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf,
Nabi Isa adalah nabi-nabi yang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat
tersebut. Maka seluruh nabi adalah orang-orang Muslim, lalu bagaimana Nabi
Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir dikatakan sebagai orang Muslim yang pertama?
Allah SWT
berfirman dalam surah al-An'am yang ditujukan kepada Nabi yang
terakhir:
"Katakanlah:
'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Maka,
bagaimana beliau menjadi orang Muslim yang pertama, padahal penamaan umat
beliau dengan sebutan al-Muslimin adalah penamaan yang
sebenarnya sudah dahulu dikenal di kalangan nabi-nabi yang terdahulu
dan kedatangannya ke alam wujud dan penamaan agamanya dengan sebutan al-Islam
sebenarnya berhutang kepada kakeknya yang jauh, yaitu Nabi Ibrahim.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Hajj:
"Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu
sekalian orang-orang Muslim dari dahulu. " (QS. al-Hajj: 78)
Tidak ada
pertentangan dalam pendahuluan para nabi dengan sebutan al-Muslimin
daripada Rasulullah saw dan kedudukan beliau sebagai orang Muslim
yang pertama. Tentu kata al-Awwal (yang pertama) di sini tidak dipahami
dari sisi waktu atau masa kemunculan, tetapi yang dimaksud dengan orang
Muslim di sini adalah akmalul muslimin (orang yang paling
sempurna di antara orang-orang Muslim). Suatu kali Aisyah pernah
ditanya tentang akhlaknya Rasulullah saw lalu dia menjawab dengan
kalimatnya yang singkat: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an."
Kita mengetahui bahwa
Al-Qur'an al-Karim menetapkan akhlak yang mulia meskipun dalam batasannya
yang sederhana dan rendah, dan menyebutkan keutamaan akhlak dalam tingkatannya
yang tinggi. Oleh karena itu, akhlak seperti apa yang dimiliki oleh Rasulullah
saw: apakah beliau memiliki akhlak yang sifatnya tengah-tengah, atau apakah
beliau mendahului dalam kebaikan, atau apakah beliau termasuk ashabul
yamin (orang-orang yang berasal di sebelah kanan), atau apakah beliau
termasuk al-Muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah saw tidak
hanya memiliki semua karakter tersebut dan atribut tersebut, bahkan kedudukan
beliau lebih dari itu semua. Beliau berada di puncak dari segala puncak
keutamaan akhlak, sehingga beliau berhak untuk mendapatkan sebutan dari Allah SWT:
"Dan sungguh pada dirimu terdapat budi pekerti yang
agung. " (QS. al-Qalam: 4)
Para Mufasir
berbeda pendapat tentang makna dari al-Huluqul 'adzim (budi pekerti yang
agung). Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Al-Qur'an. Sebagian
yang lain mengatakan itu adalah Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa
beliau tidak memiliki sesuatu kecuali keinginan untuk menuju jalan Allah SWT.
Dalam
Al-Qur'an al-Karim terdapat penjelasan tentang derajat beliau yang tinggi
dalam dua ayat yang mulia. Ayat yang pertama adalah firman-Nya:
"Katakanlah:
'Sesungguhnya Shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan
diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Beliau adalah orang
yang paling utama di antara manusia semuanya; beliau memiliki keutamaan yang
melebihi semua manusia; beliau memiliki rahmat dan kemuliaan yang tidak dapat
ditandingi oleh seseorang pun. Meskipun beliau datang sebagai Nabi yang terakhir
namun justru karena posisi beliau sebagai Nabi yang terakhir, maka beliau
menjadi bata yang terakhir dalam pembangunan rumah kenabian yang tinggi, sehingga
bata yang terakhir itu harus menjadi puncak pembangunan manusia. Sedangkan
ayat yang kedua adalah firman-Nya:
"Dan Kami tidak
mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta." (QS.
al-Anbiya': 107)
Beliau bukan hanya
menjadi rahmat bagi orang-orang Arab saja; beliau bukan hanya menjadi
rahmat bagi orang-orang Quraisy dan beliau bukan menjadi rahmat bagi zamannya
saja, begitu juga beliau tidak menjadi rahmat bagi jazirah Arab saja, tetapi
beliau menjadi rahmat bagi alam semesta; beliau senantiasa menjadi rahmat bagi
alam semesta: dimulai dari diturunkannya wahyu kepadanya dengan kalimat iqra
hingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya kepada
orang-orang yang berhak mewarisinya sampai hari kiamat. Alhasil,
beliau adalah rahmat yang dihadiahkan kepada manusia; beliau adalah
rahmat yang tidak menonjolkan mukjizat yang mengagumkan, tetapi beliau
adalah rahmat yang memulai dakwah dengan mengutamakan fungsi akal atau
pembacaan dua kitab: pertama, pembacaan kitab alam atau Al-Qur'an yang
diciptakan atau kalimat-kalimat Allah SWT yang terdiri dari jutaan
bentuk dan kedua pembacaan Al-Qur'an yang diturunkan melalui
malaikat Jibril di mana ia merupakan kalamullah yang abadi. Dan kitab
alam dibaca dengan ribuan cara: dibaca melalui penelusuran dunia:
"Katakanlah:
'Berjalanlah kamu di mnka bumi dan amat-amatilah.'" (QS.
an-Naml: 69)
Atau dibaca
melalui usaha menyingkap misteri dan penggunaan akal:
"Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. " (QS. Fushilat: 53)
Atau dibaca
melalui ilmu dan pengamatan:
"Atau siapakah yang telah menjadikan
bumi sebagai tempat berdiam, dan yang telah
menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan
gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara
dua laut 1 Apakah
di samping Allah ada tuhan (yang lain)?
Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka
tidak mengetahui." (QS. an-Naml: 61)
Jika di sana
terdapat ribuan jalan atau cara untuk membaca kalimat-kalimat Allah
SWT dan kitab alam, maka di sana terdapat satu jalan untuk
membaca kalamullah yang abadi, yaitu hendaklah Al-Qur'an dibaca
dengan mata hati dan kecermelangan basirah, sehingga Al-Qur'an
menjadi bagian akhlak dari yang membaca sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum turunnya
Al-Qur'an, dunia diliputi dengan kekurangan, baik secara materi, ruhani,
undang-undang maupun dari dimensi kehidupan yang biasa melekat pada
manusia saat itu. Dan sebelum diutusnya Rasul saw yang beliau adalah manusia
yang sempurna dan paling utama, alam belum mencapai puncak dari penyerahan diri
kepada Allah SWT atau puncak dari keutamaan akhlak. Ketika Rasulullah
saw diutus, maka manusia mengalami kesempurnaan dan mampu
mencapai tingkat kesempurnaannya. Dengan Kitab yang mulia ini dan Nabi yang
pengasih, Allah SWT yang menyempurnakan agama bagi manusia dan
menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka, sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini
telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama
bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Namun semua
itu tidak terwujud begitu saja, Nabi yang mulia harus berjuang
secara serius dan sungguh-sungguh, sehingga beliau menjadi manusia yang
paling layak untuk mendapatkan pujian pendduduk bumi dan penduduk langit.
Dan Rasulullah saw telah melakukan semua itu. Kita tidak mengenal
seorang nabi yang perasaannya
dihina dan dicaci maki lebih dari apa diterima oleh Muhammad bin Abdillah; kita
tidak mengenal seorang nabi yang memikul
berbagai penderitaan, dan memiliki kesabaran yang mengagumkan di jalan Allah SWT sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Nabi kita.
Kemudian,
seorang yang diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi alam semesta
tidak akan mengajak manusia menuju kebenaran kecuali jika manusia
tersebut dari kalangan orang-orang yang kafir dan membangkang.
Beliau berdakwah bagi orang yang berhak mendapatkan dakwah; beliau siap
memikul tanggung jawab dakwah dengan berbagai tantangan dan cobaannya;
beliau menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Setelah itu, beliau datang
kepada Allah SWT dengan hati yang puas dan air mata yang bercucuran
dan dengan suara berbisik berkata: "Ya Allah, jika tidak ada kemurkaan
pada diri-Mu, maka aku tidak akan peduli dengan manusia." Segala sesuatu akan
menjadi mudah jika di sana terdapat ridha Allah SWT.
Setelah turunnya wahyu kepada
Rasul saw, beliau memulai tahapan dakwah dan mengajak manusia untuk menyembah
Allah SWT. Dimulailah dakwah secara rahasia
yang berlangsung selama tiga tahun
dalam persembunyian.
Mula-mula Ummul Mu'minin,
Khadijah binti Khuwailid beriman kepadanya, lalu beriman juga
sahabatnya, Abu Bakar sebagaimana beriman kepadanya anak pamannya, Ali
bin Abi
Thalib yang saat itu masih kecil
dan hidup di bawah asuhan Muhammad, dan juga beriman kepadanya Zaid bin
Tsabit, seorang
pembantunya. Kemudian Abu Bakar juga ikut
berdakwah, sehingga ia memasukkan
dalam dakwah teman-temannya, seperti Usman bin Affan, Thalha bin
Ubaidilah, dan Sa'ad bin Abi Waqas. Juga
beriman seorang Masehi, yaitu
Waraqah bin Nofel dan Rasulullah saw melihatnya setelah kematiannya
tanda kesenangan yang itu menunjukkan ketinggian derajatnya di sisi
Allah SWT.
Setelah itu, Abu Dzar al-Ghifari juga
masuk Islam, lalu disusul oleh Zubair bin Awam dan Umar bin 'Anbasah
serta Sa'id bin 'Ash. Jadi, Islam mulai mengepakkan
sayapnya secara rahasia di Mekah.
Kemudian
berita tersebarnya akidah yang baru ini sampai kepada pembesar-pembesar
Quraisy, tetapi mereka tidak begitu peduli. Barangkali mereka
membayangkan bahwa Muhammad telah menjadi—karena uzlah yang dilakukannya di gua
Hira—salah seorang juru bicara tentang ketuhanan sebagaimana pernah
dilakukan oleh Umayah
bin Shalt dan Qas bin Sa'adah.
Demikianlah
dakwah secara rahasia berhasil mengembangkan misinya dan dapat
melindungi akidah yang baru. Dan selama perjalanan tiga tahun yang
dibutuhkan tahapan
dakwah secara rahasia keimanan telah
tertanam dalam hati kaum Muslim yang pertama. Rasulullah saw telah
mendidik mereka dan telah menanamkan kepada
diri mereka sifat-sifat kemuliaan dan telah menciptakan mereka sebagai
benih pertama dari pasukan Islam. Pada suatu hari Jibril turun dengan
membawa firman Allah SWT:
"Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS.
asy-Syu'ara': 214)
Demikianlah,
datanglah perintah Ilahi agar Rasulullah saw berdakwah secara terang-terangan. Lalu
berkumpullah di sekeliling Nabi sekelompok tentara yang besar dan datanglah
perintah Ilahi agar beliau menyampaikan
dakwah secara terang-terangan dan mengingatkan
keluarga dekatnya. Ketika Nabi melakukan hal tersebut, maka dakwah memasuki
tahapan yang kedua. Dan tahapan dakwah
yang baru ini berakibat pada timbulnya penekanan terhadap para dai di mana
mereka mengalami penindasan, bahkan mereka didustakan oleh masyarakat
serta diboikot.
Orang-orang
Quraisy mengetahui bahwa Muhammad berbahaya bagi mereka. Beliau bukan hanya
berbicara tentang ketuhanan, tetapi beliau mengajak rnanusia untuk
mengikuti agama baru, yaitu agama yang mencoba untuk menyingkirkan
berhala-berhala dan patung-patung mereka serta tuhan-tuhan mereka yang mereka
yakini;
agama yang mencoba menyingkirkan kedudukan sosial mereka dan
kepentingan-kepentingan ekonomi mereka; agama yang menyatakan bahwa tiada tuhan lain
selain Allah SWT, dan tiada hukum lain
selain hukum-Nya, serta tiada penguasa lain selain Dia. Kedatangan agama tersebut menyebabkan penduduk
kota Mekah membencinya dan
orang-orang yang memegang kekuasaan di
dalamnya merasa gelisah.
Setelah
pengumuman dakwah secara terang-terangan, dimulailah dan ditabuhlah
gendrang peperangan. Kemudian peperangan yang dahsyat terjadi antara para
pembesar Quraisy dan para pengikut Rasulullah saw. Orang yang pertama
kali menyerang Islam adalah seorang tokoh Mekah yang bernama Abu Lahab.
Bukhari meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw menaiki bukit Shafa dan
beliau mulai memanggil-manggil tokoh Quraisy dan para kabilah Mekah. Dan ketika semua berkumpul, beliau
bertanya kepada mereka: "Apakah
kalian percaya jika aku memberitahu kalian
bahwa seekor kuda akan datang menyerang kalian?" Mereka menjawab: "Tentu, kami belum pernah melihatmu
berbohong." Beliau berkata:
"Aku seorang yang diutus sebagai pemberi peringatan terhadap kalian. Di hadapanku terdapat siksaan
yang berat jika kalian menentang." Abu Lahab berkata: "Sungguh celaka
engkau, apakah karena ini engkau
mengumpulkan kami."
Dengan
penghinaan inilah, peperangan terhadap Islam dimulai. Ketika kaum
Muslim tidak mampu mempertahankan diri mereka, maka mula-mula
Allah SWT membantu mereka dan menolong mereka dengan menurunkan surah yang
pendek yang mengecam tindakan Abu Lahab:
"Binasalah kedua
tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah
bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang dia usahahan.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu
pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari
sabut. " (QS. Allahab: 1-5)
Dengan ayat-ayat
yang pendek dan tepat tersebut, Abu Lahab memasuki kancah
sejarah dari pintunya yang paling pendek. Gambaran tentang
kejahatan Abu Lahab tertulis selama-lamanya. Abu Lahab adalah seorang
yang menentang dakwah
kebenaran karena ia mengkhawatirkan
kedudukannya dan kekayaannya, padahal harta
yang dipertahankannya dan dijaganya tidak memiliki arti sama sekali di
sisi Allah SWT karena ia sekarang
berada dan dijebloskan di
tengah-tengah neraka yang menyala-nyala, sedangkan isterinya membawa
kayu bakar, sehingga menambah
nyala api itu sendiri. Dan di
lehernya terdapat suatu belenggu sebagai simbol keterikatannya dengan
dunia binatang yang tidak berakal. Sebagian besar orang-orang yang
menentang dakwah adalah orang-orang
yang berhubungan dengan dunia binatang
yang tidak sadar.
Allah SWT
berfirman:
"Atau apakah kamu
mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak
lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya
(dari binatang ternak itu). " (QS. al-Furqan: 44)
Seandainya
hari ini kita merenungkan reaksi orang-orang kafir dan orang-orang
musyrik, maka kita akan terheran-heran.
Allah SWT
berfirman:
"Dan mereka
heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan
orang-orang kafir berkata: 'Ini adalah
seorang ahli sihir yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu saja?
Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal
yang sangat mengherankan'." (QS. Shad: 4-5)
Coba
perhatikan bagaimana kebodohan kaum itu di mana mereka menganggap
bahwa pada hakikatnya terdapat multi tuhan dan mereka jutru
merasa heran ketika terdapat hanya satu tuhan atau tuhan yang esa. Mereka
justru merasa heran ketika berhadapan dengan masalah yang fitri dan jelas ini.
Allah SWT
berfirman:
"Dan apabila
mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu
sebagai ejekan (dengan mengatakan): 'Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai rasul?
Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita
dari sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya. " (QS. al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah betapa
nekatnya kaum itu di mana mereka mulai menghina dan mengejek Rasulullah saw,
padahal beliau telah datang di tengah-tengah mereka untuk menyelamatkan mereka
dari api neraka, dan coba perhatikan bagaimana pandangan mereka terhadap
tuhan-tuhan mereka. Mereka membayangkan bahwa mereka nyaris
tersesat jika mereka tidak bersabar dalam membela tuhan-tuhan tersebut.
Demikianlah kesesatan mengejek kebenaran dan kebodohan menghina ilmu. Mereka justru
merasa heran terhadap kepandaiannya yang dapat menyelamatkannya dari meninggalkan tuhan-tuhannya yang terbuat
dari batu dan kayu, bahkan terkadang mereka
membuat tuhan dari adonan roti di mana mereka
menyembahnya kemudian memakannya. Mereka mengatakan bahwa tuhan-tuhan kami menyelamatkan kami dari
rasa lapar atau mereka mengatakan
bahwa kami menyembah mereka agar mereka dapat mendekatkan kami pada
Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun
demikian, dakwah Nabi terus berlanjut dan tertanam di muka bumi. Mereka
orang-orang musyrik menuduh Nabi sebagai seorang dukun; mereka menuduhnya juga
sebagai seorang gila, bahkan mereka menuduhnya sebagai seorang penyihir; mereka
menuduh
bahwa beliau berbohong atas nama kebenaran dan beliau dibantu oleh
kaum yang lain; mereka mengatakan ini adalah dongengan orang-orang
yang dahulu.
Mereka
meminta kepada beliau untuk mendatangkan mukjizat dengan bentuk tertentu;
mereka memberitahu bahwa mereka tidak akan beriman kepadanya, sehingga
terdapat suatu mata air yang memancar dari bumi atau terwujud di depan mereka
suatu taman dari pohon kurma dan anggur yang memancar di tengah-tengahnya sungai,
atau langit akan runtuh sebagaimana yang beliau sampaikan kepada mereka
sebagai bentuk azab atau beliau datang dengan Allah SWT dan para malaikat dan
mereka semua menjamin kebenaran dakwah yang diserukannya, atau beliau memiliki
rumah dari emas atau
beliau mampu mendaki langit dan mereka masih belum
beriman terhadap pendakian itu meskipun ia mendaki di hadapan mata mereka dan kembali dengan selamat,
kecuali jika ia menghadirkan kitab
kepada mereka yang dapat mereka baca dari langit.
Nabi tidak peduli dengan usaha mereka
untuk menyakiti hati beliau; Nabi tetap
memberitahu mereka dengan penuh kelembutan bahwa apa saja yang mereka
minta itu tidak sesuai dengan Islam. Sebab,
Islam hanya menyeru akal dan berusaha menciptakan kebebasan. Beliau
menyampaikan kepada mereka bahwa beliau hanya sekadar manusia yang
diutus oleh Tuhan; beliau datang kepada mereka untuk mengingatkan mereka
akan suatu hari
di mana seorang tua tidak akan
menyelamatkan anaknya dan tidak bermanfaat
di dalamnya harta dan anak-anak, dan mereka tidak akan selamat di
dalamnya dari siksaan. Orang-orang yang
mempunyai kedudukan atau para tokoh
mereka adalah para tiran-tiran di muka bumi
di mana semua itu tidak akan bermanfaat bagi mereka pada hari kiamat.
Siksaan yang bakal mereka terima
tidak dapat mereka hindari dan mereka
pun tidak dapat meringankannya.
Demikianlah
Islam—sebagaimana agama-agama sebelumnya— mengumpulkan di
sekelilingnya orang-orang yang berakal dan orang-orang yang
fakir serta orang-orang yang menderita di muka bumi. Berimanlah sekelompok
orang-orang fakir di mana mereka menjadi
kelompok sosial yang tertindas dan tersingkirkan di Mekah. Mereka menjadi
makanan empuk kelompok-kelompok yang
lalim.
Islam bukan hanya memberikan
solusi ekonomi terhadap tragedi kehidupan
atau masyarakat, tetapi Islam memberikan solusi Ilahi terhadap keberadaan
manusia secara umum; Islam meyakini bahwa
manusia bukan hanya sekadar perut yang harus dikenyangkan dan naluri seksual yang harus dipuaskan,
manusia bukan hanya dilihat dan
dinilai dari sisi ini, namun Islam justru meletakkan manusia pada
tempatnya yang hakiki, tanpa membesar-besarkan atau mengecilkannya. Dalam pandangan Islam, manusia terdiri dari bangunan
fisik dan ruhani, terdiri dari akal dan ambisi dan terdiri dari celupan dari Allah SWT dalam ruhnya.
Islam tidak
mementingkan fisik saja dan meninggalkan ruhani, begitu juga sebaliknya.
Terkadang fisik
boleh jadi mendapatkan kebahagiaan dalam
kehidupan, tetapi ruhani justru mengalami penderitaan yang luar biasa.
Karena itu, pemuasan salah satu dimensi dari dimensi manusia tidak akan
membawa
manusia kepada kesempurnaan atau
kebahagiaan. Maka, Islam datang untuk membawa suatu solusi yang dapat
menyelamatkan manusia dari dalam dirinya
sendiri dan Islam membebankan tugas ini, yakni tugas perubahan ini
kepada Al-Qur'an.
Al-Qur'an menjadi
cermin dalam kehidupan di mana ayat-ayatnya diturunkan kepada Rasul saw, lalu
beliau mengajarkannya kepada kaum Muslim. Kemudian Al-Qur'an berubah
menjadi orang-orang yang berjalan di pasar-pasar dan mengancam singgasana kebencian
yang menguasai Mekah, sehingga orang-orang musyrik justni meningkatkan
usaha pengejekan dan penghinaan terhadap Rasul saw. Oleh karena itu, beliau
semakin sedih lalu Allah SWT menghiburnya. Allah SWT memberitahu beliau
bahwa mereka tidak mendustakannya, tetapi mereka justru melalimi diri
mereka sendiri. Mereka mulai menentang Nabi dan ayat-ayat Allah SWT, padahal
Nabi adalah salah satu dari ayat Allah SWT.
Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasannya apa yang
mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah hamu bersedih
hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan
tetapi orang-orang yang lalim itu mengingkari ayat-ayat Allah." (QS. al-An'am: 33)
Kemudian kaum
musyrik meningkatkan penindasan kepada Rasul saw dan para pengikutnya.
Peperangan dimulai: dari peperangan urat saraf sampai peperangan fisik.
Mereka mulai menyiksa para pengikut Rasul saw, bahkan membunuhnya. Pada saat
itu, musuh-musuh Islam membayangkan bahwa dengan cara menindas kaum Muslim
dan menekan mereka dakwah Islam akan berhenti dan kaum Muslin akan enggan untuk
berdakwah. Mereka menganggap bahwa kaum Muslim justru memilih untuk
menyelamatkan diri mereka. Namun para tokoh-tokoh Quraisy dan para
tokoh-tokoh Mekah dikagetkan ketika melihat penekanan yang mereka lakukan
justru semakin membakar semangat kaum Muslim untuk berdakwah. Saat itu
kaum Muslim merasa yakin bahwa benih yang telah ditanam Rasulullah saw dalam
diri mereka menjadikan mereka tetap bersemangat untuk menyebarkan risalah
Allah SWT di muka bumi, yaitu suatu risalah yang mengembalikan bumi
menuju kematangan (kesempurnaan) yang telah hilang darinya dan kema-nusiaan yang
telah disia-siakan serta kehormatan yang telah ditumpahkan dan kebebasan
yang telah hilang.
Kaum Muslim
yakin bahwa mereka bukan hanya membangun suatu negeri yang kecil di Mekah, dan
mereka bukan hanya memperbaiki masyarakat yang rusak, yaitu masyarakat jazirah
Arab, tetapi mereka mengetahui bahwa mereka akan membangun suatu manusia yang
baru. Mereka akan menciptakan manusia seutuhnya; mereka akan
menghadirkan dunia dalam bentuk yang baru dan dalam gambar yang baru
yang merupakan cermin dari gambar kebesaran sang Pencipta.
Sebelum kedatangan
Islam, orang-orang Arab tidak dikenal. Dibandingkan dengan peradaban yang
dahulu dan modern, orang-orang Arab tidak memiliki apa-apa. Mereka
tidak memberikan kontribusi kepada dunia dalam bentuk ilmu, seni, atau
peninggalan apa pun yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan. Namun
ketika Islam turun kepada mereka, mereka menjadi cermin kejayaan manusia di
mana mereka dapat memberikan sumbangan nyata pada umat manusia.
Bahkan orang-orang Barat banyak berhutang kepada mereka dalam
kemajuan yang mereka capai saat ini. Sebaliknya, ketika mereka berpaling
dari Islam di mana Islam hanya menjadi lembaran cerita-cerita dan
kertas-kertas yang tidak berguna, maka saat itulah orang-orang Barat dapat
menguasai kaum Muslim karena mereka justru mendapatkan ilmu dari Kaum Muslim
itu sendiri. Mereka
justru mencapai kemajuan ketika kaum Muslim meninggalkan
agama mereka. Jadi, ketika kaum Muslim memahami Islam secara benar dan berusaha untuk memnghidupkan ajaran-ajarannya
niscaya mereka akan mencapai puncak keilmuan.
Pada
awal-awal masa tersebarnya Islam, kaum Muslim menyadari bahwa mereka menghadapi peperangan
yang tidak akan berhenti. Selama kehidupan
ada, maka pertentangan pun tetap ada. Oleh
karena itu, ketika mereka mendapatkan penganiayaan dan siksaan, maka keimanan
mereka justru semakin meningkat, dan setiap
penganiayaan yang dilakukan oleh kaum Quraisy, maka mereka tetap bertahan untuk mempertahankan kebenaran.
Sebagai contoh, Amar bin Yasir mengalami penderitaan dan penganiayaan. Ia adalah salah seorang budak yang menjadi korban dari
sistem ekonomi yang berlaku saat itu, yaitu ekonomi yang berdasarkan kepada sistem perbudakan. Seorang yang beriman
tersebut disiksa di Mekah di mana ia
tidak memperoleh kebebasannya yang hakiki kecuali setelah ia memeluk
Islam. Mereka mengeluarkannya ke gurun dan
menyiksanya beserta ibunya. Bahkan siksaan semakin meningkat atas ibunya agar
ia kembali menjadi musyrik. Ketika ia tetap
mempertahankan keimanannya dan dengan tegas menolak ajakan untuk menentang Islam, maka Abu Jahal
menikamnya dengan belati yang ada di dua tangannya. Ia pun meninggal.
Dan Islam mengorbankan syahidnya yang pertama. Wanita mulia itu bernama Sumayah, ibu dari Amar bin Yasir.
Banyak kalangan orang-orang
bodoh mengatakan tentang persetujuan Islam terhadap sistem perbudakan, atau
Islam mendiamkan sistem perbudakan. Mereka lupa bahwa Islam dibangun berdasarkan
suatu prinsip yang ingin membebaskan perbudakan dengan segala
bentuknya; Islam ingin mengeluarkan manusia dari kepemilikan sesama manusia menuju
kepemilikan kepada Allah SWT.
Jika Islam tidak
turun dengan nas-nas yang terperinci yang mengharamkan sistem
perbudakan, maka dasar-dasarnya secara umum dan prinsip-prinsip utamanya
menghentikan—baik dalam tindakan maupun ucapan—sumber-sumber sistem
ini.
Allah SWT sebagai pemilik syariat mengetahui bahwa sistem perbudakan
adalah sistem ekonomi yang sementara yang akan berubah
dengan perubahan waktu, dan karena
Islam tidak turun pada waktu yang terdapat perbudakan saja, tetapi ia
turun
secara umum dan menyeluruh untuk setiap zaman, maka Islam sengaja
melewati bentuk-bentuk yang temporal ini
dari bentuk-bentuk eksploitasi menuju unsur
yang pertama atau dasar pertama yang menimbulkan bentuk-bentuk
eksploitasi tersebut, sehingga Islam
mengharamkannya. Dengan cara demikian, Islam mengharamkan sistem
perbudakan secara bertahap, seperti proses
pengharaman khamer. Jadi, keseriusan Islam sangat menonjol dalam usaha
menghapus dan mengharamkan perbudakan.
Jika dikatakan
kepada kita bahwa Islam membolehkan para tentaranya untuk memperbudak para
tawanan perang, maka kita akan mengatakan bahwa Islam menerapkan sistem ini
sebagai bentuk pembalasan terhadap perlakuan yang sama di mana musuh-musuh Islam
menjadikan kaum Muslim sebagai budak-budak mereka ketika mereka
menawannya. Oleh karena itu, secara alami orang-orang Islam pun
menawan mereka sebagai budak-budak. Jika Islam tidak melakukan yang demikian,
maka boleh jadi Islam akan dimain-mainkan dan ada kesempatan besar bagi
orang-orang musyrik
untuk memperdaya Islam.
Demikianlah bahwa
dakwah Islam mengalami berbagai macam hambatan dan penindasan. Dan
ketika orang-orang yang
tersiksa mengadu kepada Rasulullah saw atas
penindasan yang mereka terima, maka
Rasulullah saw memberitahu mereka dengan pembicaraan yang jelas bahwa
para dai di jalan Allah SWT harus mengorbankan
kesenangan mereka, kedamaian mereka, dan darah mereka sebagai harga yang
pantas untuk tersebarnya dakwah
Islam. Kebebasan bukan diperoleh
dengan cuma-cuma. Sejarah kehidupan menceritakan kepada kita bahwa ia
dipenuhi
dengan gumpalan darah yang harus
dibayar oleh masyarakat untuk memerangi musuh-musuhnya dari luar dan
dari dalam. Jika ini dialami setiap orang yang menuntut kebebasan pada
zaman dan
tempat tertentu, maka bagaimana dengan orang-orang yang menuntut
kebebasan manusia
secara keseluruhan.
Seorang Muslim hendaklah sadar bahwa
dengan mengumumkan dakwahnya, maka ia pasti
akan menerima pengusiran, penindasan,
penjara, pengepungan dan pembunuhan. Ini adalah harga yang pantas yang
harus dibayar ketika berdakwah di jalan Allah SWT;
inilah harga kebebasan. Bahkan terkadang kaum yang batil pun membayamya
dengan senang hati, maka bagaimana mungkin orang-orang
yang bersama kebenaran ragu untuk melakukannya.
Pada hakikatnya,
manusia cinta kepada keabadian. Secara naluri manusia merasa takut
pada azab dan kematian. Dan barangkali yang membedakan orang-orang Islam yang
hakiki dengan yang lainnya adalah bahwa mereka terbebas dari rasa ketakutan
dan cinta keabadian. Ini adalah tolok ukur yang pasti untuk membedakan
antara seorang Muslim yang hakiki dan seorang Muslim yang hanya namanya atau
Muslim warisan atau hanya klaim semata.
Seorang
Muslim yang hakiki menyadari bahwa ajal di tangan Allah SWT, rezeki
adajuga di tangan-Nya, begitu juga keamanan semua ada di
tangan-Nya. Dengan keimanan seperti ini, ia memulai pergulatannya untuk
menyebarkan dakwah. Ia
siap untuk menerima penyiksaan dan penderitaan di jalan Allah SWT; ia
pun siap meneteskan darahnya sebagai harga yang pantas
yang diberikannya dalam rangka
memperoleh kebebasan. Ini semua dilakukanya dengan begitu sederhana dan
tidak ada rasa takut karena Islam membebaskannya dari rasa ketakutan.
Dahulu para
pembangkang menggergaji orang-orang
yang menyeru di jalan Allah SWT dengan menggergaji
saat mereka dalam keadaan hidup-hidup.
Khabab bin
Irit pergi menemui Rasulullah saw dan meminta tolong kepada beliau
dari penyiksaan orang-orang Quraisy, sambil berkata:
"Tidakkah engkau menolong kami, wahai Rasulullah? Tidakkah engkau berdoa
kepada kami, ya Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab:
"Sungguh sebelum kalian terdapat orang-orang yang berdakwah di jalan Allah
SWT lalu mereka dimasukkan dalam suatu galian tanah lalu mereka digergaji di mana tubuh mereka
dipisah menjadi dua, namun mereka tetap
mempertahankan agamanya. Demi Allah,
sungguh Allah SWT akan menolong masalah ini tetapi kalian terlalu tergesa-gesa."
Dengan
kalimat-kalimat yang penuh kesabaran dan keberanian ini, Rasulullah saw
ingin
memahamkan kepada orang tersebut bahwa termasuk dari kesempurnaan iman
adalah
membayar harga kebebasan. Jelas sekali bahwa Islam tidak memberikan
keuntungan bagi orang yang memeluknya. Orang-orang Islam yang pertama
tidak
bertanya dan mengatakan: "Apa yang kita peroleh dari agama ini?"
Sebaliknya, mereka bertanya: "Apa yang kita bayar untuk Islam?"
Jawabannya adalah: "Segala sesuatu dimulai dari suapan-suapan roti
sampai darah yang tertumpah." Jadi, kaum Muslim yang pertama telah
membayar ongkos kebebasan. Mereka merasakan kedamaian yang luar biasa
untuk
mempertahankan agama Allah SWT; mereka
mendapatkan kepercayaan yang tinggi tentang kemenangan kebenaran yang
datang kepada mereka; mereka justru memberitahu orang-orang musyrik
bahwa mereka akan
dapat mengalahkan raja-raja Kisra
dan Kaisar. Dengan dakwah yang mereka lakukan, mereka akan menjadi
pemimpin-pemimpin di muka bumi. Kaum
musyrik justru memanfaatkan kepercayaan ini untuk mengejek mereka dan
menertawakan mereka.
Ketika Aswad
Ibnu Matlab dan orang-orang yang bersamanya melihat
sahabat-sahabat Nabi, maka mereka mengejek dan mengatakan: "Telah datang
kepada kalian pemimpin-pemimpin bumi yang esok akan mengalahkan
raja-raja Kisra dan Kaisar, kemudian mereka bersiul dan bertepuk
tangan." Namun kaum mukmin tidak peduli dengan ejekan tersebut.
Demikianlah bahwa ejekan
demi ejekan terus menyertai dakwah kaum Muslim. Kemudian kaum Quraisy
mengadakan pertemuan yang bersejarah untuk menyatukan pandangan dalam
rangka
menyerang Rasulullah saw. Kaum musyrik menuduhnya bahwa beliau adalah
seorang
ahli sihir, dan pada kali yang lain mereka
menuduhnya bahwa beliau adalah dukun, dan pada kali yang lain lagi
mereka menuduhnya bahwa beliau adalah
penyair, bahkan pada kali yang lain mereka menuduhnya bahwa beliau
adalah seorang yang gila. Kemudian mereka semua sepakat untuk menuduh
bahwa beliau adalah
seorang penyihir.
Walid bin Mughirah
yang terkenal sebagai orang yang terpandang di kalangan mereka menuduh
Rasulullah saw sebagai penyihir yang dapat memisahkan antara sesama
saudara
dan antara seseorang
dengan isterinya. Kemudian mereka membikin kelompok-kelompok yang
mengingatkan para pendatang di Mekah bahwa Muhammad adalah seorang
penyihir. Meskipun
demikian, dakwah Islam tetap
berlangsung. Ia tetap tersebar dengan pelan namun pasti dan
kalimat-kalimat yang diutarakan Nabi
justru mengingatkan perjanjian yang pernah dilakukan oleh manusia, yaitu
perjanjian saat Allah SWT menyaksikannya
ketika mereka masih di alam atom di punggung Adam:
"Bukankah aku Tuhan kalian? Mereka menjawab:
'Benar.'" (QS. al-A'raf: 172)
Bertambahlah jumlah
kaum Muslim hingga kaum Quraisy merasakan ketakutan. Mereka mulai melihat bahwa
penggunaan cara-cara kekerasan tidak selalu berhasil. Kemudian mereka memilih
untuk menggunakan cara baru, yaitu bagaimana seandainya mereka menggunakan
perdamaian dan perundingan. Orang-orang Quraisy mengutus 'Utbah bin Rabi'ah,
seorang lelaki yang terkenal dengan kecerdasan dan kebijaksanaan sebagai
juru runding.
'Utbah
berkata kepada Rasul saw: "Wahai anak saudaraku, kami mengetahui
kedudukanmu di sisi kami dari sisi nasab. Engkau datang kepada kaummu
dengan suatu hal yang besar di mana engkau memisahkan
kelompok-kelompok mereka. Maka dengarkanlah aku karena aku ingin
berbicara tentang beberapa hal. Barangkali engkau akan menerima
sebagiannya." Rasul saw berkata: "Silakan berbicara wahai
'Utbah." 'Utbah berkata: "Jika engkau menginginkan harta niscaya kami
akan mengumpulkan harta bagimu, sehingga engkau akan menjadi orang yang paling
kaya di antara kami, dan jika engkau menginginkan kehormatan, maka kami akan
memberi kehormatan itu bagimu dan jika engkau menginginkan kekuasaan, maka
kami akan menyerahkan kekuasaan padamu dan jika engkau terkena penyakit yang
engkau tidak mampu menolaknya dari dirimu, maka kami akan mencarikan tabib
bagimu dan kami akan mengeluarkan harta kami sehingga engkau sembuh."
Demikianlah
'Utbah mengakhiri pembicarannya. Kemudian ia menunggu reaksi Nabi.
Lalu Rasulullah saw berkata:
"Dengan nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Haa miim. Diturunkan
dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyanyang. Kitab
yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk
kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa
peringatan,
tetapi kebanyakan mereka berpaling
(darinya);, maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata: 'Hati
kami berada dalam tutupan (yang
menutupi) apa yang kamu seru kami
kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada
dinding, maka bekerjalah kamu; Sesungguhnya kami bekerja (pula).'
Katakanlah: 'Bahwasannya
aku hanyalah seorang manusia seperti
kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya
Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang
lurus
menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya.
Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya),
(yaitu) orang-orangyang tidak
menunaikan zakat dan mereka kafir akan
adanya (hehidupan) akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh mereka mendapat
pahala yang tiada putus-putusnya.' Katakanlah: 'Sesungguhnya patutkah
kamu kafir kepada yang menciptakan bumi
dalam dua masa dan kamu adakan
sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta
alam. Dan dia menciptakan di bumi itu
gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia
menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertanya. Kemudian dia menuju kepada
penciptaan langit dan langit itu
masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:
'Datanglah
kamu keduanya menurut perintah-Ku
dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab: 'Kami datang dengan
suka hati.' Maha Dia menjadikannya
tujuh langit dalam dua masa dan Dia
mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang
dekat
dengan bintang-bintang yang cemerlang
dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang
Maha Perhasa lagi Maha
Mengetahui. Jika mereka berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah
memperingatkan kamu dengan petir, seperti
petir yang menimpa kaum 'Ad dan kaum Tsamud."
(QS. Fushilat: 1-13)
Rasulullah saw telah
menjawab tawaran 'Utbah di mana beliau memilih untuk menghadapi tawaran dan
iming-iming tersebut dengan membaca sebagian dari surah Fhusilat yang
merupakan salah satu surah Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah SWT melalui
malaikat Jibril. 'Utbah bangkit dari tempatnya ketika Rasulullah saw sampai pada
firman-Nya:
"Jika mereka berpaling, maka
katakanlah: 'Aku telah memperingatkan kamu
dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum "Ad dan kaum Tsamud. " (QS.
Fushilat: 13)
'Utbah berdiri dalam
keadaan takut dan segera menuju kaum Quraisy. Bayang-bayang azab dunia
terngiang di telinganya. Dan ketika ia sampai ke orang Quraisy, ia
mengusulkan agar orang-orang Quraisy membiarkan apa saja yang dilakukan
Muhammad. Gagallah perundingan dengan seorang Muslim yang pertama, yaitu Rasulullah
saw. Gagalnya perundingan tersebut sebagai bentuk pemberitahuan tentang
kembalinya tindak kekerasan dan penyiksaan terhadap sahabat-sahabat Rasul
saw. Kemudian kaum musyrik semakin meningkatkan penindasan terhadap kaum
Muslim. Rasulullah saw sangat menderita melihat hal yang dirasakan para sahabatnya.
Ketika kaum Muslim membayar harga yang paling mahal sebagai
konsekuensi dari akidah yang mereka anut dan mereka dengan sabar memikul
penderitaan di jalan Allah SWT, maka Rasulullah saw mengisyaratkan mereka untuk berhijrah.
Beliau memberikan izin untuk berhijrah bagi
orang yang ingin hijrah.
Kemudian Dimulailah gelombang
hijrah. Itu terjadi pada lima tahun dari turunnya
wahyu setelah dua tahun diumumkannya dakwah.
Maka berhijrahlah ke Habasyah enam belas orang Muslim. Mereka keluar secara rahasia dan mereka menuju ke
laut. Mereka berlayar meskipun orang-orang yang tinggal di gurun
sebenarnya tidak ingin berlayar karena mereka
takut dari laut dan mereka yakin
bahwa manusia yang berlayar di laut akan menjadi ulat di atas kayu-kayu yang berenang.
Selanjutnya,
gelombang hijrah yang kedua pun dimulai. Kali ini diikuti oleh delapan
puluh tiga orang laki-laki dan sembilan belas perempuan. Kemudian
orang-orang Quraisy berusaha untuk mengirim beberapa orang dan tetap berusaha
menyiksa dan menyakiti orang-orang yang berhijrah. Mereka mengutus ke
Najasyi, Raja Habasyah, orang-orang yang dapat mempengaruhinya untuk menentang orang-orang
yang berhijrah. Mereka menuduh kaum Muslim meninggalkan agama nenek moyang mereka
di Mekah dan mereka juga tidak menganut agama Najasyi, yaitu agama
Kristen. Kemudian orang-orang Quraisy tidak lupa mengirim hadiah kepada Najasyi
sebagai bentuk suapan kepadanya. Tampaknya Najasyi seorang yang berakal
lalu ia mengutus seseorang kepada kaum muhajirin dan bertanya kepada mereka tentang agama baru
yang mereka anut. Kemudian kaum muhajirin
menceritakan kepadanya tentang Islam.
Najasyi
bertanya tentang Isa lalu mereka menjawab: "Ia adalah hamba Allah SWT
dan
rasul-Nya dan ruh-Nya serta kalimat-Nya yang diletakkan kepada Maryam,
wanita
yang perawan yang suci." Kemudian Najasyi mengambil satu kayu kecil dari
bumi dan mengatakan: "Penjelasan tentang Isa yang
kalian katakan tidak lebih dari kayu
kecil ini. Pergilah kalian dan kalian akan aman." Najasyi
mengembalikan hadiah kaum Quraisy dan mengatakan: "Allah tidak mengambil
suap dariku sehingga aku tidak mungkin mengambilnya dari kalian."
Demikianlah kaum muhajirin
tinggal di negeri yang damai, yaitu Habasyah negeri yang dipimpin oleh
seorang laki-laki yang diberi kematangan berpikir di mana ia cenderung mengimani karakter
al-Masih sebagai seorang manusia. Dan salah satu keajaiban kekuasaan Ilahi
adalah bahwa masyarakat Islam yang berhijrah tersebut tidak
mengalami kelemahan dalam akidahnya, namun mereka justru
merasakan kekuatan.
Allah SWT memperkuat
dakwah Islam dengan masuknya dua lelaki besar dalam Islam, yaitu Hamzah, paman
Nabi dan Umar bin Khatab. Kedua orang itu mempunyai kepribadian yang
tangguh di Mekah di mana masing-masing dari mereka terkenal di tengah-tengah kaumnya. Allah SWT
berkehendak untuk memberi Islam dua orang
lelaki yang tangguh di Mekah dan Allah SWT telah meletakkan rahmat yang
terpancar dalam hati mereka. Hamzah masuk Islam karena dorongan emosi,
fanatisme, dan rahmat terhadaporang-orang yang tidak memberikan pembelaan kepada Muhammad saw.
Salah seorang
perempuan berkata kepada Hamzah: "Seandainya engkau melihat
apa yang diperoleh oleh anak dari saudaramu, Muhammad dari Abil Hakam bin
Hisyam (Abu Jahal). Sungguh Abu Jahal telah mencelanya dan menyakitinya,
sedangkan Muhammad hanya terdiam dan tidak mengatakan apa-apa." Mendengar
pengaduan itu, darah mendidih berkobar dalam urat-urat Hamzah. Dengan kemarahan yang sangat,
Hamzah mencari-cari Abu Jahal lalu ia melihatnya sedang duduk-duduk di
tengah-tengah kaumnya. Hamzah mengangkat tangannya lalu memukulkannya ke kepala Abu Jahal sambil berteriak:
"Apakah engkau akan mengejek Muhammad, padahal aku berada di atas
agamanya."
Demikianlah permulaan keislaman Hamzah.
Hamzah adalah seorang yang mulia di mana
perasaannya berkobar ketika ia melihat anak saudaranya disiksa dan dianiaya dan
dia tidak mendapati seorang pun yang
membelanya. Beginilah sebab-sebab pertama dari keislaman Hamzah, namun sebab yang paling dalam dan yang paling
menentukan adalah rahmat Allah SWT yang telah dianugerahkan kepadanya, meskipun Hamzah tidak mengetahuinya, yaitu
rahmat yang mendorongnya untuk tidak membiarkan seseorang pun menyakiti lelaki yang berdakwah di jalan Allah SWT hanya
karena ia seorang yang lemah dan tidak mempunyai penolong. Jadi, Hamzah adalah
penolongnya.
Sedangkan
Umar bin Khatab terkenal dengan ketangguhan sikap dan kekerasan
perilaku. Seringkali kaum Muslim mendapat siksaan darinya
ketika ia masih menganut jahiliah. Dan salah seorang yang
mendapatkan siksaan ciarinya adalah Amir bin Rabi'ah dan isterinya. Amir beserta
istcrinya menetapkan untuk berhijrah ke
Habasyah. Umar bin Khatab menemuinya lalu ia mendapati isteri Amir dan tidak mencmukan suaminya. Umar melihat wanita
itu sedang bersiap-siap untuk berhijrah lalu Umar berkata (saat itu
sumber rahmat telah memancar pada dirinya): "Apakah engkau akan pergi wahai Ummu Abdillah?"
Dengan nada jengkel, wanita itu
berkata: "Benar, demi Allah kami akan keluar dan menuju tanah Allah SWT. Engkau telah menyiksa
kami dan telah memaksa kami untuk
berhijrah. Kami akan pergi sehingga Allah SWT akan memberikan kelapangan kepada
kami." Umar berkata: "Mudah-mudahan
Allah SWTmenemanimu."
Wanita itu melihat
tanda-tanda kelembutan dan kesedihan pada wajah Umar. Dan ketika suaminya
kembali, ia menceritakan kepadanya bahwa ia sangat berharap kepada keislaman
Umar. Lalu suaminya menjawab: "Ia tidak mungkin masuk Islam sampai keledai Umar masuk
Islam." Ia mengatkan demikian karena ia melihat betapa bengisnya dan kejamnya Umar. Namun
perasaan lembut wanita itu lebih kuat
daripada pandangan pikiran lelaki itu dan keputusannya yang terlalu cepat kepada Umar.
Belum lama
mereka berhijrah sehingga Umar masuk Islam. Orang-orang muhajirin
mengeluarkan penutup sumur rahmat dalam dirinya. Dan barangkali Umar merasa
kebingungan lalu ia menetapkan untuk membunuh Rasul saw. Dengan menghunuskan pedangnya, ia
pergi menuju Rasul saw. Kemudian ia bertemu dengan orang-orang yang
memergokinya dalam keadaan kebingungan, lalu mereka bertanya kepadanya,
hendak kemana ia akan pergi? Umar menjawab: "Aku hendak ke Muhammad aku
akan membunuhnya sehingga orang-orang Arab merasa tenteram." Dengan nada
mengejek, seseorang berkata: "Tidakkah engkau memulai dari
keluargamu sebelum engkau membunuh Muhammad." Dengan nada jengkel, Umar berkata:
"Apa yang terjadi pada keluargaku?"
Lelaki itu menjawab: "Saudara perempuanmu dan suaminya telah masuk Islam, sedangkan engkau tidak
mengetahuinya." Umar segera mencari saudara perempuannya dan
suaminya di mana saat itu keduanya sedang membaca Al-Qur'an.
Ketika
melihat Umar, mereka menyembunyikan Al-Qur'an. Umar bertanya:
"Sepertinya aku mendengar suara bisikan dari luar." Tetapi
saudara perempuannya mengatakan: "Tidak." Kemudian suaminya ikut campur dan Umar pun
tampak marah kepadanya. Wanita itu bangkit
untuk membela suaminya lalu Umar memukulnya sehingga darah segar
mengucur darinya. Darah itu justru membangkitkan sumber rahmat dari diri Umar.
Akhirnya, Umar mengambil air wudhu agar mereka mengizinkan untuk membaca Al-Qur'an. Umar pun membacanya. Belum lama Umar
membacanya sehingga ia pergi menemui
Rasul saw.
Tanpa ragu,
Umar memilih untuk masuk Islam. Dan pedang yang dibawanya itu
menjadi pedang yang paling kuat yang dengannya ia mempertahankan agama
Muhammad saw. Kemudian ia mengetuk pintu untuk menemui Rasul saw di mana saat
itu beliau bersama sahabatnya. Dari celah-celah pintu, sahabat Nabi melihat Umar
bin Khatab sedang menghunuskan pedang. Kemudian sahabat itu kembali kepada
Nabi dengan membawa berita yang sangat mengejutkan ini. Ia menduga bahwa Umar
datang
dengan maksud jahat.
Rasulullah
saw bangkit dan memerintahkan para sahabatnya agar membiarkan
Umar. Rasulullah saw membukakan pintu Kemudian ia menyambut Umar
bin Khatab dan bertanya kepadanya apa yang diinginkannya. Umar menjawab
bahwa ia datang untuk mengucapkan
dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Orang-orang
Quraisy mulai merasa bahaya akan mereka temui setelah keislaman
Umar dan Hamzah. Para tokoh-tokoh Mekah dan orang-orang yang
dihormati telah masuk Islam. Sebelum Umar masuk Islam, kaum
Muslim bertawaf di Ka'bah secara rahasia dan dengan malu-malu,
namun ketika Umar masuk Islam ia menampakkan keislamannya dan ia menantang
orang yang mencegahnya untuk bertawaf, bahkan banyak orang-orang memberikan jalan
padanya
saat tawaf. Mekah mengetahui bahwa ia menghadapi suatu dakwah yang akan dapat mengubah jazirah
Arab.
Rasa ketakutan mulai menghantui para
pemuka Quraisy dan mereka menetapkan metode
baru untuk menghadapi kaum Muslim. Mereka yang sebelumnya menggunakan
metode penghinaan dan pengejekan kini mulai
mencoba untuk memblokade kaum Muslim
secara ekonomi dan kemanusiaan. Kaum musyrik mengadakan perkumpulan dan pertemuan untuk memboikot kaum
Muslim. Mereka mengadakan pertemuan
itu di Ka'bah, sebagai penghormatan
kepadanya. Orang-orang musyrik menghormati Ka'bah meskipun mereka memenuhinya dengan berbagai macam
patung yang mereka sembah dalam
rangka mendekatkan mereka kepada Allah. Pasal kesepakatan itu
menetapkan, hendaklah penduduk Mekah tidak
menjual barang apapun kepada kaum Muslim dan hendaklah mereka tidak
menikah dengan kaum Muslim. Dengan ketetapan yang
kejam tersebut, mereka ingin menghancurkan kaum Muslim dan membunuh perekonomian mereka. Rasulullah saw
dan orang-orang yang beriman kepadanya terpaksa berlindung di dusun Bani Hasyim.
Mereka dilindungi oleh keturunan Bani Muthalib, baik mereka orang-orang kafir maupun orang-orang beriman kecuali musuh
Allah SWT, Abu Jahal di rnana ia bersama orang-orang Quraisy menentang kaummnya.
Kemudian Dimulailah
blokade ekonomi terhadap kaum Muslim di mana tidak ada makanan dan
minuman
yang datang kepada mereka, sehingga penderitaan yang sulit kini dialami
oleh sahabat-sahabat
Nabi. Ketika kafllah perdagangan datang ke Mekah dan salah seorang dari
sahabat Nabi menemui mereka di pasar untuk membeli makanan untuk
keluarganya, maka Abu Lahab
berdiri dan berkata kepada para penjual, wahai para pedagang,
mahalkanlah dagangan kalian terhadap sahabat-sahabat Muhammad, sehingga
mereka tidak mampu membelinya dan aku menjamin
kerugian yang kalian alami, bahkan
aku akan membeli apa saja yang ingin mereka beli dari kalian.
Mendengar hal
tersebut, para pedagang pun menjual barang dagangannya dengan
harga yang tidak wajar, sehingga seorang Muslim kembali ke rumah keluarganya
tanpa membawa sedikit pun makanan. Kemudian padagang itu pergi ke Abu Lahab
dan memin-ta
kepadanya agar membeli barang yang ingin dibeli orang Muslim. Demikianlah peperangan tersebut terus terjadi
sehingga kaum Muslim merasakan
penderitaan yang sangat luar biasa di mana mereka dalam keadaan
kelaparan dan kekurangan pakaian yang layak. Peperangan ekonomi ini terjadi
selama tiga tahun penuh. Saking menderitanya para sahabat sampai-sampai Sa'ad
bin Abi Waqas pernah keluar pada suatu hari
untuk memenuhi hajatnya, lalu ia mendengar suara gemerincing di bawah
air kencing. Tiba-tiba ia menemukan sepotong kulit unta yang kering lalu ia
mengambilnya dan membasuhnya. Kemudian ia
membakarnya dan mencucinya dengan
air sampai bersih lalu ia menjadikannya makanan selama tiga hari.
Selama tiga tahun
tersebut wahyu tetap turun kepada Rasul saw dan seakan-akan ia
melupakan bencana yang keras ini. Allah SWT ingin mendidik para
pengikut agama-Nya agar mereka mampu memikul segala penderitaan.
Meskipun kaum Muslim mendapatkan berbagai
ujian selama tiga tahun tersebut, tetapi
aktifitas dakwah Islam tidak pernah padam
dan tidak pernah surut. Kaum Muslim bertemu orang-orang selain mereka pada musim haji lalu mereka
berbicara kepada orang-orang tersebut tentang keberadaan Allah SWT dan
mereka meminta kepada para pengujung itu
untuk mencari rahmat Allah SWT dan
ampunan-Nya. Keteguhan kaum Muslim dan keberanian mereka telah memikat banyak orang sehingga mereka
masuk Islam. Bahkan orang-orang musyrik mulai bertanya kepada diri
mereka dan mempertanyakan kebenaran apa
tindakan mereka. Lalu kecemburuan
kepada kebenaran mulai menyerang hati.
Kemudian Selesailah
peperangan ekonomi terhadap kaum Muslim di mana kaum musyrik melihat itu
tidak berdampak terlalu besar bagi kaum Muslim. Meskipun kaum Muslim
menerima penderitaan dan kerugian namun jumlah mereka tetap bertambah
dan keimanan mereka semakin kuat serta kepercaayaan kepada Allah SWT pun
semakin meningkat. Lalu datanglah tahun kesedihan kepada Nabi. Belum
lama Rasulullah saw merasakan dan menghirup udara segar setelah tiga tahun
masa blokade dan beliau ingin memulai kehidupan barunya dan dakwahnya,
sehingga beliau dikagetkan dengan kematian isteri tercintanya Ummul
Mukminin Khadijah dan
kematian pamannya yang tercita Abu Thalib.
Abu Thalib
adalah seorang yang besar yang memiliki kewibawaan di
tengah-tengah kaum Quraisy, sehingga usaha kaum Quraisy untuk menyakiti Nabi
menjadi terbatas ketika mereka berhadapan dengan "tembok
perlindungan" Abu Thalib kepada kemenakannya. Sedangkan Khadijah
merupakan tempat perlindungan dan kedamaian bagi Nabi. Ia adalah hati yang
sangat penyayang yang banyak menghibur Nabi saat beliau berdakwah.
Khadiijah adalah sebaik-baik teman dan sebaik-baik isteri. Begitu juga, bagi Khadijah Rasulullah saw adalah sebaik-baik teman,
sebaik-baik suami, sebaik-baik pembantu, dan sebaik-baik sahabat.
Rasulullah saw sangat
sedih ketika kehilangan dua orang yang sangat berpengaruh dalam
kehidupannya
itu, bahkan para sejarawan
menamakan tahun tersebut dengan tahun kesedihan. Sebaliknya, orangorang
musyrik justru bergembira dengan kesedihan Rasul saw itu. Mereka
menganggap bahwa Rasul saw
tidak lagi memiliki seorang tua yang
mampu melindunginya dan tidak lagi memiliki
seorang isteri yang dapat meringankan beban penderitaannya.
Setelah kematian dua
orang tcrscbut, penindasan dan penganiayaan kaum Quraisy kepada Nabi semakin
meningkat dan orang-orang
musyrik memilih waktu yang tepat untuk menyembelih binatang di Mekah lalu
mereka membawa usus-usus atau jeroan dari
unta dan mereka melemparkannya dan meletakkannya di atas punggung Nabi saat
beliau sujud. Kemudian berita memilukan itu sampai kepada putri tercintanya, Fatimah az-Zahrah, sehingga ia segera
datang dan berusaha membela ayahnya dan membersihkan kotoran yang ada di pundak
ayahnya itu. Demikianlah kemuliaan Siti
Fatimah az-Zahra yang senantiasa melindungi ayahnya.
Betapa
sedihnya Nabi saw ketika beliau melihat bahwa keadaan beliau sampai pada
batas di mana anak perempuan beliau pun turut membelanya. Namun beliau tetap
bersabar dalam berdakwah di jalan Allah SWT. Pada suatu hari beliau berpikir
untuk pergi ke Tha'if di mana di sana dihuni oleh kaum Tha'if. Barangkali
beliau berkata dalam dirinya: jika di sini aku mendapati hati-hati yang telah membeku
dan telah berhubungan mesra dengan kebatilan ialu mengapa aku
tidak pergi ke Tsaqif. Barangkali Allah SWT akan membukakan pintu
dakwah di sana. Mungkin di sana masih terdapat hati yang akan
terbuka guna menerima kebenaran.
Saat itu kaum
musyrik memberlakukan blokade umum atas dakwah yang dipimpin oleh
Rasulullah saw sehingga tekanan kepada beliau semakin meningkat sampai pada
batas di mana pergerakan dakwah tidak dapat bergerak satu langkah pun.
Keadaan demikian ini sangat menggelisahkan Nabi. Beliau ingin untuk
melepaskan belenggu yang mengikatnya. Lalu beliau memutuskan untuk pergi ke Tha'if.
Jarak antara Mekah dan Tha'if lebih dari tujuh puluh kilo meter. Nabi
menempuh perjalanan itu dengan jalan kaki, pergi dan pulang.
Kita tidak
mengetahui pemikiran-pemikiran apa yang terlintas dalam benak
Rasulullah saw saat beliau pergi dan menemui kabilah yang kafir kepada
Allah SWT ini. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau pergi ke sana dengan membawa rahmat
dunia dan akhirat. Tetapi mereka justru
membalas sikap baik Rasulullah saw itu dengan
tindakan jahiliyah. Mereka bersikap buruk kepada beliau dan mendustakannya. Rasulullah saw tinggal di sana
selama sepuluh hari. Beliau mondar-mandir
dari satu rumah ke rumah yang lain
dan dari pasar ke pasar yang lain dan dari satu jalan ke jalan yang lain. Tak
seorang pun yang mendengar kedatangan beliau di sana; tak seorang pun yang mau mendengar dakwah beliau dan tak seorang
pun yang mau beriman kepada ajakannya. Bahkan masyarakat di situ semakin menjadijadi dalam menyerang
Rasulullah saw dan mengejeknya.
Pada hari yang terakhir yang mana
beliau telah menetapkan untuk kembali ke
Mekah. Rasulullah saw berdiri di Tha'if dan mengharap kepada masyarakat
di sana agar merahasiakan kunjungannya kepada mereka sehingga pencelaan
yang beliau
terima di Mekah terhadap agama yang
dibawanya tidak semakin menjadi-jadi. Tetapi
penduduk Tha'if menolak permohonan yang terakhir ini. Mereka tidak cukup
melakukan hal itu tetapi mereka melakukan perbuatan
terburuk yang dilakukan manusia terhadap sesama manusia. Mereka menahan
keluarga orang-orang yang bodoh dan orang-orang
biasa untuk membentuk dua barisan dan memerintahkan mereka untuk
melempari Rasulullah saw dengan batu dan mengejeknya. Nabi keluar dari
Tha'if dan beliau
mendapatkan lemparan bertubi-tubi dari
keluarga Tha'if bahkan beliau merasakan kepedihan saat kakinya terkena
lemparan batu itu sehingga darah suci
mengucur dari kaki beliau.
Kemudian Rasulullah
saw diusir sehingga beliau sampai di suatu kebun yang dimiliki
oleh dua orang dari orang-orang kaya Tha'if. Di sana beliau duduk
di bawah naungan pohon anggur. Dua orang pemilik kebun itu merasa kasihan
melihat keadaan orang yang terusir dan terluka itu. Mereka membawa
kepadanya setangkai anggur dengan seorang pembantu. Pembantu mereka adalah seorang
Nasrani yang bernama Adas. Si pembantu meletakkan setangkai anggur itu depan
Rasul saw lalu beliau mengulurkan tangannya kepadanya sambil berkata:
"Bismillahirahmanirrahim (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang). Adas berkata kepada Nabi, perkataan ini tidak begitu
dikenal oleh penduduk negeri ini. Nabi berkata: "Anda dari
daerah mana?" Adas menjawab: "Aku adalah seorang Nasrani dari Nainawa."
Nabi berkata: "Apakah engkau dari desa lelaki saleh Yunus bin
Mata?" "Bagaimana engkau tahu tentang Yunus?, sambung
lelaki itu. Nabi berkata: "Itu adalah saudaraku. Ia adalah seorang
Nabi aku pun seorang Nabi."
Mendengar jawaban
Rasul saw, Adas segera merobohkan tubuhnya di depan kedua kaki Rasul saw
lalu ia menciuminya sambil menangis. Akhirnya, pembantu Nasrani itu masuk Islam
sehingga ia menambah barisan kaum Muslim. Ia adalah seorang yang menjadi Muslim
ketika Rasulullah saw berhijrah ke Tha'if. Inilah harga yang harus dibayar
Rasulullah saw sclania dua minggu saat beliau berada di Tha'if, dan
kemudian bcliau terkena cobaan dengan mengucurnya darah dari kaki beliau akibat lemparan batu
penghuni Tha'if.
Kemudian
Rasulullah saw kcmbali ke Mekah beliau kembali dalam keadaan
ditolak oleh pcnduduk Tha'if dan kini beliau kembali menerima penolakan
itu di Mekah. Meskipun demikian, beliau merasakan kesedihan yang
mendalam
melihat sikap kaumnya. Namun
ketika kebencian semakin deras mengalir kepada beliau, hati beliau
justru semakin bersemangat dan semakin dipenuhi dengan
rahmat kemudian datanglah kepada Nabi masa di mana tampak di dalamnya
Islam asing, dan tampak di dalamnya Nabi seorang diri, tanpa penolong.
Pada saat demikian ini
ketika manusia mulai meninggalkan Rasulullah saw lalu langit turut campur dan terjadilah peristiwa
besar dan mukjizat terbesar pada diri Nabi, yaitu Isra' dan Mi'raj. Ia adalah mukjizat yang tidak berhubungan dengan
dakwah Islam; ia tidak datang untuk memperkuat dakwah ini atau menetapkannya tetapi
ia datang semata-mata untuk memperkuat keteguhan Nabi dan sebagai penghormatan
kepadanya. Seakan-akan Allah SWT ingin berkata kepada Nabi, jika saja penduduk
bumi tidak memujimu, maka penduduk langit
mengenal kedudukanmu dan memberikan pujian yang layak kepadamu dan jika
manusia menolak dakwahmu dan menolak
keberadaanmu, maka sesungguhnya Allah SWT
memilihmu dan memuliakanmu.
Untuk melihat
tanda-tanda kebesaran-Nya, munculnya mukjizat Isra' dan Mi'raj
dalam sejarah para nabi sebagai mukjizat satu-satunya yang tiada
tandingannya dibandingkan dengan kisah nabi yang lain. Kita mengetahui bahwa di
deretan para nabi ada nabi-nabi yang
dinamakan oleh Allah SWT sebagai para kekasih-Nya dan sebagai para pendamping-Nya, seperti Nabi
Ibrahim. Kita juga melihat bahwa di
antara para nabi ada seseorang yang diajak bicara oleh Allah SWT tanpa perantara, seperti Nabi Musa.
Kita juga melihat di antara para nabi
ada yang didukung oleh Allah SWT dengan ruhul kudus, seperti
Nabi Isa. Tetapi untuk pertama kalinya kita berada di hadapan seorang
nabi yang diajak dan dipanggil oleh Allah SWT untuk menuju ke sisi-Nya.
Beliau naik bersama Jibril dengan
jasadnya dan ruhaninya sehingga Jibril
berdiri di suatu tempat dan Nabi maju sendirian. Itu adalah tingkat dari
tingkat kehormatan di mana pena terasa keluh untuk mengungkapkannya dan
sejarawan tidak
dapat menulis apa yang terjadi saat
itu. Kita telah melihat dalam kisah para nabi seorang nabi yang meminta
kepada Tuhannya agar memperlihatkan kepadanya
bagaimana Dia menghidupkan orang-orang yang mati. Allah SWT bertanya
kepadanya, apakah ia belum beriman akan hal itu? Ibrahim menjawab: Bahwa
ia beriman
tetapi ia ingin menenangkan hatinya.
Kita juga
melihat dalam kisah para nabi seorang nabi yang cintanya kepada Allah
SWT memancar dalam kalbunya sehingga ia meminta:
"Ya
Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat
kepada Engkau". (QS. al-A'raf: 143)
Namun Allah
SWT menjawab kepada Musa tentang kemustahilan melihat Allah SWT atas manusia.
Nabi Musa memahami bahwa makhluk manapun tidak akan mampu menahan
beban penampakan dari Zat sang Pencipta.
Adapun
Muhammad bin Abdillah ia tidak bertanya kepada Tuhannya dan meminta kepadanya
untuk diberi mukjizat atau kejadian yang luar biasa; ia tidak meminta
kepada Tuhannya agar dapat melihat Zat-Nya dan ia tidak berusaha mencari
ketenangan dalam hatinya. Cintanya kepada Allah SWT termasuk bentuk cinta yang sulit
untuk dipahami atau diselami kedalamannya oleh para tokoh pecinta dan cintanya
tersebut bukan termasuk bentuk yang menimbulkan berbagai pertanyaan. Cinta beliau
melampaui tingkat permintaan menuju ketingkat penyerahan dan kepuasan atau ridha. Segala
sesuatu yang menggelisahkan Nabi adalah ridha Allah SWT.
Rasulullah
saw berkata saat beliau dalam keadaan ditolak dan diusir dan terluka
akibat perbuatan kaum Tha'if: "Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka
aku tidak peduli dengan mereka."
Lihatlah
tingkat cinta yang tinggi itu: bagaimana tingkat tersebut menyebabkan beliau
merasa rendah diri sehingga beliau berkata, "jika Engkau tidak murka
kepadaku ..." Seakan-akan beliau tidak menginginkan selain ridha Allah SWT
dan yang beliau khawatirkan adalah kemarahan Allah SWT.
Sungguh adab yang
diterapkan Rasulullah saw kepada Tuhannya adalah adab yang paling layak dan
paling tinggi yang sesuai dengan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang
paling sempurna.
Demikianlah mukjizat
Isra' dan Mi'raj. Mukjizatyang tujuannya adalah menghormati kepribadian Rasulullah saw; mukjizat
yang membangkitkan peranan akal dan hati secara bersama. Para nabi tanpa terkecuali didukung oleh bcrbagai macam
mukjizat yang terjadi di muka bumi bahkan para nabi yang diangkat ke langit seperti Nabi Idris dan Nabi Isa, maka pengangkatan
mereka sebagai bentuk menyelamatkan
mereka dari usaha pembunuhan atau penyaliban.
Mukjizat mereka saat mereka diangkat ke langit adalah bentuk akhir dari aktifitas mereka di muka bumi.
Ini adalah kali pertama ketika
kita mendapati suatu mukjizat yang tempat
utamanya di langit; suatu mukjizat yang terwujud bersama seorang Nabi yang diangkat ke langit dengan
jasadnya dan ruhaninya saat beliau
masih hidup. Di sana Allah SWT memperlihatkan
kepadanya tanda-tanda kekuasaan-Nya. Kemudian beliau kembali ke bumi di mana beliau akan mendapatkan
berbagai macam tantangan dan cobaan yang biasa diterima oleh penduduk bumi. Muhammad bin Abdillah adalah manusia yang
pertama melewati planet bumi dan
beliau menembus bulan dan matahari dan
bintang-bintang. Kita menyaksikan di zaman kita manusia pertama atau astronot pertama yang mampu menembus
ruang angkasa. Ruang angkasa itu baru
dapat ditembus oleh manusia setelah empat
belas abad dari turunnya risalah Muhammad saw, namun sejak empat belas abad yang lalu Nabi Islam telah
dapat menembus ruang angkasa itu, bahkan beliau mencapai Sidratul Muntaha
dan puncak al-Muntaha.
Beliau sampai pada
batas yang di situlah alam makhluk diakhiri dan beliau menembus alam
gaib.
Bukankah surga bagian dari alam gaib? Beliau sampai di surga. Allah SWT
menamakannya dengan Jannatul Ma'wah. Beliau sampai pada batas
terputusnya ilmu manusia dan tiada
yang mengetahui hakikat ilmu tersebut kecuali Allah SWT. Mukjizat Isra'
bukanlah mukjizat Mi'raj, meskipun kedua-duanya terjadi di satu malam.
Peristiwa Isra' dan Mi'raj dikutip oleh dua surah yang berbeda dalam
Al-Qur'an al-Karim. Allah SWT berfirman tentang mukjizat Isra':
"Maha Suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS.
al-Isra': 1)
Sedangkan berkaitan
dengan mukjizat Mi'raj, Allah SWT berfirman:
"Dan
sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang
asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya
ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha
diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad)
tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauiya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan)
Tuhannya yang paling besar." (QS. an-Najm: 13-18)
Pada malam
Isra' dan Mi'raj, Nabi Muhammad berkeliling di sekitar Ka'bah dan
berdoa kepada Allah SWT. Beliau dalam keadaan pucat wajahnya dan
kedua air matanya mengucur; beliau tidak bertawaf bersama seseorang pun; beliau
tawaf sendirian lalu orang-orang kafir dan orang-orang musyrik memandang
beliau dengan pandangan kebencian saat beliau bertawaf dan berdoa.
Allah SWT melihat hamba-Nya yang khusuk itu lalu Allah SWT menurunkan perintah-Nya
kepada Ruhul Amin yaitu malaikat Jibril agar menemani hamba-Nya dari
Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha Kemudian membawanya naik ke
langit agar dia dapat melihat tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Di suatu rumah
yang mulia dan sederhana dari rumah-rumah yang ada di Mekah,
Nabi saw sedang tidur dan datanglah waktu pertengahan malam. Jibril turun dan
memasuki rumah sang Rasul saw. Jibril as berdiri di sisi kepala sang
Nabi dan ia melihat kepadanya dengan pandangan cinta. Pandangan Jibril
itu membangunkan Rasul saw kemudian beliau membuka kedua matanya dan
bangkit dari tempat tidurnya.
Jibril berkata kepada
Nabi saw, salam kepadamu wahai Nabi yang mulia. Allah SWT ingin agar engkau
melihat sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya di alam. Kemudian Jibril berjalan
bersama Nabi saw. Mereka keluar dari rumah dan beliau menyaksikan Buraq yaitu makhluk
yang menyerupai burung dan mempunyai sayap seperti burung garuda;
makhluk yang terbuat dari kilat. Karena itu, ia dinamakan dengan
Buraq. Kilat adalah listrik dan listrik adalah cahaya. Cahaya adalah makhluk
yang tercepat yang kita kenal di bumi. Kilauan cahaya pada satu detik saja
mencapai 186 ribu mil. Kita tidak akan terlibat terlalu jauh tentang kendaraan
luar angkasa yang digunakan dalam perjalanan itu; kita tidak akan
bertanya bagaimana Nabi saw menembus alam ruang angkasa tanpa ada latihan
sebelumnya dan berapa lama waktu yang beliau gunakan untuk pulang pergi; kami
juga tidak akan bertanya tentang kecepatan Buraq; kami tidak heran dengan
usaha penembusan luar angkasa ini; kita tidak akan bertanya tentang semua itu
karena kita mempunyai satu jawaban dari semuanya: Allah SWT
berkehendak agar hal itu terjadi dan untuk itu Allah SWT mengatakan kun
jadilah, maka jadilah.
Para ulama beselisih pendapat tentang
apakah Isra' dan Mi'raj terjadi dengan ruh
saja atau dengan ruhani dan jasad sekaligus. Ahli hakikat mengatakan
bahwa itu terjadi dengan ruh dan jasad. Tentu perselisihan itu berakibat
pada perselisihan
akal dan terjerumus dalam perangkap kaifa
(bagaimana) dan bertanya tentang kekuasaan
Allah SWT dan usaha untuk menundukkan masalah ini terhadap sebab-sebab
yang biasa atau hukum-hukum
kita yang alami atau logika
kemanusiaan. Allah Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua itu. Apakah
seseorang akan bertanya, bagaimana Rasulullah saw naik berserta ruh dan
fisiknya ke
puncak segala puncak di langit
kemudian beliau kembali sebelum tempat tidurnya dingin? Mukjizat apa
yang terjadi di sini yang melebihi mukjizat
berubahnya air mani menjadi manusia dan berubahnya benih menjadi pohon
atau mukjizat air yang menghidupkan tanah,
atau ia mampu memuaskan kehausan si
dahaga atau mukjizat cinta yang mengikat
dua hati yang belum pernah mengenal?
Sementara
itu, Buraq menundukkan badannya kepada Nabi saw kemudian Nabi saw
menungganginya bersama Jibril dan Buraq pergi bagaikan anak panah dari
cahaya
di atas gunung Mekah dan pasir-pasir menuju ke utara. Jibril
mengisyaratkan agar menuju arah gunung Saina' lalu Buraq itu berhenti.
Jibril
berkata di tempat yang diberkati
ini, Allah SWT berdialog dengan Musa as. Kemudian Buraq kembali pergi ke
Baitul Maqdis, Nabi saw turun dari pesawat ini yang berjalan lebih
cepat dari cahaya dan
jutaan kali lebih cepat darinya dan ia tidak berubah dari cahaya.
Nabi berjalan bersama
Jibril dan memasuki Baitul Maqdis. Beliau memasuki masjid dan beliau mendapati
semua nabi sedang menunggunya di sana. Allah SWT membangkitkan gambar para
nabi-Nya
dari kematian dan mengumpulkan mereka di Mesjid Aqsha. Para malaikat
memberinya suatu bejana yang di dalamnya terdapat susu dan bejana yang lain yang
di dalamnya terdapat khamer. Lalu beliau memilih susu dan meminumnya.
Dikatakan pada beliau, sesungguhnya engkau telah memilih fltrah dan umatmu akan memilih fitrah.
Para nabi mengitari
Rasul saw dan datanglah waktu salat. Para nabi bertanya di
antara sesama mereka, siapa di antara mereka yang menjadi imam salat,
apakah itu Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa atau Isa? Jibril berkata kepada Muhammad saw, sesungguhnya
Allah SWT memerintahkanmu untuk salat bersama para
nabi. Rasulullah saw berdiri dan salat
bersama para nabi. Mereka semua adalah orang-orang
Muslim dan beliau adalah orang-orang Muslim yang pertama. Secara logis
bahwa beliau layak menjadi imam dari para nabi sebagaimana kitabnya
dijadikan kitab yang
terbaik daripada kitab-kitab yang mendahuluinya. Beliau membacakan
Al-Qur'an kepada mereka dan beliau menangis
saat membacanya. Kekhusukan beliau
saat membacanya membuat para nabi pun menangis. Dan ketika para nabi
sujud di belakang imam mereka, pohon-pohon dan bintang-bintang pun turut
bersujud.
Selesailah
waktu salat dan para nabi membubarkan diri. Setiap nabi kembali ke
langit yang mereka tinggal di dalamnya. Nabi keluar dari masjid
bersama Jibril dan mereka kembali menunggang Buraq seperti panah
dari cahaya. Buraq semakin meninggi dan ia melewati langit pertama lalu beliau
menyaksikan Nabi Adam. Kemudian ada
panggilan dari Allah SWT: "Hendaklah hamba-Ku semakin meninggi dan
menjauh." Kemudian hamba Allah SWT Muhammad
bin Abdillah semakin terbang menjauh ia melampaui langit demi langit. Beliau melampaui tempat materi
dan mulai menjangkau tempat ruhani
dan melewatinya. Beliau bersiap berdiri di haribaan Ilahi; beliau
semakin tinggi dan jauh di tingkat dan dipuncak
ruhani dalam kecepatan yang tidak kurang dari kecepatan kilat.
Beliau melampaui
kedudukan Nabi Adam di langit pertama dan melampaui kedudukan
Nabi Yahya dan Nabi Isa di langit kedua. Lalu Tuhan pemilik kemuliaan
memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi." Kemudian hamba
Allah SWT dan Nabi-Nya yang mulia mencapai tingkat yang lebih tinggi
lagi. Beliau melampaui langit yang ketiga, keempat, kelima, keenam, dan
ketujuh. Beliau melampaui alam materi semuanya dan melampaui alam ruhani.
Akhirnya, beliau
sampai ke Sidratul Muntaha. Beliau sampai di tempat
yang suci yang Allah SWT menamakannya dengan sebutan Sidratul Muntaha dan di sana Nabi melihat dan
menyaksikan Jannatul Ma'wa. Beliau
menyaksikan yang kita tidak mampu mengetahuinya
dan memahaminya bahkan membayangkannya:
"(Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidnk (pula) melampauinya." (QS.
an-Najm: 16-17)
Sungguh
terjadilah pada tempat itu apa yang terjadi dengannya. Dengan kebesaran yang
misteri ini, Allah SWT memberitahu kita bahwa terjadilah hal penting di sana
meskipun hakikat hal tersebut tersembunyi dari kita. Sesuatu yang Allah SWT
sembunyikan dari kita tersebut disaksikan oleh Rasul saw. Itu adalah mukjizat
yang khusus baginya; itu adalah tingkat cinta yang tidak tersingkap tabirnya karena
ketinggiannya yang tidak mampu ditangkap oleh pengetahuan manusia biasa.
Kemudian Tuhan pemilik surga dan neraka
memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih
tinggi lagi." Hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah menaik ke tempat
yang tinggi. Kali ini beliau melihat
Jibril yang berada di belakangnya lalu beliau mendapatinya dalam keadaan
bertasbih kepada Allah SWT. Jibril tidak berada dalam wujud manusia
seperti yang Nabi saksikan ketika berada di dunia. Jibril as kembali ke
dalam wujud malaikatnya.
Nabi melihat Jibril dan ia merupakan
tanda kebesaran Allah SWT yang Allah SWT janjikan untuk diperlihatkan
kepadanya:
Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Pemandangan
itu terjadi dengan hati dan mata serta panca indera yang dikenal dan yang tidak
dikenal. Pemandangan itu benar-benar jelas. Di sana bukan mimpi, bukan
khayalan, dan bukan gambaran. Rasul saw melihat semua itu dengan
jasadnya dan ruhaninya:
"Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Kemudian Rasulullah
saw menuju ke tempat yang tinggi dan lebih tinggi lagi. Beliau semakin
naik
ke tingkat yang makin tinggi sampai beliau berdiri di hadapan Tuhan
Pencipta langit dan bumi dan Penebar kasih sayang di dunia dan di
akhirat.
Orang Muslim yang paling sempurna itu
bersujud di hadapan Tuhan Sang Pencipta
sambil berkata: "Sungguh penghormatan dan keberkatan serta shalawat yang
baik tertuju hanya kepada
Allah SWT." Allah SWT
membalasnya: "Salam kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah SWT serta
berkat-Nya juga tercurah
kepadamu." Para malaikat pun
ketika mendengar ucapan itu bertasbih dan mengatakan: "Salam kepada
kita dan kepada hamba-hamba Allah SWT yang saleh."
Ungkapan-ungkapan
tersebut merupakan permulaan tahiyat (penghormatan) yang
diucapkan orang-orang Muslim saat mereka melaksanakan salat pada setiap
hari. Salat telah diwajibkan
atas kaum Muslim pada kesempatan yang besar
ini. Hal populer di kalangan umumnya
kaum Muslim adalah, bahwa Allah SWT mewajibkan
atas Nabi mula-mula lima puluh salat sehari. Kemudian Nabi turun dari
langit lalu beliau menemui Nabi
Musa. Selanjutnya Nabi Musa bertanya kepadanya tentang jumlah salat yang
diwajibkan Allah SWT kepada umatnya. Nabi menceritakan bahwa Allah SWT
telah menentukan lima puluh kali salat. Nabi
Musa berkata sungguh umatmu tidak akan kuat untuk melakukan salat itu,
maka
kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah kepadanya agar Dia meringankan
bagi umatmu. Lalu Nabi kembali kepada
Tuhan-Nya sehingga Allah SWT
meringankan salat hingga sepuluh kali. Setelah itu, Nabi kembali bertemu
dengan Nabi Musa. Lagi-lagi Nabi Musa memperingatkannya. Kemudian Nabi
kembali lagi
kepada Allah SWT sehingga sampai
diturunkan salat dari lima puluh kali menjadi lima kali sehari. Namun
salat yang lima kali itu pahalanya sama dengan
salat yang lima puluh kali.
Menurut hemat kami, kisah tersebut
tidak memiliki sandaran dalam kitab-kitab
ulama yang benar-benar teliti. Kami kira, kisah itu tersebut merupakan
rekayasa orang-orang Yahudi di mana mereka masuk Islam dan mereka
memenuhi kitab-kitab
dengan dongeng-dongeng khurafat dan mereka menisbatkannya kepada Rasul.
Prasangka tersebut didukung oleh pemilihan
Musa sebagai seorang Nabi yang
mengusulkan kepada Rasul saw agar meminta keringanan atas umatnya
sehingga terkesan Nabi Musa menjadi seseorang
yang lebih mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Nabi Muhammad.
Kami sendiri cenderung untuk
menolak kisah tersebut dengan keyakinan bahwa pertemuan Nabi dengan
Allah SWT menimbulkan rasa kebesaran dan kewibawaan
yang luar biasa sehingga ketika Nabi
telah pergi, maka sangat berat baginya untuk kembali lagi.
Nabi menyaksikan dan melihat hal-hal yang
tidak mampu diungkap oleh lisan dan tidak
mampu ditulis dengan pena. Beliau berada
di suatu keadaan yang tidak dapat dipahami oleh manusia biasa. Al-Qur'an al-Karim sengaja tidak
mcnyebutkan apa saja yang dilihat oleh Nabi karena itu mernpakan rahasia
antara Nabi dan Tuhannya dan mukjizat yang
khusus yang diperuntukkan baginya sebagai bentuk penghormatan kcpadanya.
Jadi Al-Qur'an sengaja tidak menyebutkan itu
semua untuk menegaskan bahwa beliau melihat tanda dari tanda-tanda kebesaran
Tuhannya.
Kami tidak
mengetahui apa yang dilihat oleh Nabi. Hal yang dapat kami bayangkan
adalah, bahwa Nabi bersujud dengan khusuk di hadapan Tuhannya
dan beliau menangis karena gembira. Kesedihan hatinya telah hilang selamanya.
Setelah Nabi melihat rahasia dan setelah penghormatan yang besar ini,
beliau kembali menemani Buraq dan pergi bersama Jibril untuk kembali ke
bumi. Beliau kembali dan mendapati tempat tidurnya masih dingin. Bagaimana beliau pergi dan kembali
sementara tempat tidumya belum dingin? Berapa
lama waktu yang diperlukannya saat melakukan perjalanan tersebut? Hanya Allah SWT semata yang mengetahui. Yang
kita ketahui adalah, bahwa Rasulullah saw kembali ke tempat tidurnya setelah Isra' dan Mi'raj dan
hatinya dipenuhi dengan kegembiraan
serta dadanya dipenuhi dengan ketenangan dan kepuasan serta kefanaan dalam cinta kepada Allah SWT.
Kemudian
datanglah waktu pagi. Nabi menceritakan perjalanan dan pengalaman
tersebut kepada sahabat-sahabatnya dan orang-orang Musyrik sehingga
berimanlah orang-orang yang beriman padanya dan mendustakan kepadanya orang-orang
yang mendustakannya.
Namun beliau tidak peduli dengan semua itu. Nabi terus melangsungkan perjuangannya dengan penuh kesabaran.
Akhirnya, datanglah
suatu masa di mana Nabi saw mengetahui bahwa dakwah Islam di Mekah telah
mengalami penekanan yang luar biasa sehingga keadaan sangat tidak
mendukung bagi kaum Muslim. Rasulullah saw bergerak dengan dakwahnya.
Lalu Allah SWT mewahyukan kepadanya
agar ia berhijrah. Kemudian mulAllah Nabi berhijrah di jalan Allah SWT
setelah tiga belas tahun beliau di Mekah. Islam ingin membangun
negaranya dan
ingin menghilangkan pengepungan dan
serangan kaum musyrik. Mula-mula terjadilah
perubahan sedikit dalam keadaan kaum Muslim.
Rasulullah saw
keluar dalam musim haji untuk menunjukkan dirinya pada
kabilah-kabilah Arab sebagaimana yang beliau lakukan pada setiap musim.
Beliau berada di tempat yang bernama 'Aqabah, lalu beliau bertemu dengan
jamaah dari Khazraj. Rasulullah saw berkata kepada mereka, "siapa
kalian?" Mereka menjawab: "Kami berasal dari kelompok
Khazraj." Beliau berkata. "apakah kalian termasuk pembantu kaum
Yahudi?" Mereka menjawab, "benar." Beliau berkata,
"maukah kalian duduk bersama aku karena aku ingin sedikit berbicara dengan
kalian." Mereka menjawab: "Boleh." Kemudian mereka duduk bersama
Nabi lalu beliau mengajak mereka untuk mengikuti agama Allah SWT.
Rasulullah
saw sedikit menceritakan Islam kepada mereka dan membacakan Al-Qur'an.
Enam orang mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi saw. Setelah beliau
selesai dari pembicaraannya, mereka membenarkannya dan beriman
kepadanya. Kemudian mereka menceritakan kepada Nabi saw bahwa mereka
meninggalkan kaumnya karena kaum mereka terlibat peperangan dan kebencian.
Mudah-mudahan Allah SWT mengumpulkan mereka dengan kedatangan Nabi saw yang mulia ini. Mereka
memberitahu Nabi saw bahwa mereka akan
menceritakan kepada kaumnya apa yang mereka dengar dari Nabi saw dan
akan mengajak mereka untuk memenuhi dakwah
Nabi.
Keenam lelaki
itu kembali ke kota Madinah yang berubah namanya menjadi Madinah Munawarah
yang sebelumnya ia bernama Yatsrib di zaman jahiliah. Allah SWT berkehendak
untuk meneranginya
dengan Islam. Para lelaki itu kembali ke Madinah dan mereka membawa Islam di hati mereka sehingga banyak orang yang masuk Islam.
Kemudian datanglah musim haji dan
keluarlah dari Madinah dua belas orang lelaki
dari orang-orang yang beriman yang di antara
mereka terdapat enam orang yang Rasulullah saw telah berdakwah kepada mereka pada musim yang dulu dan Nabi
saw menemui mereka di 'Aqabah.
Kemudian Nabi melakukan baiat pada
mereka agar mereka mempertahankan keimanan dan membela dakwah kebenaran
serta kemanusiaan.
Kaum lelaki itu
kembali ke Madinah disertai salah seorang yang terpercaya dari tokoh
Islam yaitu Mus'ab
bin Umair di mana ia menjadi utusan
Rasulullah saw di Madinah dan ia mengajari manusia tentang agama mereka
dan membacakan kepada mereka
Al-Qur'an dan menyerukan kebenaran
kepada manusia sehingga tersebarlah
Islam di Madinah. Penduduk Madinah mulai bertanya-tanya, mengapa
saudara-saudara kita kaum Muslim
Mekah ditindas? Mengapa Rasul saw
keluar untuk berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi beliau justru
mendapatkan angin kebencian? Sampai kapan kita akan membiarkan
Rasulullah saw
teraniaya dan terusir di Mekah?
Demikianlah, pergilah
tujuh puluh orang ke Mekah, tujuh puluh orang dari penduduk Madinah
Munawarah.
Mereka pergi ke 'Aqabah dalam keadaan sendirian dan
berkelompok-kelompok.
Islam
telah menghasilkan buah pertamanya dalam hati mereka sehingga hati
mereka
dipenuhi cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta kaum Muslim.
Penderitaan
yang dialami kaum Muslim mempengaruhi jiwa mereka dan mencegah mereka
dari mendapatkan
kenikmatan tidur dan nikmatnya memakan dan nikmatnya kehidupan.
Orang-orang yang baik itu datang dan berbaiat kepada Rasul saw untuk
membela beliau menolongnya dan
melindunginya serta siap untuk mati di jalannya. Mereka datang setelah
hati mereka diliputi oleh Islam dan mereka memberikan segala
sesuatu untuk dakwah yang baru; mereka datang sebagai pecinta-pecinta
kebenaran.
Kitab-kitab
hadis yang suci meriwayatkan apa yang terjadi pada baiat 'Aqabah
al-Kubra. Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa Abbas Ibnu Abdul Muthalib datang bersama
Nabi dan saat itu ia masih berada dalam
agama kaumnya. Ia ingin menyelesaikan urusan
anak pamannya. Ketika ia duduk dan berbicara, ia mengatakan suatu pernyataan yang mengisyaratkan bahwa
Muhammad saw mendapatkan kemuliaan dari kaumnya dan kekuatan di
negerinya tetapi ia enggan dan memilih untuk
bergabung bersama kalian wahai
penduduk Madinah. Jika kalian memenuhi janjinya dan melindunginya, maka ambillah ia, namun jika
kalian khawatir jika suatu saat nanti
akan mengkhianatinya, maka mulai dari sekarang biarkanlah ia di
negerinya.
Kata-kata
Abbas tersebut berasal dari fanatisme kesukuan dan ikatan darah keluarga
namun penduduk Madinah tidak begitu peduli dengan kalimat Abbas itu karena ia
bukan termasuk dari agama mereka dan ia tidak mengetahui tingkat cinta
kepada Rasul saw yang mereka capai. Abbas bin Abdul Muthalib menunggu jawaban dari
penduduk Madinah. Lalu mereka berkata kepadanya, "Kami telah mendengar apa yang engkau
katakan, maka berbicaralah ya Rasulullah,
ambilah untuk dirimu dan Tuhanmu apa saja yang engkau sukai."
Kita ingin mengamati
jawaban sekelompok orang yang mukmin dari penduduk Madinah ini sehingga
Rasulullah saw berbicara. Jawaban yang dicari oleh Abbas bin Abu
Muthalib tersembunyi dalam pernyataan Nabi. Demikianlah setelah
Rasulullah
saw mengucapkan kalimatnya, maka tidak keluar pemyataan apa pun. Cukup
hanya Nabi
yang berbicara dan mereka hanya menaatinya. Mereka meminta kepada beliau
agar mengambil pada
dirinya dan Tuhannya apa saja yang beliau
sukai; mereka merasa tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki
keputusan. Nabi berbicara lalu beliau membaca Al-Qur'an dan mengajak ke
jalan Allah SWT.
Kemudian beliau bebicara tentang
Islam dan beliau membaiat mereka agar membantu beliau sehingga mereka
pun
membaiat kepadanya. Demikianlah
terjadinya baiat 'Aqabah al-Kubra.
Orang-orang
yang terpilih oleh Allah SWT itu mengetahui bahwa sebentar lagi
mereka akan diajak untuk mengangkat senjata: mereka diajak untuk
mendapatkan kematian di bawah naungan pedang. Mereka menenangkan Rasulullah
saw bahwa beliau akan mendapati orang-orang yang sudah terlatih dalam peperangan
karena
mereka mewarisi dari kakek-kakek mereka.
Salah seorang
dari tujuh puluh orang itu menyebutkan masalah yang penting. Abul
Haitsyam berkata: "sesungguhnya di antara orang-orang Madinah dan Yahudi terdapat
suatu tali ikatan, maka mereka boleh jadi akan memutuskannya lalu, apakah sikap
yang harus kita ambil jika mereka lakukan
hal itu dan memusuhi orang-orang Yahudi," kemudian Allah SWT menolong Nabi
dan memenangkan atas kaumnya, lalu
ia kembali kepada mereka dan meninggalkan
mereka di bawah kasih sayang orang-orang Yahudi.
Perhatikanlah bahwa pertanyaan
tersebut berkisar pada kecintaan kepada Nabi dan keinginan agar Nabi tetap
bersama mereka selama perjalanan hari dan
bulan. Masalah yang dituntut oleh Abbas
bin Abdul Muthalib secara jelas adalah masalah perlindungan mereka kepada Nabi, di mana hal tersebut tidak
lagi diperdebatkan oleh orang-orang yang terpilih dari penduduk Madinah.
Namun masalah yang mereka inginkan adalah
masalah perlindungan Nabi dan keberadaan Nabi bersama mereka di Madinah.
Nabi tersenyum dan
beliau mengatakan kalimat-kalimat yang justru menekankan bahwa ikatan akidah
lebih kuat daripada ikatan darah. Beliau berkata: "Tetapi darah
adalah darah dan kehancuran adalah kehancuran. Aku dari kalian dan kalian
dariku aku akan memerangi orang-orang yang kalian perangi dan aku akan berdamai dengan
orang-orang yang kalian berdamai dengan mereka."
Akhirnya,
penduduk Madinah pergi dan kembali ke negeri mereka. Kemudian
berita tentang baiat ini sampai ketelinga orang-orang Mekah dan para
tokoh musyrik, lalu mereka justru menambah penekanan kepada Rasulullah saw dan kaum Muslim.
Para preman Mekah berkumpul di Darul Nadwah.
Mereka menetapkan akan mengambil sesuatu keputusan penting berkaitan dengan
Nabi. Salah seorang dari mereka mengusulkan agar beliau dibelenggu dengan
besi lalu dibuang di penjara sehingga beliau mati kelaparan. Sebagian lagi
mengusulkan agar beliau dibuang dari Mekah dan diusir. Abu Jahal mengusulkan
agar mereka mengambil dari setiap keluarga dari keluarga-keluarga
Quraisy seorang pemuda yang kuat, kemudian setiap dari mereka diberi
pedang yang terhunus dan hendaklah mereka memukulkan pedang itu ke tubuh Nabi.
Jika mereka berhasil membunuhnya niscaya semua kabilah bertanggung
jawab terhadap darah sang Nabi dan Bani Hasyim tidak akan mampu menuntut dan
memerangi orang Arab semuanya dan mereka akan menerima diat sebagai tebusan
dari pembunuhan itu. Demikianlah persekongkolan itu digelar dan mereka
sepakat untuk melaksanakan hal itu. Namun Al-Qur'an al-Karim menyingkap
persekongkolan yang dilakukan orang-orang kafir itu dalam
firman-Nya:
"Dan
(ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan tipu daya terhadapmu untuk
menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan
tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baih
Pembalas tipu daya." (QS. al-Anfal: 30)
Allah SWT
mewahyukan kepada Nabi-Nya agar ia berhijrah. Lalu Nabi mulai
menyiapkan sarana-sarana untuk hijrahnya. Beliau menyembunyikan urusan
tersebut bahkan beliau tidak memberitahu sahabat yang akan menemaninya.
Rasulullah saw menyewa seorang penunjuk jalan yang pengalaman yang
mengenal padang gurun seperti
mengenal garis-garis tangannya. Yang mengherankan penunjuk jalan itu
adalah seorang musyrik.
Demikianlah Nabi memita bantuan kepada
orang yang ahli tanpa memperhatikan keyakinannya.
Kemudian
datanglah malam pelaksanaan kejahatan itu. Rasulullah saw
memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidumya di malam
tersebut. Datanglah pertengahan malam dan Rasulullah saw pun keluar dari
rumahnya. Para pemuda Mekah mengepung rumah. Mereka menghunuskan
pedangnya. Nabi menggenggam
tanah lalu beliau melemparkannya ke arah kaum sehingga
mereka pun merasa kantuk sehingga Nabi saw dapat menembus kepungan mereka. Beliau keluar dari Mekah dan berhijrah.
Dengan langkah yang
diberkati ini, kaum Muslim menanggali tahun-tahun mereka. Tahun dalam
Islam
adalah tahun Hijiriah, sedangkan
kaum Masehi menanggali tahun mereka dengan kelahiran Isa dan ini disebut
dengan tahun Masehi. Adapun tahun-tahun Islam, maka ia ditanggali
pertama kalinya
saat Rasulullah saw keluar berhijrah
di jalan Allah SWT. Hijrah Rasul bukan hanya lari dari penindasan tetapi
lari dari kebekuan; hijrah
tersebut bukan keluar dari keamanan tetapi keluar dari bahaya. Islam di
Mekah hanya dapat mempertahankan dirinya tetapi
ketika ia keluar ke Madinah ia mempertahankan dirinya ketika menyerang.
Dan selama beberapa tahun masa yang
dihabiskan di Mekah, tak seorang dari
kaum Muslim yang mengangkat senjata. Ketika mereka keluar ke Madinah,
mereka mulai membawa senjata dan mulai
menyalakan obor peperangan. Islam mulai membawa senjata sebagaimana luka
akan sembuh dengan syarat jika diobati. Nabi
saw mengetahui bahwa Islam tidak akan menghabiskan usianya hanya untuk
melawan
serangan pada dirinya; Islam ingin tersebar; Islam ingin mendirikan
negaranya yang pertama yaitu suatu negara
yang belum pernah dikenal di muka
bumi negara seperti itu. Negara yang mencapai keadilan, kasih sayang,
dan idealisme yang begitu luar biasa di
mana hukum Allah SWT ditegakkan dan kehormatan manusia benar-benar
dijaga.
Inilah
kedalaman hijrah yang mengesankan yaitu pendirian negara Islam setelah
sebelumnya membangun individu masyarakat Muslim. Setelah Rasul saw membangun
masyarakat Muslim dan membangun
masjid, maka beliau membangun suatu negara Islam. Selanjutnya, sayap-sayap dakwah mengepak.
Kami kira
pembaca tidak akan bertanya, apa gunanya pembangunan masjid ditingkatkan sementara
Islam masih mengalami penindasan di muka
bumi. Kami kira pembaca lebih pintar daripada orang yang tidak
mengetahui bahwa masjid yang dibangun Rasulullah
saw di Madinah bukan tempat peristirahatan dari keletihan, tetapi masjid merupakan pusat dari
kepemimpinan pergerakan Islam dan
kepemimpinan menuju peperangan Islam.
Manusia
mandi di masjid dengan cahaya Allah SWT setelah itu mereka mandi di
kancah peperangan dengan darah mereka. Pertanyaannya adalah, siapakah di
antara mereka yang akan terbunuh di jalan Allah SWT sebelum saudaranya? Demikianlah perlombaan dalam perbaikan terjadi di antara
mereka. Dengan cara demikianlah Islam tersebar.
Sementara itu, Nabi
berlindung di suatu gua; di gunung yang bernama Tsur. Beliau masuk ke gua itu
bersama sahabatnya Abu Bakar. Dan orang-orang musyrik pergi menyusul beliau
dengan membawa pedang mereka. Lalu mereka sampai ke gunung itu. Abu Bakar berkata
kepada Rasul saw dengan keadaan gelisah, "seandainya salah seorang
mereka melihat di bawah kakinya niscaya mereka akan melihat
kita."
Dengan tenang,
Rasulullah saw menepis kegelisahan Abu Bakar dan berkata: "Wahai Abu
Bakar apa
yang kamu kira dengan dua orang yang ada di
tempat yang sepi sementara Allah SWT menjadi ketiga di antara mereka?"
Sebelum Rasulullah saw mengakhiri kalimatnya, terdapat laba-laba yang
selesai dari
menenun rumahnya di atas pintu gua.
Kitab-kitab sejarah mengatakan bahwa kaum musyrik mengikuti jejak sang
Nabi sehingga mereka sampai di gunung Tsur lalu di situlah mereka
mengalami
kebingungan. Mereka mendaki gunung dan mendaki gua itu. Lalu mereka
melihat di atas pintu gua itu terdapat tenunan laba-laba.
Mereka mengatakan, seandainya
seseorang masuk di dalamnya niscaya tidak akan terdapat tenunan
laba-laba di atas pintunya. Beliau tinggal di gua
itu selama tiga malam.
Demikianlah keimanan
tenunan laba-laba yang lembut dimenangkan atas ketajaman pedang kaum musyrik
sehingga Nabi bersama sahabatnya pun selamat. Kini, kedua orang itu menuju
Madinah.
Dan Madinah pun menyambut mereka. Ketika Rasulullah saw dan sahabatnya memasuki Madinah,
mula-mula masyarakat tidak mengenal siapa
di antara mereka yang menjadi Rasul karena saking baiknya sikap Rasul terhadap
sahabatnya. Akhirnya, Nabi menerangi kota Madinah. Beliau membangun masjid dan
mendirikan negaranya serta memerangi musuh-musuhnya dan tersebarlah Islam dan Mekah pun ditaklukkan dan Baitul Haram
disucikan.
Beliau menanamkan dalam akal dan hati suatu
cahaya yang tidak akan pernah padam. Kemudian berlangsunglah sepuluh
tahun yang
dilewatinya di Madinah di mana beliau tidak menggunakannya untuk
berleha-leha. Demikian juga selama masa tiga belas tahun yang beliau
lalui di Mekah, beliau pun tidak mendapatkan istirahat yang cukup. Semua
kehidupan
beliau hanya untuk Allah SWT dan hanya untuk
Islam. Beban berat yang dipikul oleh punggung beliau yang mulia lebih
berat dari beban yang dipikul oleh gunung. Meskipun beliau seorang diri,
tetapi
beliau mampu memikul amanat yang
pernah Allah SWT tawarkan kepada langit dan bumi serta gunung namun
mereka pun enggan untuk memikulnya. karena mereka menyadari bahwa mereka
tidak akan
mampu memikulnya. Lalu datanglah beliau
dan beliau pun mampu memikul amanat itu dan melaksanakannya secara
sempurna.
Yaitu amanat untuk menyampaikan agama
Allah SWT; amanat untuk menyucikan
akal manusia dari polusi khayalisme dan khurafatisme: amanat yang
mewarnai kehidupan dengan hanya sujud
kepada Allah SWT.
Kemudian mengalirlah
dalam memori Nabi saw suatu arus dari gambar-gambar hidup: bagaimana
saat
beliau memasuki Madinah. Lewatlah di hadapan akal beberapa memori dan
nostalgia: bagaimana wahyu yang turun kepadanya dengan membawa risalah
di gua Hira, kemudian berubahlah pandangan dan bertiuplah angin
kebencian
kepadanya, bahkan angin itu membawa pasir-pasir tuduhan-tuduhan yang
dilemparkan ke wajah suci beliau. Beliau berdiri
sambil tersenyum dan hatinya dipenuhi dengan kesedihan di hadapan
gelombang gurun dan kesendirian serta
badai kesengsaraan. "Wahai
manusia, tiada Tuhan selain Allah SWT. Demikianlah kalimat yang beliau
katakan. Meskipun kalimat itu tampak
sederhana namun ia mampu membangkitkan dunia. Dan bergeraklah
patung-patung
yang begitu banyak yang memenuhi kehidupan dan mereka membekali dirinya
dengan
kegelapan dan kebencian yang
dialamatkan kepada sang Nabi. Para pembesar. para penguasa, uang, emas,
serta kebencian dan kedengkian setan yang
klasik dan banyaknya orang-orang munafik, semua ini menjadi musuh nyata
sang Nabi pada saat beliau mengatakan
"tiada Tuhan selain Allah SWT." Nabi mengingat kembali Waraqah bin
Nofel ketika menceritakan kepadanya
apa yang terjadi dan apa yang dialami
beliau di gua Hira. Tidakkah ia mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan
mengusirnya?
Hari-hari
hijrah sangat panjang dan berat. Matahari sangat dekat dengan kepala
dan rasa panas sangat mencekik tenggorokan dan rasa
pusing-pusing pun semakin meningkat. Setelah hijrah, Nabi memasuki Madinah.
Beliau disambut oleh kaum Anshar dengan sambutan luar biasa. Beliau datang
sendirian lalu mereka menolongnya; beliau datang dalam keadaan takut lalu
mereka mengamankannya; beliau datang dalam keadaan lapar lalu mereka memberinya
makanan; beliau datang dalam keadaan terusir lalu mereka memberikan perlindungan.
Bangunan
Islam mulai ditancapkan di Madinah. Beliau mulai membangun negaranya
setelah beliau membangun sumber daya manusia Islam yang tangguh. Yang
pertama kali dibangunnya adalah sumber daya Islam, setelah itu beliau
baru
membangun negara. Tidak ada nilai yang berarti dari satu sistem yang
hanya
berdasarkan prinsip-prinsip besar yang tidak lebih dari sekadar tinta di
atas kertas. Penerapan prinsip-prinsip
adalah tolok ukur final dari nilai apa pun
yang diberlakukan di dunia. Dan Islam telah berhasil menerapkan pada
masa-masa pertamanya suatu sistem
yang belum pernah dikenal dalam kehidupan manusia suatu sistem seperti
itu. Yaitu sitem yang menunjukkan keadilan, persaudaraan, dan kasih
sayang yang mengagumkan. Hal yang pertama kali
dilakukan Rasulullah saw adalah
membangun masjid di mana di situlah unta yang ditungganinya berhenti.
Mesjid itu tampak sederhana. Tikarnya terdiri
dari pasir-pasir dan batu-batu. Tiangnya terbuat dari batang-batang
kurma. Barangkali ketika turun hujan, maka tanahnya akan menjadi lumpur
karena mendapat siraman air hujan. Mungkin ketika angin bertiup dengan
kecang, maka
ia akan mencabut sebagian dari atapnya.
Di bangunan yang
sederhana ini, Rasulullah saw mendidik generasi Islam yang tangguh yang dapat
menghancurkan orang-orang yang lalim dan para penguasa yang bejat dan mereka
mampu mengembalikan kebenaran ke singgasananya yang terusir dan terampas.
Mereka mampu menyebarkan Islam di muka bumi. Mesjid itu tampak
kecil dan sederhana sekali tetapi ia dipenuhi dengan kebesaran;
masjid itu tidak menunjukkan kemewahan sama sekali. Di dalamnya
Al-Qur'an dibaca lalu orang-orang yang mendengarnya menganggap
bahwa mereka benar dan mendapatkan perintah harian untuk menerapkan dan
melaksanakan apa-apa yang mereka dengar.
Al-Qur'an dibaca
di masjid bukan seperti nyanyian yang orang-orang duduk akan
merasa terpengaruh dengan keindahan nyanyian dan suara
pembaca. Dan masjid di dalam Islam bukanlah tempat satu-satunya untuk
ibadah. Menurut kaum Muslim semua burni adalah masjid namun masjid adalah
simbol peradaban yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir,
sebagaimana ia menyuarakan ilmu, kebebasan dan persaudaraan.
Semua Nabi
berbicara tentang persaudaraan dan mengajak kepadanya dengan
ribuan kata-kata. Sedangkan Rasulullah saw telah mewujudkan
persaudaraan itu secara praktis, yakni ketika karakter masyarakat
saat itu mencerminkan Al-Qur'an. Nabi mulai mempersaudarakan kaum
muhajirin dan Anshar di mana sahabat Anshar Sa'ad bin Rabi', seorang
kaya dari Madinah
dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin 'Auf, seorang yang berhijrah
dari Mekah. Sa'ad berkata kepada Abdul Rahman:
"Sesungguhnya, tanpa bermaksud
sombong, aku memang memiliki harta yang banyak daripada kamu. Aku telah
membagi hartaku menjadi dua bagian dan
sebagiannya aku peruntukkan bagimu. Lalu aku mempunyai dua orang wanita,
maka lihatlah siapa di antara mereka yang mampu memikatmu sehingga aku
menceraikannya lalu
engkau dapat menikahinya." Abdul
Rahman bin 'Auf menjawab: "Mudah-mudahan
Allah SWT memberkatimu, keluargamu, dan hartamu. Di manakah pasar yang
engkau berdagang di dalamnya?"
Abdul Rahman bin 'Auf
keluar menuju ke pasar untuk berkerja. Ia kembali dan membawa sesuatu yang
dapat dimakannya. Ia menolak dengan lembut sikap baik Sa'ad dan
kedermawanannya. Ia bersandar pada keimanan kepada Allah SWT dan lebih memilih
untuk bekerja dan membanting tulang. Tidak berlalu hari demi hari kecuali ia
tetap bekerja sehingga ia mampu untuk membekali dirinya dan
melaksanakan pernikahan.
Demikianlah
masyarakat Islam terbentuk dan menampakkan identitasnya
berdasarkan cinta, kebebasan, musyawarah, dan jihad. Pekerjaan menurut
Islam bukan suatu penderitaan untuk mendapatkan roti atau potongan daging
sebagaimana dikatakan peradaban kita masa kini, tetapi pekerjaan dalam
Islam melebihi ruang lingkup materi ini dan menuju puncak yang lebih tinggi:
"Dan
katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang muhmin akan melihat pekerjaanmu itu. " (QS.
at-Taubah: 105)
Kesadaran bahwa apa
yang kita kerjakan akan dilihat oleh Allah SWT menjadikan perkerjaan itu
mendapat cita rasa yang lain. Yaitu suatu rasa yang melampaui nikmatnya
memakan roti dan daging. Setelah bekerja, datanglah cinta. Cinta dalam
Islam bukan hanya perasaan yang menetap dalam hati dan tidak
diwujudkan oleh suatu perbuatan; cinta dalam Islam merupakan langkah harian yang
akan mengubah bentuk kehidupan di sekitar manusia menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang Muslim mencintai Tuhannya
Pencipta alam semesta dan mencintai
Rasulullah saw dan mencintai kaum Muslim dan orang-orang yang berdamai
dengan orang-orang Muslim, meskipun keyakinan mereka berbeda dengannya.
Bahkan seorang
Muslim mencintai makhluk secara
keseluruhan: ia mencintai anak-anak, hewan, bunga, pasir dan gunung
bahkan
benda-benda mati pun mendapat cinta
dari seorang Muslim. Seorang Muslim jika dia benar-benar seorang Muslim
akan merasakan dnta yang dialami oleh
Nabi Daud terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya. Ini adalah
perasaan sufi yang tinggi. Seorang Muslim
akan mewarisi cinta yang sebenarnya seperti yang diwarisi Nabi Isa
terhadap
lingkungan yang baik yang ada di
sekitarnya di mana ketika Nabi Isa melihat
tubuh anjing yang mati, maka Nabi Isa tidak melihat selain keputihan
giginya.
Demikianlah cinta yang tersebar dalam
kehidupan kaum Muslim
di mana cinta itu pun tertuju kepada binatang dan benda-benda mati.
Cinta
demikian ini tidak akan terwujud dengan suatu keputusan
dan tidak ditetapkan dengan suatu undang-undang, tetapi cinta itu datang
biasanya akibat dari kepuasaan akal dan hati dengan
adanya kepemimpinan besar yang hati cenderung kepadanya dan akal
mengambil darinya. Dan yang dimaksud dengan kepemimpinan besar tersebut
adalah keberadaan sang
Nabi. Beliau adalah cermin terbesar
dari tingkat cinta yang tertinggi. Beliau adalah seorang yang paling
banyak berbuat demi Islam dan paling banyak
sedikit mengharapkan balasan darinya. Meskipun beliau seorang pemimpin
namun beliau hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah seorang tentara
yang paling
sederhana. Tempat tidurnya bersih
tetapi kasar, dan rumahnya tidak menampakkan kesibukan yang di dalamnya
memasak
berbagai macam hidangan. Beliau justru
menyiapkan hidangan yang sangat sederhana. Makanan utama beliau adalah
roti kering yang dicampur
dengan minyak. Keinginan besar
beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum Muslim
menyadari bahwa kesempurnaan Islam tidak akan terwujud kecuali ketika
cinta
Allah SWT dan Rasul- Nya lebih didahulukan daripada cinta diri sendiri,
cinta kepada wanita,
cinta kepada anak, kepentingan, kekuasaan,
kehidupan, dan apa saja yang tidak
ada hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikianlah kaum Muslim
sangat mencintai pemimpin mereka lebih dari kehidupan pribadi mereka. Di
samping
pekerjaan dan cinta tersebut, didirikanlah pemerintahan Islam yang
berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan,
musyawarah dan jihad.
Kebebasan
dalam Islam bukan sekadar perhiasan yang dilekatkan kepada tubuh Islam
tetapi ia merupakan
tenunan dari sel-sel yang hidup itu. Allah
SWT telah membebaskan kaum Muslim dari penyembahan
selain dari-Nya. Dengan demikian, runtuhlah semua belenggu yang hinggap
di atas
akal, hati, dan masyarakat. Seorang Muslim
memiliki—dalam Islam—suatu kebebasan yang diberikan kepadanya agar ia
melihat sesuatu
dengan akalnya dan mendebat segala sesuatu
dengan akalnya. Dan hendaklah ia merasa puas dengan sesuatu yang dapat
menenteramkan hatinya. Kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak yang
menjurus
kepada anarkisme dan diskriminasi
tetapi kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam ruang lingkup
nas-nas yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur'an atau sunah tidak ada
kebebasan di
hadapan orang Muslim selain kebebasan untuk
berlomba-lomba untuk menerapkan apa yang mereka pahami. Selain itu,
seorang bebas sampai tidak terbatas, dan pintu ijtihad tetap terbuka
sampai
tidak ada batasnya, karena pintu ijtihad
adalah akal dan menutup pintu ijtihad yakni menutup akal dan itu berarti
akan membawa kematian baginya. Islam tidak menerima orang-orang yang
mati akalnya
atau menga-lami kemunduran; Islam
pada hakikatnya memperlakukan manusia dari
sisi akal dan hati.
"Adalah untukmu,
sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan
senjatalah yang untukmu, dan Allah meng-hendaki untuk
membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan
orang-orang kafir." (QS. al-Anfal: 7)
Orang-orang
Islam karena kekafiran mereka dan kebutuhan mereka serta situasi ekonomi yang
memburuk, mereka ingin bertemu dengan
pasukan yang tidak bersenjata; mereka ingin bertemu dengan kafilah yang kaya, bukan pasukan yang
bersenjata; mereka membutuhkan harta
untuk menyebarkan dakwah. Namun Allah SWT
menginginkan mereka dengan keadaan seperti itu agar mereka berhadapan
dengan pasukan kafir dan agar mereka mampu memutus tali kekuatan orang-orang
kafir sehingga kebenaran akan menang.
Keluarlah
orang-orang Muslim dalam peperangan Badar dengan membayangkan bahwa mereka akan
mendapatkan keuntungan dan kesenangan dengan
banyak mengambil ganimah. Namun Allah
SWT menginginkan terjadinya peperangan yang berat, di mana itu berakibat pada jatuhnya tokoh-tokoh kaum kafir Mekah
sebagai korban darinya dan agar Madinah dapat menahan penderitaan dan
kefakiran yang dialaminya. Seharusnya pengikut Islam tidak membayangkan untuk mengambil keuntungan tetapi ia
justru harus memberi kepadanya.
Nabi mengetahui
sebagai pemimpin pasukan ia harus mengingatkan pasukannya bahwa mereka akan menemui kesulitan dan
penderitaan, dan bukan masalah sepele
seperti yang mereka bayangkan. Nabi
bermusyawarah dengan sahabat-sahabat. Beliau berbincang-bincang dengan Abu
Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, dan
Miqdad bin Amr. Lalu mereka semua sepakat untuk terus melakukan peperangan apa pun hasilnya dan apa pun
pengorbanan yang harus dilakukan.
Kemudian Rasulullah
saw berkata: "Wahai para sahabat, tunjukkanlah diri
kalian." Rasulullah saw mengisyaratkan kepada kaum Anshar. Rasulullah
saw khawatir jika
mereka memahami bahwa baiat yang terjadi di
antara mereka yang berisi agar mereka melindungi beliau jika beliau
diserang di Madinah saja, dan memang pasal-pasal dari baiat itu
mendukung hal itu.
Tidakkah mereka mengatakan kepada
beliau: "Ya Rasulullah, kami tidak akan bertanggung jawab kepadamu
sehingga engkau sampai di negeri kami. Jika
engkau sampai di negeri kami, maka kami akan bertanggung jawab untuk
melindungimu."
Mayoritas pasukan terdiri
dari orang-prang Anshar, maka Rasulullah saw ingin mengetahui keputusan
mayoritas tentara sebelum dimulainya peperangan. Kaum Anshar
mengetahui bahwa Rasul
saw ingin mengetahui pendapat kaum Anshar. Oleh karena itu, Sa'ad bin
'Auf berkata: "Demi Allah, seakan-akan engkau menginginkan kami ya
Rasulullah." Nabi menjawab,
"benar." Kemudian kaum Anshar menyatakan apa yang mereka
rasakan.
Mendengar pernyataan kaum Anshar itu hilanglah kekhawatiran dan
ketakutan Nabi, bahkan beliau bergembira dan wajahnya berseri-seri. Rasulullah saw telah mendidik mereka berdasarkan Islam
dan Islam tidak mengenal pasal-pasal perjanjian namun ia justru tenggelam dalam esensinya dan kedalamannya
yang jauh. Kaum Anshar meyakinkan Nabi bahwa mereka benar-benar beriman kepadanya, mencintainya dan akan mendengarkan
apa saja yang beliau katakan serta akan benar-benar menaati beliau.
Sa'ad bin
Mu'ad berkata: "Ya Rasulullah, lakukanlah apa yang engkau inginkan dan
kami akan bersamamu. Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya
engkau membelah lautan lalu engkau menyelam di dalamnya niscaya kami akan
menyelam bersamamu dan tidak ada seseorang pun di antara kami yang akan meninggalkanmu."
Demikianlah keteguhan kaum Anshar. Kalimat tersebut menetapkan
peperangan paling penting dan paling berbahaya dalam sejarah Islam.
Perasaan kaum Anshar
dan Muhajirin dalam pasukan Rasul saw sangat berbeda dengan perasaan Nabi
Musa ketika mereka mengatakan kepadanya, "pergilah engkau wahai Musa
bersama Tuhanmu dan
berperanglah, sesungguhnya kami di sini hanya duduk-duduk saja." Namun kaum Muslim menyatakan bahwa
seandainya Rasul saw memerintahkan mereka untuk melalui lautan dengan
berjalan kaki di atas ombaknya niscaya
mereka akan melakukan hal itu walaupun
berakibat pada tenggelamnya mereka dan kematian mereka dan tak seorang
pun yang akan menentang perintah Rasul saw
tersebut.
Akhirnya, kaum Muslim bersiap-siap untuk
memasuki kancah peperangan lalu mereka membuat kemah-kemah yang di situ ditentukan tempat peristirahatan dan
pergerakan tentara Islam. Tempat itu
ditentukan oleh Rasul saw. Allah SWT membiarkan Rasul-Nya melakukan kesalahan dalam memilih tempat sehingga
itu akan dapat menjadi pelajaran bagi kaum Muslim dalam kaidah umum dari kaidah-kaidah peperangan yaitu sikap pemimpin
pasukan untuk mengambil suatu kebijakan yang penting yang berdasarkan pengalaman. Kemudian datanglah Habab bin Mundzir
kepada Rasulullah saw dan bertanya
kepadanya, "apakah tempat yang kita jadikan sebagai pusat pergerakan tentara kita merupakan pilihan dari
Allah SWT dan Rasul-Nya hingga kita tidak dapat mendahuluinya dan mengakhirinya
yakni kita tidak dapat memberikan pendapat
kita ataukah itu hanya masalah yang bersifat tehnik yakni itu terserah pada pendapat kita dan sesuai
kebijakan saat perang dan ia merupakan tipu daya semata?"
Rasulullah
saw berkata: "Tetapi itu adalah pendapat pribadi, peperangan, dan tipu
daya." Habab berkata: "Ya Rasulullah ini adalah tempat yang tidak
tepat." Sahabat yang sarat pengalaman ini memilih tempat di
mana pasukan Madinah dapat minum darinya sedangkan pasukan Mekah tidak dapat
mengambil darinya. Kemudian berpindahlah pasukan Muslim menuju tempat yang telah
ditentukan oleh pengalaman militer.
Sampailah
pasukan Mekah di mana jumlah mereka mendekati seribu tentara dan
mereka akan berhadapan dengan tiga ratus tujuh belas pasukan Muslim. Pasukan
Quraisy berada di tempat yang jauh dari lembah.
Pasukan kafir terdiri
dalam perang Badar dari pemuka-pemuka Quraisy dan pahlawan-pahlawan mereka,
sedangkan pasukan Muslim terdiri dari keluarga-keluarga, ipar-ipar dan keluarga
dekat dari pasukan kafir. Allah SWT telah menentukan agar seorang anak bertemu
dengan ayahnya, saudara bertemu dengan sesama saudara dan sesama ipar
bertemu di medan peperangan. Mereka semua dipisahkan dengan
suatu prinsip di mana mereka ditentukan oleh pedang. Akhirnya,
peperangan Badar pun terjadi dan kaidah utama adalah kaidah
persaudaraan sesama Muslim. Dan ketika pasukan Muslim berpegang teguh di atas
dasar Islam, maka pasukan kafir mulai terpecah belah namun keadaan tersebut
mereka sembunyikan.
Lalu 'Utbah bin Rabi'ah berbicara di
tengah-tengah pasukan Mekah dan mengajak
mereka untuk menarik kembali dari peperangan.
'Utbah memberikan pernyataan sesuai dengan tuntutan akal sehat, "wahai orang-orang Quraisy demi
Allah, jika kalian harus memerangi
Muhammad, maka kalian akan menyesal karena kita berhadapan dengan
saudara-saudara kita sendiri. Boleh jadi kita akan membunuh anak paman
kita, atau salah seorang dari kerabat kita.
Mengapa kalian tidak membiarkannya saja?"
Kalimat yang rasional tersebut cukup
menggoncangkan pasukan Mekah. Sebagian tentara merasa puas dengan
pernyataan tersebut karena mereka melihat bahwa tidak ada gunanya
peperangan itu. Namun kebohohan justru memadamkan kalimat yang rasional
itu. Abu Jahal menuduh bahwa yang mengucapkan
kata-kata adalah orang yang penakut.
Kemudian Abu Jahal lebih memilih pendapatnya untuk menetapkan terus
memerangi kaum Muslim.
Pemimpin pasukan
kafir yaitu Abu Jahal mengetahui bahwa Muhammad tidak pernah berbohong.
Kitab-kitab sejarah menceritakan bahwa Akhnas bin Syuraif menyendiri dalam
perang Badar bersama Abu Jahal sebelum terjadinya peperangan tersebut
dan bertanya kepadanya, "wahai Abul Hakam, tidakkah engkau melihat bahwa
Muhammad pernah berbohong? Abul Hakam menjawab: "Bagaimana mungkin ia
berbohong atas Allah, sedangkan kami telah menamainya al-Amin (orang yang
dapat dipercaya)." Peperangan tersebut bukan sebagai usaha untuk
mendustakan Rasul saw tetapi itu hanya semata-mata untuk menjaga
kepentingan-kepentingan sesaat dan keadaan ekonomi. Demikianlah orang-orang
kafir mempertahankan
nilai yang paling rendah yang ada di muka bumi
yang juga dipertahankan oleh binatang, sementara kaum Muslim justru mempertahankan nilai yang paling
tinggi di bumi dan di langit yang ikut serta di dalamnya para malaikat.
Kemudian datanglah
waktu malam menyelimuti dua kubu. Tiga ratus tentara yang mukmin sudah
bersiap-siap dan mendekati seribu tentara musyrik. Orang-orang musyrik
datang dengan menunggangi tunggangan mereka dan tampak mereka memiliki persenjataan
yang lengkap, sedangkan setiap orang Muslim datang di atas satu kendaraan.
Pakaian yang dipakai orang-orang musyrik tampak masih baru dan pedang-pedang
mereka tampak mengkilat serta baju besi yang mereka gunakan sangat
unggul dan kuat. Alhasil, mereka memiliki persiapan yang sangat
mengagumkan sedangkan pakaian yang dipakai orang-orang Muslim tampak
sudah usang dan pedang-pedang kuno pun mereka gunakan dan baju besi yang mereka gunakan tampak
tidak sempurna. Nabi melihat keadaan
pasukannya lalu hati beliau tampak sedih melihat pasukan tersebut. Beliau berdoa kepada Tuhannya: "Ya
Allah, Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah mereka. Ya Allah,
sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
tanpa alas kaki, maka tolonglah mereka. Ya Allah, Sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang tidak berpakaian, maka berilah mereka pakaian."
Kemudian
rasa kantuk menghinggapi mata kedua pasukan lalu mereka beristirahat di tengah-tengah
malam. Jatuhlah hujan kecil yang membuat tempat itu basah sehingga kelembaban
mengitari kaum Muslim. Hujan tersebut
membasuh tanah perjalanan dan menghilangkan debu-debu kepayahan serta
menyucikan hati dan membangkitkan
kepercayaan atas kemenangan dari Allah SWT.
Allah SWT
berfirman:
"(Ingatlah),
ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteram
dari-Nya, dan Allah menurunkan hujan dari langit untuk menyucikan kamu
dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh
dengannya telapak kaki(mu)." (QS. al-Anfal: 11)
Datanglah
waktu pagi di Badar lalu kaum Quraisy mulai menyerang, lalu Nabi memerintahkan pasukan
Muslim untuk bertahan. Rasulullah saw
bersabda: "Jika musuh mengepung kalian, maka usirlah mereka dengan panah dan janganlah kalian
menyerang mereka sehingga kalian diperintahkan."
Demikianlah
ketetapan militer yang sangat jitu yang berarti hendaklah kaum Muslim
membentengi mereka di tempat-tempat mereka agar orang-orang musyrik mendapatkan
kerugian dari serangan
yang mereka lakukan. Kita mengetahui dari ilmu militer saat ini bahwa seorang yang menyerang memerlukan tiga atau tiga kali
lipat dari jumlah yang biasa dilakukan sehingga serangannya betul-betul efektif; kita mengetahui bahwa jumlah
pasukan musyrik tiga kali lipat dibandingkan
dengan tentara Muslim. Kaum musyrik dilihat
dari segi jumlah sangat memadai untuk memenangkan peperangan, dan persenjataan mereka lebih lengkap
dari persenjataan kaum Muslim.
Jumlah hewan yang mereka miliki pun sama dengan jumlah mereka, sedangkan tiap tiga orang Muslim berperang di atas
satu tunggangan.
Keadaan saat itu
sangat menguntungkan kaum musyrik. Tanda-tanda kemenangan tampak
menyertai
bendera kaum musyrik, tetapi kemenangan peperangan bukan karena
kebesaran jumlah
pasukan dan persenjataan yang lengkap. Terkadang peperangan justru
dimenangkan oleh unsur spiritual yang tidak kelihatan. Spiritualitas
tentara
dan keimanannya tentang persoalan yang dipertahankannya serta
keinginannya
untuk mendapatkan dua kebaikan:
kemenangan atau kematian dan hasratnya yang tinggi untuk meneguk madu
syahadah, semua itu dapat mengubah seorang tentara menjadi makhluk yang
tidak
terkalahkan. Boleh jadi ia akan
merasakan kematian tetapi jauh dari kekalahan. Demikianlah keadaan
pasukan
Muslim.
Sementara itu debu-debu berterbangan di
atas kepala pasukan yang bertempur dan kaum
Muslim mencurahkan tenaga yang keras dalam
peperangan itu. Ketika dua pasukan saling bertemu dan bertempur, Nabi
saw melihat mereka, lalu Nabi saw
menyaksikan pasukannya terjepit.
Pasukan yang berjumlah sedikit dengan persenjataan yang tidak lengkap
itu kini ditekan oleh orang kafir. Dalam
keadaan demikian, Nabi saw meminta pertolongan kepada Tuhannya: 'Ya
Allah, kirimkanlah bantuan dan pertolongan-Mu. Ya Allah, wujudkanlah
janji-Mu kepadaku. Ya Allah,
jika kelompok ini dihancurkan, maka
Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka bumi." Renungkanlah,
bagaimana kesedihan Nabi saat terjadi peperangan itu. Oleh karena itu,
kita dapat
memahami mengapa Nabi saw meminta agar pasukannya dimenangkan.
Pemimpin pasukan tertinggi Muhammad bin
Abdillah keluar berperang di jalan Allah SWT
dan saat ini kematian sedang mengitari
kaum Muslim, lalu apa yang dipikirkan oleh Nabi saw pada keadaan yang
sulit tersebut? Pemikiran Nabi saw
melebihi hal yang sekarang dan menuju
pada hal yang akan datang, dan yang menjadi fokus Nabi adalah
penyembahan Allah SWT di muka bumi: "Ya Allah, jika kelompok ini
dihancurkan, maka Engkau
tidak akan disembah setelahnya di muka bumi."
Nabi tidak terlalu
mengkhawatirkan kehancuran kaum Muslim karena Nabi justru
mengkhawatirkan
sesuatu yang lebih besar dari itu. Yang beliau khawatirkan adalah
penyembahan kepada Allah SWT akan berhenti di muka bumi. Oleh karena
itu,
Nabi meminta tolong kepada Tuhannya
dan mengingatkan kembali kepada Tuhannya
dan Allah SWT lebih tahu dari hal itu. Kemudian turunlah bala tentara
malaikat yang dipimpin oleh
Jibril.
Allah SWT
berfirman:
"(Ingatlah),
ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankankan-Nya
bagimu: 'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu
dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.' Dan Allah tidak
menjadikannya (mengirim bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar
hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah
dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana." (QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah itu Nabi saw
menghampiri sahabat Abu Bakar dan berkata: "Sampaikan berita gembira wahai
Abu Bakar, sesungguhnya telah datang kepadamu bantuan dari Allah
SWT."
Turunnya para
malaikat merupakan cara untuk meneguhkan kaum Muslim dan berita gembira kepada
mereka. Mukjizat itu bukan terletak pada penyertaan para malaikat dalam
peperangan, namun melalui nas-nas ditegaskan bahwa peranan malaikat
tidak lebih dari sekadar membawa berita gembira dan memberikan dukungan
moril serta memenuhi hati dengan ketenangan. Kami kira bahwa Allah SWT
ingin agar para malaikat menyaksikan manusia-manusia malaikat
yang mempertahankan akidah tauhid.
Demikianlah
Allah SWT mewahyukan kepada malaikat bahwa Dia bersama mereka. Oleh karena itu,
hendaklah orang-orang yang beriman merasa tenang dan kebenaran akan
tertancap pada hati mereka sedangkan orang-orang kafir pasti akan merasakan
ketakutan.
Allah SWT
berfirman:
"(Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku
bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang
telah beriman.' Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam
hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu
adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan
barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia
yang ditimpakan atasmu), maka rasakanlah hukuman itu. Sesungguhnya
bagi orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab neraka." (QS.
al-Anfal: 12-14)
Lalu orang-orang
kafir pun mengalami kekalahan. Setelah peperangan itu, terbunuhlah tujuh puluh
kafir dan tujuh puluh tawanan dari mereka dan sebagian pasukan melarikan diri. Runtuhlah
tokoh-tokoh kebencian dan kelaliman di peperangan tersebut. Hancurlahlah Abu
Jahal, pemimpin pasukan, dan pahlawan-pahlawan Mekah kini terkapar.
Rasulullah saw berdiri
di depan bangkai-bangkai orang-orang kafir dan berkata: "Wahai Utbah
bin Rabi'ah, wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai Umayah bin Khalf, wahai Abu
Jahal bin Hisam, apakah kalian menemukan apa yang dijanjikan oleh tuhan
kalian kepada kalian. Sungguh aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku."
Orang-orang Muslim berkata: "Ya Rasulullah, apakah engkau memanggil kaum
yang sudah mati?" Rasulullah berkata: "Kalian tidak mengetahui apa
yang aku katakan kepada mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab
perkataanku." Rasulullah saw tinggal tiga malam di Badar kemudian
beliau kembali ke Madinah. Di depan beliau terdapat tawanan-tawanan perang dan ganimah.
Kaum Muslim
sangat menanggung beban berat dengan banyaknya tawanan perang. Mula-mula
Rasulullah saw bermusyawarah dengan sahabat Abu Bakar dan Umar. Abu
Bakar berkata: "Ya Rasulullah, mereka adalah keturunan dari
saudara-saudara dan keluarga, dan aku melihat lebih baik engkau mengambil fidyah
(tebusan) dari mereka sehingga apa yang engkau ambil tersebut merupakan
kekuatan bagi kita terhadap orang-orang kafir, dan mudah-mudahan Allah
SWT memberi petunjuk kepada mereka sehingga mereka menjadi tulang punggung
kita."
Kemudian Rasulullah
saw menoleh kepada Umar bin Khattab sambil berkata, "bagaimana
pendapatmu
wahai Ibnul Khattab?" Lelaki itu berkata: "Demi Allah, aku
tidak sependapat dengan apa yang dikatakan Abu Bakar tetapi aku
berpendapat,
seandainya aku mampu
untuk bertemu dengan salah seorang kerabatku, maka aku akan memukul
lehernya, dan seandainya Ali mampu bertemu dengan keluarganya, maka ia
pun akan memukul
lehernya begitu Hamzah sehingga Allah
SWT mengetahui bahwa tidak ada di hati kita kelembutan kepada kaum
musyrik."
Pasukan Madinah dan
pasukan Mekah terdiri dari keluarga-keluarga yang terikat hubungan kekerabatan,
namun kehendak Allah
SWT menetapkan terjadinya peperangan sesama keluarga: antara anak dan orang
tuanya. Umar menginginkan agar keadaan demikian
terus berlanjut sehingga orang-orang musyrik mengetahui bahwa Islam tidak ingin berdamai. Kemudian Selesailah
urusan itu dan terjadi peperangan di
jalan Allah SWT dan mengangkat senjata dan
berperang adalah suatu kewajiban yang tiada keraguan di dalamnya. Nabi saw menoleh kepada kaum Muslim dan
mendapati sebagian besar mereka
cenderung kepada pendapat Abu Bakar. Nabi
saw mengikuti pendapat mayoritas saat itu. Pendapat mayoritas salah dan
hanya Umar yang benar.
Ini adalah
peperangan pertama yang dilalui oleh Islam. Hendaklah kaum
Muslim harus meninggalkan dorongan kemanusiaan mereka, yakni orang-orang
kafir
harus dibunuh agar musuh-musuh Allah SWT mengetahui bahwa Islam telah
memilih darah. Allah SWT telah mendukung Umar bin Khattab dalam
Al-Qur'an sehingga
Nabi saw dan Abu Bakar menangis ketika keduanya menyadari kesalahan
mereka pada hari berikutnya, lalu Umar memergoki mereka dalam keadaan
menangis dan ia
bertanya, "apa yang menyebabkan
Rasulullah saw dan temannya di gua menangis?"
Kemudian Rasulullah saw membaca Al-Qur'an:
"Tidak patut
bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada
ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang
besar karena tebusan yang hamu ambil." (QS.
al-Anfal: 67-68)
Kedua ayat itu
mengatakan bahwa ini bukan saatnya melindungi para tawanan dan
berusaha untuk menebus mereka. Waktu Demikian belum saatnya. Nabi
tidak berhak memiliki tawanan kecuali jika ia telah melakukan banyak
peperangan dan banyak berjihad dan telah banyak membunuh dan dakwahnya telah
mapan.
Kedua ayat
tersebut menyingkap tujuan di balik penebusan tawanan: "Kamu menghendaki harta
benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)."
Demikianlah
pemikiran yang mempertimbangkan keadaan-keadaan aktual yang sulit. Itu adalah
pemikiran yang bersifat taktik sebagaimana yang kita ungkapkan dalam istilah
modern dan bukan pemikiran yang bersifat strategis. Kemudian para tawanan
tersebut bukan tawanan biasa tetapi menurut istilah modern mereka adalah penjahat-penjahat
perang. Oleh karena itu, nyawa mereka harus ditumpahkan saat
mereka dapat ditangkap, meskipun mereka memiliki kekayaan yang banyak atau
kedudukan yang tinggi. Islam tidak mengakui kekayaan atau kedudukan, yang
diakuinya adalah keimanan, sedangkan pertimbangan-pertimbangan duniawi
lainnya tidak dihiraukan oleh Islam.
Nas Al-Qur'an
memperingatkan orang-orang yang menang bahwa kesalahan mereka bisa berakibat
pada datangnya siksaan yang bakal mereka terima tetapi Allah SWT mengampuni mereka dan menurunkan rahmat-Nya: "Kalau sekiranya
tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu
ditimpa siksaan yang besar karena tebusan
yang kamu ambil."
Siksaan tersebut
memang lebih dekat daripada pohon yang dekat ini, kemudian Allah SWT mengampuni mereka dan Allah
SWT mengampuni sahabat-sahabat yang terjun di perang Badar, baik dosa yang lalu maupun dosa mereka yang akan
datang. Demikianlah Al-Qur'an ingin mendidik kaum Muslim agar mereka tidak banyak mempertimbangkan urusan manusiawi saat
berperang. Jadi, Islam memulai peperangannya yaitu peperangan yang hanya
ditujukan kepada Allah SWT dan hendaklah
peperangan tersebut dihilangkan dari
pertimbangan-pertimbangan yang sulit sehingga sahabat-sahabat Nabi mengetahui bahwa kecenderungan kepada kesenangan
duniawi akan berakibat pada kekalahan mereka.
Dalam
peperangan Uhud jumlah kaum musyrik tiga ribu sedangkan jumlah
kaum Muslim tiga ratus pasukan setelah pemimpin orang-orang
munafik Abdullah bin Saba' mengundurkan diri pasukan. Kaum Muslim
diletakkan di gunung dan Rasulullah saw membuat rencana yang jitu untuk
memenangkan pertempuran di mana beliau membagi pasukan pemanah di puncak
gunung untuk melindungi punggung kaum Muslim dan melinduingi
mereka dari serangan dari arah belakang. Rasulullah saw memberi
pengertian kepada pasukan panah itu agar
mereka tetap di tempatnya baik kaum
Muslim menang maupun kalah. Yakni bahwa pasukan pemanah tidak boleh
turun dari gunung dan meski
berusaha untuk melindungi kaum
Muslim. Rasulullah saw berkata kepada mereka. "lindungilah
punggung-punggung kami. Jika kalian melihat kami sedang bertempur, maka
kalian
tidak usah turun darinya dan tidak usah
menolong kami, dan jika kalian melihat kami memperoleh kemenangan dan
mengambil ganimah, maka kalian
tidak boleh ikut serta bersama
kami."
Setelah
membuat keputusan tersebut, Rasulullah saw kembali ke pasukan yang lain,
lalu beliau membikin
suatu rencana untuk menyerang. Dan Dimulailah peperangan kemudian
pasukan Islam
mendorong pasukan musyrik laksana angin yang kencang
yang memporak-porandakan ribuan kaum musyrik. Pada tahapan pertama
pasukan Islam tampak menguasai medan dan berhasil menyapu kaum musyrik
sehingga pasukan Mekah tampak berputus asa meskipun mereka unggul secara
bilangan dan
meskipun mereka memiliki kuatan
persenjataan yang lengkap, pasukan Mekah justru dikagetkan dengan
ketangguhan pasukan Muslim yang dapat memukul mundur mereka hingga
mereka membayangkan
balwa mereka tidak dapat memenangkan
peperangan atau dapat bertahan di
hadapan pasukan Muslim.
Debu-debu
peperangan mulai berterbangan yang menyertai tanda-tanda
kekalahan pasukan Mekah. Sementara itu, para pemanah yang diletakkan
Rasulullah
saw di suatu tempat yang strategis berpikir untuk memperoleh ganimah.
Pasukan Mekah telah kalah dan mereka telah melarikan diri dari pasukan
Muslim, maka bagaimana seandainya para
pemanah turun dari tempat mereka untuk mengumpulkan
harta rampasan dan ganimah. Rasulullah saw telah mengingatkan mereka
agar jangan meninggalkan tempat mereka, apa
pun yang terjadi tetapi pasukan pemanah itu justru berkhianat dan
menentang
perintah Nabi saw setelah mereka membayangkan bahwa peperangan telah
selesai dan keuntungan akan diperoleh pasukan
Madinah yang beriman.
Pasukan
pemanah mengira bahwa Allah SWT akan menutupi kesalahan mereka dan
akan melindungi mereka sehingga mereka berhasil mengambil harta rampasan dan
ganimah. Sungguh keikhlasan telah tercabut dari hati sebagian pasukan. Belum
lama hal tersebut berlangsung sehingga terjadilah perubahan yang drastis pada
peperangan. Pemimpin pasukan berkuda musyirik dalam peperangan Uhud yaitu
Khalid bin Walid yang kemudian ia menjadi tokoh Muslim adalah orang yang sangat jenius dalam
peperangan. Begitu ia melihat pasukan
pemanah lari dari tempat mereka, maka
ia melihat celah yang terbuka di tengah-tengah kaum Muslim, sehingga ia segera memutarkan kudanya dan
disertai pasukan yang mengikutinya.
Kemudian ia menyerang kaum Muslim dari belakang.
Serangan yang dilakukan Khalid itu sangat cepat dan sangat mengejutkan. Orang-orang musyrik mengambil
kesempatan emas. Mereka yang tadinya
lari, kini mereka menarik diri dan justru menyerang kembali.
Pasukan
Muslim dikepung dari dua arah oleh pasukan berkuda: satu dari belakang dan yang
lain dari depan. Kemudian berjatuhanlah korban-korban dari pasukan Muhammad bin
Abdillah. Banyak di antara mereka yang mati sebagai syahid saat
mempertahankan dan melindungi Rasulullah saw, bahkan sang Nabi pun
hidungnya terluka dan giginya pun runtuh dan kepala beliau yang mulia terluka
sehingga beliau mengucurkan darah.
Kemudian
tersebarlah isu bahwa Muhammad saw telah meninggal. Ketika mendengar
itu, kaum Muslim sangat terpukul dan sangat sedih sehingga kaum Muslim
pun
terpecah-pecah. Sebagian mereka kembali ke Mekah dan sekelompok yang
lain ke atas gunung
dan mereka tetap menjaga Nabi saw yang mulia. Ketika mendengar kematian
Nabi, Anas bin Nadhir berkata kepada kaumnya: "Bangkitlah kalian dan
matilah
seperti kematiannya. Apa yang kalian lakukan setelah kalian hidup
sesudahnya."
Pasukan Muslim
tetap bertahan dan melakukan peperangan, lalu tekanan kaum musyrik
semakin
berat kepada Nabi saw dan para sahabatnya. Kemudian terjadilah kejadian
yang paling sulit dalam sejarah umat Islam. Nabi saw berteriak saat
melihat kaum musyrik menekannya dan berusaha membunuhnya: "Barangsiapa
yang dapat mengusir mereka dariku, maka baginya surga."
Mendengar perkataan
itu, kaum Muslim segera mengitari Nabi saw dan melindungi beliau sehingga
banyak dari mereka berguguran sebagai syahid. Bahkan sahabat-sahabat
Abu Juanah melindungi Nabi saw sampai-sampai punggungnya dipenuhi dengan anak-anak
panah. Ia bagaikan baju besi yang dipakai kepada Nabi saw dan ia tetap
kokoh melindungi sang Nabi saw. Kemudian berubahlah keadaan
karena keteguhan dan keberanian yang diperlihatkan oleh kaum
Muslim. Pasukan Mekah merasa puas dan mereka memilih untuk menarik diri.
Saat itu orang-orang Quraisy tidak lebih sedikit penderitaannya daripada
orang-orang Muslim.
Setelah peperangan
yang dahsyat itu, kaum musyrik menarik diri setelah mereka berhasil membunuh
beberapa orang Muslim, bahkan mereka berhasil melukai pemimpin pasukan yaitu
sang Nabi saw. Semua itu terjadi karena satu kesalahan yaitu kesalahan terletak pada
penentangan dan pembangkangan para pemanah terhadap perintah
sang Rasul saw dan usaha mereka untuk meninggalkan tempat mereka.
Ketika sebagian
kelompok dari sahabat kehilangan pengorbanan dan kehilangan sikap ikhlas dalam
hati mereka, maka kesalahan tersebut harus dibayar oleh tentara yang
paling berani dan mulia di antara mereka yaitu sang Nabi saw. Langit
tidak ikut campur untuk menyelamatkan pasukan Islam itu. Kesalahan kaum
Muslim itu harus dibayar oleh Rasul saw di mana wajah beliau pun terluka bahkan keluar
darah yang cukup deras dari luka beliau sehingga setiap kali
dituangkan air di atas luka itu, maka darah pun semakin deras mengucur. Darah itu tidak berhenti
kecuali setelah dibakarkan potongan tembikar
lalu dilekatkan di atasnya.
Luka beliau bukan hanya bersifat
materi tetapi luka spiritual beliau dan
ruhani beliau pun semakin bertambah. Ini beliau rasakan ketika mendengar bahwa
pamannya Hamzah gugur sebagai syahid
dan tidak cukup dengan itu, bahkan istri Abu Sofyan yaitu Hindun membelah perutnya dan mengeluarkan
jantungnya serta mengunyahnya dengan
mulutnya. Semua itu semakin menambah kesedihan sang Nabi.
Kaum Quraisy
menguasi pasukan Muslim dan mereka memberlakukan dan menekan kaum Muslim
secara
aniaya. Seandainya bukan karena rahmat Allah SWT niscaya kaum Muslim
akan
mengalami kekalahan
yang telak. Kemudian turunlah dalam Al-Qur'an al-Karim
ayat-ayat yang mendidik kaum Muslim agar mereka benar-benar ikhlas dan
memahamkan mereka bahwa kekalahan
mereka sebagai akibat dari adanya pasukan di antara mereka yang
menginginkan dunia meskipun di antara mereka ada
sebagian yang menginginkan akhirat.
Jika terjadi demikian, maka tidak adajalan untuk memperoleh kemenangan.
Ini bukanlah hal yang diinginkan oleh
pasukan Muslim, yang diharapkan adalah hendaklah semua pasukan tertuju
untuk mencapai ridha Allah SWT dan hanya mengharapkan akhirat. Jika
demikian halnya, maka Allah
SWT akan memberi mereka dunia dan
akhirat.
Allah SWT
berfirman dan menceritakan peperangan Uhud dalam surah Ali 'Imran:
"Di antaramu ada
orang yang menghendahi dunia dan di antara kamu ada orangyang
menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari
mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkan
kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang
beriman." (QS. Ali 'Imran:: 152)
Allah SWT
memaafkan hal itu. Orang-orang Muslim kini menghitung jumlah korban
mereka dan mengobati orang-orang yang terluka. Rasulullah saw bertanya tentang pamannya Hamzah,
dan ketika beliau mendapatinya di tengah-tengah sahabat yang gugur, dan orang-orang kafir telah merusak jasadnya, maka
beliau berkata dalam keadaan
menangis: "Tidak akan ada orang yang akan tertimpa sepertimu selama-lamanya."
Kemudian
Nabi saw berdiri dan memuji Allah SWT lalu beliau memerintahkan untuk
mengembalikan orang-orang yang terbunuh dari kaum Muslim ke tempat asal mereka
di mana mereka terbunuh. Saat itu keluarga mereka telah membawanya ke kuburan kemudian
Nabi saw mengumpulkan kedua orang laki-laki dari pahlawan-pahlawan Uhud
dalam satu pakaian dan beliau bertanya siapa di antara keduanya
yang paling banyak mengambil manfaat dari Al-Qur'an. Jika diisyaratkan kepada salah
satunya, maka beliau akan mendahulukannya
untuk dimasukan dalam liang lahad.
Rasulullah saw juga
memerintahkan agar mereka dikebumikan dengan darah mereka dan beliau pun
tidak mensalati mereka, serta tidak memandikan mereka. Allah SWT ingin
memperlihatkan bagaimana
mereka dibangkitkan pada hari kiamat lalu beliau bersabda: "Tiada seorang pun yang terluka di jalan Allah SWT kecuali Allah
SWT membangkitkannya di hari kiamat dalam keadaan di mana Iukanya akan mengucur darah. Warna itu adalah warna darah dan
baunya seperti minyak misik."
Bukanlah penderitaan
yang dalam yang merupakan pelajaran yang harus dimengerti kaum Muslim
dari peperangan Uhud sebagai akibat dari pembangkangan mereka dari
perintah
Rasul saw dan ketidaktaatan mereka
kepadanya, tetapi wahyu juga menurunkan berbagai pelajaran yang lain
yang dapat dimanfaatkan. Pelajaran yang terpenting setelah pelajaran
kesetiaan
adalah penjelasan tentang central utama yang di situ kaum Muslim
berkumpul.
Pribadi Rasulullah saw bukanlah markas yang
di situ kaum Muslim berkumpul yang
ketika pribadi Rasulullah saw yang mulia pergi karena satu dan lain hal,
maka orang-orang Muslim akan
pergi dan meninggalkan beliau. Tidak
seharusnya pribadi Rasul saw menjadi markas
atau central tetapi yang menjadi central dari semuanya adalah pemikiran
beliau. Itulah yang paling
penting.
Demikianlah bahwa Al-Qur'an al-Karim mencela
orang-orang yang
meletakkan senjatanya ketika tersebar isu terbunuhnya Nabi saw. Islam
tidak akan mencapai puncaknya ketika
kaum Muslim berkumpul di sisi Rasulullah saw saat beliau masih hidup
namun ketika beliau terbunuh atau mati, maka mereka
murtad di mana mereka membuang senjatanya dan pergi mengurusi diri
mereka sendiri. Orang-orang Islam adalah orang-orang yang
mengikuti prinsip bukan mengikuti pribadi. Muhammad bin Abdillah memang
seorang pemimpin manusia dan Imam para rasul dan penutup para nabi, dan
sebagai makhluk Allah SWT yang
paling mulia, namun ini semua tidak
membenarkan bahwa seorang Muslim diperbolehkan untuk meletakkan
senjatanya
ketika Rasul saw wahfat atau
terbunuh. Hendaklah seorang Muslim memanggul senjatanya dan tidak
membuang dari tangannya kecuali dalam dua keadaan:
pertama ketika ia telah memperoleh kemenangan dan kedua ketika ia telah
mati.
Nas Al-Qur'an menjelaskan secara
gamblang hubungan kaum Muslim dengan akidah
Islam, bukan dengan pribadi sang Rasul saw. Allah SWT berfirman:
"Muhammad itu
tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul.
Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik ke belakang (tnurtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang,
maha ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan
Allah akan memberi
balasan kepada orang-orangyang
bersyukur." (QS. Ali 'Imran: 144)
Demikianlah
bahwa peperangan Uhud telah membawa dampak yang luar biasa terhadap kaum
Muslim,
utamanya terhadap Nabi saw. Orang-orang yang
terbunuh di perang Uhud adalah sahabat-sahabat yang paling mulia dan
paling
banyak imannya. Mereka adalah pilihan
dari orang-orang Muslim yang pertama; mereka memikul beban dakwah di
saat-saat yang sulit bahkan mereka harus berhadapan dan memusuhi kerabat
mereka dan
teman-teman mereka; mereka menjadi
terasing saat menyatakan keislaman mereka sebelum hijrah dan sesudahnya;
mereka telah menginfakkan harta; mereka
berjuang di jalan Allah SWT; mereka telah bersabar dalam menanggung
berbagai
macam penderitaan, dan ketika datang saat yang paling berbahaya dan
pasukan Islam telah terkepung di mana jiwa
Rasul saw telah terancam, mereka justru mencurahkan darah mereka
bagaikan lautan yang menenggelamkan orang-orang kafir dan mereka mampu
melindungi
sang Rasul saw dan mengubah jalan peperangan serta menyelamatkan akidah
tauhid.
Peperangan Uhud
bukanlah pengorbanan pertama yang dilakukan oleh kaum Muslim dan
bukanlah
merupakan peperangan yang terakhir. Ia adalah satu peperangan di antara
cukup banyak peperangan yang dilalui oleh Islam untuk menyebarkan
kalimat
Allah SWT di muka bumi dan membimbing hamba-hamba-Nya. Begitu juga
pengorbanan Rasul saw, dan peperangan Uhud bukanlah pengorbanan yang
pertama terhadap Islam dan bukan juga yang terakhir. Rasulullah
saw telah hidup setelah diutusnya kepada manusia di mana beliau telah
memberikan semuanya untuk kehidupan dan untuk dakwah; beliau tidak
memiliki
dirinya sendiri; beliau tidak memboroskan waktunya dengan sia-sia bahkan
beliau beristirahat sedikit saja. Semua kehidupan beliau diberikan
kepada dakwah dan untuk Islam. Beliau
menjalani berbagai macam peperangan dan
beliau memikul berbagai macam penderitaan dan belum lama beliau lari
dari suatu problem kecuali beliau berhadapan dengan problem yang baru
dan lain; belum
lama beliau menyelesaikan suatu
krisis kecuali beliau menghadapi krisis yang lain. Demikianlah kehidupan
sang Nabi saw di mana beliau selalu memberikan
kontribusi dan sumbangannya demi kepentingan agama Allah SWT.
Silakan Anda
mengamati kehidupan sang Rasul saw dari sudut manapun yang Anda inginkan niscaya Anda
tidak akan menemukan sudut dari sudut-suduut kehidupan beliau kecuali dimulai dan
dipenuhi dengan pergulatan yang hebat.
Rasulullah saw telah
melalui pergulatan militer dalam berbagai macam pertempuran yang
silih berganti yang beliau lakukan. Beliau memulai pergulatan politiknya yang
terwujud dalam perundingan-perundingan dan surat-surat yang beliau kirimkan
kepada penguasa dan para raja di berbagai negara agar mereka memeluk Islam, bahkan
beliau melakukan pergulatannya dalam masalah pribadi di rumah
tangga. Rumah tangga beliau pun tidak kosong dari pergulatan. Beliau adalah pejuang sejati
dalam setiap waktu. Kalau kita mengenal Nabi
Ibrahim sebagai seorang musafir di jalan
Allah SWT, maka Muhammad bin Abdillah adalah seorang pejuang di jalan Allah SWT. Belum lama peperangan
Uhud berakhir sehingga pengaruh-pengaruh buruknya berbekas pada kaum Muslim. Orang-orang Arab Badui mulai berani
bersikap kurang ajar kepada mereka, demikianjuga orang-orang Yahudi,
apalagi orang-orang munafik dan tidak
ketinggalan orang-orang Quraisy pun mulai
menyudutkan kaum Muslim.
Kemudian datanglah
utusan dari kabilah Arab kepada Rasul saw dan mereka mengatakan kepada beliau bahwa
mereka mendengar tentang Islam dan mereka
ingin memeluknya, maka hendaklah beliau
mengutus kepada mereka beberapa dai dan mubalig untuk mengajari mereka tentang dasar-dasar agama. Nabi
saw mengutus bersama mereka sekelompok para dai yang dipimpin oleh
'Ashim bin Tsabit. Temyata orang-orang itu berkhianat atas para sahabat-sahabat yang berdakwah itu dan mereka pun
dibunuh. Bahkan tiga di antara mereka
ditawan dan dijual di Mekah. Dijualnya mereka di Mekah berarti mereka
diserahkan pada kelompok orang-orang Quraisy
yang telah lama menunggu untuk menangkap kaum Muslim. Kaum Quraisy Mekah membunuh tiga tawanan kaum Muslim itu.
Orang-orang Muslim sangat sedih mendengar dai-dai Allah SWT itu terbunuh dengan cara yang begitu tragis.
Ketika datang kepada
Nabi saw orang-orang yang minta pada beliau agar dikirim utusan dari
kalangan mubaligh untuk menyebarkan Islam untuk para kabilah kaum Najd,
maka Nabi kali ini betul-betul mempertimbangkan antara kepentingan
menyebarkan Islam dan perlindungan terhadap kehormatan manusia. Lalu
beliau memilih untuk kepentingan dakwah Islam. Beliau menyadari bahwa beliau mengutus para sahabatnya
dalam bahaya; beliau memberitahu mereka bahwa mereka akan menghadapi suatu
keadaan yang misterius yang tiada mengetahuinya kecuali Allah SWT. Namun bahaya tersebut sudah menjadi bagian dari cita
rasa kehidupan yang selalu meliputi
dakwah Islam.
Ketika Nabi
saw mengutarakan kekhawatirannya terhadap para sahabatnya yang bakal
diutusnya
di tengah kabilah itu, orang-orang yang meminta beliau untuk mengutus
para sahabatnya menyakinkan beliau bahwa mereka akan melindungi sahabat
beliau. Kemudian Nabi saw memerintahkan tujuh puluh orang pilihan dari
sahabatnya untuk pergi dan berjihad di jalan Allah
SWT serta mengajak manusia untuk mengikuti Islam. Lalu pergilah para
sahabat yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Qurra'
(yaitu orang-orang yang pandai
membaca Al-Qur'an dan menghapalnya). Mereka adalah para dai yang terbaik
yang diutus Nabi di mana
pada siang hari mereka memikul kayu bakar dan pada malam hari mereka
sibuk dalam keadaan salat. Ketika datang
perintah Rasulullah saw kepada mereka
untuk pergi dan berdakwah mereka pun pergi dalam keadaan gembira karena
mereka diajak untuk berjihad di jalan Allah SWT. Mereka melangkahkan
kaki dengan mantap
di tanah orang-orang munafik dan para
penghianat sehingga mereka sampai di
suatu sumur yang bemama sumur Ma'unah. Kemudian mereka mengutus salah
seorang di antara mereka untuk menemui pemimpin
orang-orang kafir di negeri itu. Mubalig dari sahabat Rasulullah saw itu
menyampaikan surat Nabi yang dibawanya di
mana beliau mengharapkan agar masyarakat di situ masuk Islam, tetapi ia
dikagetkan dengan adanya pisau yang menembus punggungnya. Mubaligh itu
berteriak saat ia tersungkur:
"sungguh aku beruntung demi Tuhan
pemelihara Ka'bah."
Kemudian pemimpin orang-orang kafir itu
mengangkat senjata dan mengumpulkan para kabilah untuk memerangi para
mubaligh di
jalan Allah SWT itu sehingga sahabat-sahabat terbaik yang berdakwah di
jalan Allah SWT itu pun gugur
di sumur Ma'unah. Jasad-jasad mereka menjadi
makanan dari burung nasar dan burung-burung yang lain. Dari tujuh puluh
orang yang dikirim itu hanya seorang yang
selamat yang kembali kepada Nabi saw. Ia menceritakan apa yang dialami
oleh fuqaha-fuqaha Muslimin di mana mereka
dikhianati. Ketika mendengar berita tentang tragedi itu, Nabi sangat
terpukul dan sedih. Kemudian beliau
mengangkat kepalanya dan berkata
kepada sahabat-sahabatnya: "Sungguh sahabat-sahabat kalian telah
terbunuh dan mereka telah meminta kepada Tuhan mereka. Mereka
mengatakan, Tuhan kami,
berikanlah kami ujian sesuai dengan kehendak-Mu dan ridha-Mu. Apa saja
yang menjadi kepuasan-Mu kami pun akan merasakan kepuasan."
Sungguh
penderitaan yang dialami oleh Islam sangat berat, terutama yang menimpa
para sahabat yang gugur sebagai syahid di sumur Ma'unah. Nabi saw sangat
sedih mendengar sikap orang-orang Arab dan orang-orang kafir terhadap
Islam. Mereka telah mengejek dan merendahkan kaum mukmin sampai pada batas
ini. Kemudian beliau menetapkan akan kembali mengangkat kewibawaan Islam
dengan tindak kekerasan.
Dalam keadaan
seperti ini, bergeraklah orang-orang Yahudi untuk membunuh Rasulullah saw. Pada suatu
hari beliau pergi ke Bani Nadhir untuk menyelesaikan suatu urusan. Kemudian
mula-mula mereka menampakkan persetujuan
atas apa yang diucapkan beliau. Mereka mendudukkan Nabi di bawah naungan
benteng-benteng mereka, lalu mereka
bersekongkol untuk melenyapkan beliau; mereka menetapkan untuk melemparkan batu
yang berat dari atas benteng itu saat
beliau duduk dan tidak membayangkan akan
terjadinya kejahatan yang direncanakan padanya. Namun Allah SWT mengilhami Rasul-Nya akan datangnya
bahaya kepada beliau, lalu beliau
bangun sebelum pelaksanaan tipu daya itu. Lalu beliau segera pergi
menuju rumahnya. Beliau berpikir saat beliau kembali
ke rumahnya dengan membawa penderitaan yang baru. Pembangkangan dan pengkhianatan tersebut tidak
akan dapat berhenti kecuali setelah
Islam menunjukkan taringnya. Islam ingin mengembalikan kewibawaannya dengan cara mengangkat senjata.
Rasul saw mengutus
utusan ke Bani Nadhir dan memerintahkan mereka untuk keluar dari Madinah,
bahkan Rasul saw memberi waktu kepada mereka hanya sepuluh hari.
Kemudian orang-orang munafik yang ada di Madinah bersatu bersama orang-orang
Yahudi dan mereka sepakat untuk memerangi Islam. Namun ketika berhadapan dengan
Islam, orang-orang Yahudi menelan kekalahan. Kemudian turunlah surah al-Hasyr yang
menyebutkan pengusiran orang-orang Yahudi dan
menyingkap kedok orang-orang munafik. Setelah kemenangan yang meyakinkan ini,
Rasul saw keluar bersama sahabatnya
untuk membalas kejadian yang menimpa sahabat-sahabatnya yang dikenal
dengan al-Qurra' itu. Rasul saw ingin mengembalikan
kewibawaan Islam. Kemudian pasukan Rasul saw itu mampu membuat para
pengkhianat
dari orang-orang Arab ketakutan.
Hanya sekadar mendengar nama pasukan Muslim, maka serigala-serigala
gurun yang dulu bengis itu pun
ketakutan laksana tikus-tikus yang
panik yang bersembunyi di bawah lobang-lobang gunung. Orang-orang
Quraisy mendengar kegiatan pasukan Islam. Pasukan Quraisy menarik diri
saat mereka mendekati
Dahran, sementara pasukan Muslim
berada di Badar. Mereka menunggu pertemuan
yang disepakati di Uhud. Orang-orang Muslim menyala-kan api selama
delapan hari sebagai bentuk
tantangan dan menunggu kedatangan
kaum kafir sehingga ketika mereka (kaum kafir) telah pergi, maka citra
kaum Muslim pun terangkat setelah mereka menerima kepahitan dalam
peperangan Uhud.
Kaum Muslim
menoleh ke arah utara jazirah Arab setelah menetapkan kewibawaan mereka di
selatan. Kabilah di sekitar Daumatul Jandal dekat dengan Syam merampok di
tengah jalan dan merampas kafilah yang berlalu di situ, bahkan
kenekatan mereka sampai pada batas di mana mereka berpikir untuk menyerbu Madinah.
Oleh karena itu, Rasulullah saw keluar bersama seribu orang Muslim yang mereka
bersembunyi di waktu siang dan berjalan di waktu malam, sehingga setelah lima
belas malam beliau sampai ke tempat yang dekat dengan tempat tinggal musuh-musuh
mereka
lalu mereka menggerebek tempat itu. Pasukan kafir itu dikagetkan dengan
kedatangan kaum Muslim yang begitu cepat.
Kita akan
mengetahui bahwa alat komunikasi yang dimiliki oleh Rasulullah saw
sangat unggul sebagaimana
alat pertahanan beliau pun sangat unggul.
Serangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan
Rasulullah saw menunjukkan bahwa mereka memiliki pertahanan yang luar
biasa. Sistem pertahanan yang luar biasa sebagaimana kedatangan pasukan
yang secara
tiba-tiba itu menunjukkan kemampuan
pasukan Islam untuk menyusup.
Demikianlah, terjadilah hari-hari
pertempuran militer. Belum lama Nabi saw
meletakkan baju besinya, dan beliau kembali membangun pribadi kaum
Muslim sehingga beliau terpaksa kembali memakai baju besinya dan kembali
berperang. Ketika
musuh-musuh Islam yang berada di
sekelilingnya melihat bahwa kemampuan
militer mereka tidak dapat menandingi kemampuan kaum Muslim, maka mereka
sengaja melakukan cara-cara
baru untuk memerangi Islam. Yaitu peperangan psikologis atau peperangan
urat syaraf dengan cara menyebarkan berbagai macam
isu atau apa yang dinamakan Al-Qur'an
al-Karim dengan peristiwa al-Ifik (kebohongan). Setelah peperangan Bani Musthaliq yaitu peperangan yang membawa kemenangan yang cepat bagi kaum
Muslim, terjadilah kesalahpahaman dan
pertengkaran di antara sahabat-sahabat yang
biasa mengambil air di mana salah seorang mereka berteriak: "wahai
kaum Muhajirin," dan yang lain berteriak: "Wahai kaum Anshar."
Peristiwa yang sangat sepele itu
dimanfaatkan oleh pemimpin kaum munafik
yaitu Abdullah bin Ubai. Abdullah bin Ubai memprovokasi orang-orang
Anshar
untuk menyerang kaum Muhajirin. Ia ingin membangkitkan luka-luka
jahiliah yang lama yang telah dibuang dan telah dikubur oleh Islam,
Salah satu
yang dikatakan oleh Ibnu Ubai adalah,
"sungguh mereka telah menyaingi kita dan mengambil kebaikan dari dan
seandainya kita telah kembali ke Madinah niscaya orang-orang yang mulai
akan dapat
mengusir orang-orang yang hina di dalamnya."
Zaid bin Arqam
menyampaikan kalimat si munafik itu kepada Nabi saw, di mana
kalimat itu berisi provokasi terhadap orang-orang Anshar untuk
menyerang kaum Muhajirin. Ubai menginginkan agar mereka berpecah belah dan agar
kesatuan mereka runtuh. Si Munafik itu segera datang kepada Rasul saw dan
menafikan apa yang dikatakannya. Orang-orang Muslim secara lahiriah membenarkan
perkataan si munafik itu dan mereka justru menuduh Zaid bin Arqam salah
mendengar. Tetapi hakikat peristiwa itu tidak tersembunyi dari Nabi saw
sehingga peristiwa itu sangat menyedihkan beliau. Lalu beliau mengeluarkan
perintah agar para sahabat pergi ke suatu tempat yang tidak biasanya
mereka lalui. Kemudian beliau pergi bersama sahabat di hari itu sampai waktu
malam menyelimuti mereka. Dan kini, mereka memasuki waktu pagi. Kepergian yang
singkat dan tiba-tiba itu mampu menepis kebohongan yang dirancang
oleh si Munafik, Abdullah bin Ubai. Yaitu kebohongan yang
bertujuan untuk membakar persatuan kaum Muslim ketika ia berusaha untuk
menyalakan api di tengah-tengah rumah sang Nabi saw.
Ketika Nabi
masih memiliki kekuatan yang menakutkan bagi yang mencoba
melawannya, maka mereka pun melakukan berbagai penipuan dan, makar.
Dan salah satu yang menjadi obyek tipu daya itu adalah istri
beliau, yaitu Aisyah. Alkisah, Aisyah pada suatu hari pergi untuk memenuhi
hajatnya lalu dilehernya terdapat anting-anting. Setelah ia memenuhi hajatnya,
anting-anting itu terjatuh dari lehernya dan ia tidak mengetahui. Ketika
Aisyah kembali dari kafilah yang telah siap-siap untuk pergi, ia kembali
mencari kalungnya sampai ia menemukannya. Sementara itu orang-orang yang
membawanya dalam
tandu (haudaj) mengira Aisyah sudah berada di
dalamnya. Mereka tidak ragu dalam hal itu karena memang berat badan
Aisyah sangat ringan.
Pasukan Nabi
berjalan dan membawa tandu, sedangkan Aisyah tidak ada di
dalamnya. Aisyah kembali dan tidak mendapati pasukan di mana mereka
telah pergi. Aisyah merasa
heran atas kepergian pasukan yang begitu
cepat. Aisyah merasa takut saat ia berdiri sendirian di padang gurun.
Aisyah
berusaha bersikap baik, ia duduk di
tempatnya di mana di situlah untanya duduk juga. Aisyah melipat-lipat
pakaiannya sambil berkata dalam dirinya: Mereka akan mengetahui bahwa
aku tidak ada dan karena itu mereka akan kembali mencariku dan akan
menemukan aku.
Sementara
itu, Sofwan bin Mu'athal juga tertinggal karena ia melakukan keperluannya. Ia
berjalan dari arah yang jauh lalu ia melihat bayangan orang yang tidak
begitu jelas. Sofwan mendekat dan tiba-tiba ia mengetahui bahwa ia sedang
berdiri di hadapan Aisyah. Ia melihat Aisyah sebelum diwajibkannya perintah
memakai hijab (jilbab) atas istri-istri Nabi. Ketika melihatnya, Sofwan
berkata: "Sesungguhnya kita milik Allah SWT dan kepadanya kita akan kembali,...
istri Rasulullah Aisyah tidak menjawab.
Sofwan mundur
dan mendekatkan untanya kepadanya sambil berkata: "Silakan Anda
menaikinya." Aisyah pun menaikinya. Kemudian Sofwan membawanya pergi dan
mencari
pasukan yang telah meninggalkannya.
Sementara itu, pasukan Nabi sedang beristirahat. Para sahabat mengira
bahwa Aisyah masih berada dalam tandu. Tiba-tiba mereka terkejut ketika
Aisyah datang
kepada mereka bersama Sofwan yang menuntun untanya.
Tokoh munafik Abdullah
bin Ubai segera memanfaatkan kesempatan emas ini. Ia membuat kisah
bohong yang
terkesan menuduh
istri Nabi melakukan pengkhianatan. Abdullah bin Ubai pandai memilih
beberapa sahabat yang dikenalinya sebagai orang-orang yang mudah percaya
dan cenderung membenarkan
hal-hal yang bersifat lahiriah, atau ia mengetahui bahwa di antara
mereka dan Aisyah terdapat kedengkian
sehingga mereka suka jika tersebar kebohongan
yang berkenaan dengan Aisyah.
Demikianlah pemimpin
munafik itu berhasil menjerat beberapa sahabat dalam tali kebohongannya,
di
antaranya Hasan bin Sabit. Musthah, dan seorang wanita yang dipanggil
Hamnah binti Jahasv. yaitu saudara perempuan Zainab binti Jahasy istri
Rasulullah saw. Ketiga orang itu tertipu dengan kebohongan tersebut lalu
mereka menyebarkannya sehingga orang-orang yang terjerat dalam kebo
hongan itu mengatakan apa saja
yang mereka inginkan. Akhirnya. pasukan pun
berguncang dengan isu itu. Sementara itu, Aisvah tidak mengetahui
sedikit pun tentang hal tersebut. Isu tersebut bertujuan untuk
menjatuhkan Islam dan melukai
perasaan RasuhiHah saw dan itu
termasuk peperangan menentang Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya.
Begitu juga ia bertujuan menunjukkan bahwa kaum Muslim tidak konsekuen
dengan akidah yang
mereka yakini dan secara tidak
langsung ia juga menyerang kesucian rumah tangga Aisyah.
Pasukan kembali ke Mekah dan
Aisyah jatuh sakit, namun ia tidak
mengetahui isu-isu yang dikatakan tentang dirinya. Kemudian Rasulullah
saw
mendengar hal itu sebagaimana ayahnya Abu Bakar dan ibunya pun
mendengarnya, namun tak seorang pun di antara. mereka yang memberitahu
Aisyah. Begitu juga Rasul
saw tidak menceritakan peristiwa itu
di hadapan Aisyah. Namun sikap beliau berubah di mana beliau tidak lagi
menunjukkan perhatiannya seperti biasanya
saat Aisyah sakit. Ketika beliau menemui Aisyah dan saat itu ibunya ada
di situ, beliau berkata:
"Bagaimana keadaanmu?" Beliau
tidak lebih dari mengucapkan kata-kata itu. Ketika Aisyah melihat
perubahan sikap Rasul saw, ia mulai
marah. Pada suatu hari ia berkata
pada Nabi: "Seandainya engkau mengizinkan aku, niscaya aku akan pindah
ke tempat ibuku." Beliau
menjawab: "Itu tidak ada masalah."
Aisyah pun pindah ke tempat ibunya
dan ia tidak mengetahui sama sekali apa
yang sebenarnya terjadi padanya. Setelah melalui lebih dari dua puluh
malam, Aisyah sembuh dari sakitnya dan ia pun belum mengetahui hal-hal
yang dikatakan
tentang dirinya. Umul mu'minin
Aisyah menceritakan bagaimana ia mengetahui isu bohong tersebut dan
bagaimana Allah SWT membebaskannya dari isu itu, ia
berkata:
"Kami adalah kaum Arab di mana kami
tidak mengambil di rumah kami tanggung jawab
ini yang biasa di ambil oleh orang-orang Ajam. Kami membencinya. Kami
keluar untuk menikmati keluasan kota.
Sementara itu para wanita keluar pada setiap malam untuk memenuhi hajat
mereka. Pada suatu malam, aku keluar bersama
Ummu Musthah untuk memenuhi sebagian keperluanku. Lalu ia berkata:
"Tidakkah kau sudah mendengar suatu berita wahai putri Abu Bakar?" Aku
bertanya, "berita apa itu?"
Lalu ia memberitahukan padaku apa-apa
yang dikatakan oleh para penyebar kebohongan. Aku berkata: "Apa ini
memang benar?" Ia menjawab: "Demi
Allah, ini benar-benar terjadi." Aisyah berkata: "Demi Allah, aku tidak
mampu memenuhi
hajatku." lalu aku pulang. Demi
Allah, aku tetap menangis sampai-sampai aku mengira bahwa tangisanku
akan merusak jantungku dan aku berkata kepada ibuku, mudah-mudahan Allah
SWT mengampunimu,
banyak orang berbicara tentangku
namun engkau tidak menceritakan
sedikit pun kepadaku. Ia berkata: "Wahai anakku, sabarlah demi Allah
jarang sekali wanita yang baik yang
dicintai oleh seorang lelaki yang
jika ia memiliki istri-istri yang lain (madunya) kecuali wanita itu akan
diterpa oleh berbagai isu."
Aisyah berkata: "Rasulullah
saw berdiri dan menyampaikan pembicaraannya
pada mereka dan aku tidak mengetahui hal itu." Beliau memuji Allah
SWT kemudian berkata: "Wahai manusia, bagaimana
keadaan kaum lelaki yang menyakiti aku melalui keluar gaku dan mereka
mengatakan sesuatu yang tidak
benar. Demi Allah, aku tidak
mengenal mereka kecuali dalam kebaikan. Lalu mereka mengatakan hal itu
pada seorang lelaki yang aku tidak mengenalnya kecuali dalam kebaikan di
mana ia
tidak memasuki suatu rumah dari
rumah-rumahku kecuali ia bersamaku."
Kemudian Rasulullah
saw memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid dan bermusyawarah
dengan
keduanya. Usamah hanya melontarkan pujian dan berkata: "Ya Rasulullah
aku
tidak mengenal istrimu kecuali dalam kebaikan dan berita ini hanya
kebohongan
dan kebatilan," sedangkan Ali berkata: 'Ya Rasulullah masih banyak
wanita yang lain yang dapat kau percaya." Kemudian Rasulullah saw
memanggil Burairah dan bertanya kepadanya, lalu Ali berdiri kepadanya
dan memukulnya
dengan keras sambil berkata: "Jujurlah
kepada Rasulullah saw," lalu wanita itu berkata: "Demi Allah,
aku tidak mengetahui kecuali kebaikan. Aku tidak pemah mencela Aisyah
kecuali pada suatu waktu aku sedang membikin adonan roti lalu aku
memerintahkannya untuk
menjaganya namun Aisyah tertidur dan
datanglah kambing lalu adonan itu dimakan
olehnya."
Aisyah berkata:
"Kemudian datanglah kepadaku Rasulullah saw dan saat tu aku
bersama kedua orang tuaku dan seorang wanita dari kaum Anshar. Aku
menangis dan wanita itu pun turut menangis. Rasulullah saw duduk lalu
memuji Allah SWT dan berkata: "Wahai Aisyah, sungguh kamu telah
mendengar sendiri apa yang dikatakan orang-orang tentang dirimu, maka
bertakwalah kepada Allah SWT dan jika
engkau telah melakukan keburukan seperti yang diucapkan orang-orang itu,
maka bertaubatlah kepada Allah SWT karena sesungguhnya Allah SWT
menerima taubat
dari hamba-hamba-Nya." Aisyah
berkata, "demi Allah, itu tidak lain hanya kebohongan yang dialamatkan
kepadaku sehingga membuat air mataku kering. Aku sama sekali tidak
seperti yang
mereka katakan," lalu aku
menunggu kedua orang tuaku untuk mengatakan tentang diriku namun mereka
justru terdiam. Aisyah berkata, "demi Allah aku merasa sebagai seorang
yang hina yang tidak layak diturunkan Al-Qur'an
dari Allah SWT berkenaan denganku, tetapi aku hanya berharap agar Nabi
saw melihat kebohongan yang dialamatkan kepadaku itu sehingga ia
memastikan terbebasnya
aku darinya."
Aisyah
berkata: "Ketika aku tidak melihat kedua orang tuaku berbicara aku berkata
kepada mereka tidakkah kalian menjawab apa yang dikatakan Rasuullah
saw?" Mereka berkata: "Demi Allah kami tidak
mengetahui apa yang harus kami jawab." Aku mengetahui bahwa aku bebas dari tuduhan itu.
Tiba-tiba Rasulullah saw mengusap keringat
dari wajahnya sambil berkata: "Bergembiralah wahai Aisyah karena sesungguhnya Allah SWT telah
menurunkan ayat yang membebaskan kamu dari tuduhan itu," lalu aku
berkata: "Segala puji bagi Allah
SWT." Kemudian beliau keluar menemui para sahabat dan membacakan kepada mereka ayat berikut ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari
mereka mendapat balasan dari dosa
yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran
berita bohong itu, maka baginya azab
yang besar. " (QS. an-Nur: 11)
Jibril turun kepada Nabi saw untuk
menyampaikan terbebasnya Aisyah dari segala tuduhan yang ditujukan
kepadanya. Dan gagallah peperangan psikologis menentang kaum Muslim dan
rumah
tangga Rasulullah saw, dan kelompok-kelompok kafir meyakini bahwa mereka
harus
menggunakan cara baru lagi untuk menentang Islam. Kemudian Rasulullah
saw kembali memasuki
pergulatan menentang peperangan fisik.
Peperang Khandaq termasuk contoh peperangan
fisik yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Orang-orang Yahudi menyerahkan
urasan mereka kepada kaum
musyrik, dan Dimulailah rangkaian
persekongkolan dan sumpah di antara tokoh-tokoh Yahudi dan
pemimpin-pemimpin kaum musyrik, bahkan pendeta-pendeta Yahudi berfatwa
bahwa agama
Quraisy yang disimbolkan dengan
penyembahan berhala lebih baik daripada agama Muhammad yang penyembahan
hanya layak ditujukan kepada Tuhan Yang
Esa sebagaimana tradisi jahiliah lebih baik daripada ajaran Al-Qur'an.
Politik kaum
Yahudi berhasil menyatukan kelompok-kelompok orang kafir dan
mengerahkannya untuk menentang kaum Muslim. Kemudian mereka akan
menyerang Madinah dengan jumlah kekuatan sepuluh ribu tentara. Akhirnya,
berita itu sampai ke Nabi saw. Beliau tidak heran ketika mendengar orang-orang
Yahudi bersatu—padahal mereka mempunyai azas agama yang menyeru kepada tauhid—bersama
kaum musyrik menentang agama tauhid. Nabi saw mengetahui bahwa perjanjian
telah lama membelenggu orang-orang Yahudi sehingga hati mereka menjadi keras
dan hari telah menjauhkan antara mereka dan sumber yang jernih yang dipancarkan
oleh Musa. Akhirnya, mereka menjadi buah yang rusak yang kulitnya
bergambar tauhid namun isinya bergambar kepahitan syirik. Dan yang lebih
penting dari itu adalah kesamaan kepentingan kaum Yahudi dan kaum musyrik.
Nabi saw menyadari bahwa beliau sekarang
menghadapi ancaman dan pasukan yang besar. Pertempuran secara terbuka tidak
memberi
keuntungan bagi Muslimin. Beliau mulai berpikir bagaimana cara mempertahankan
Madinah tanpa harus keluar darinya. Kali ini taktik militernya berubah di mana
sebelum itu beliau keluar dari Madinah dan menjauhinya serta menyerang
kelompok-kelompok
yang berencana menyerbu Madinah. Kali ini bentuk ancaman berbeda dan tentu pikiran Nabi pun berubah karena
mengikuti perbedaan ancaman itu.
Kemudian
beliau mengadakan pertemuan militer bersama para tentaranya. Beliau
ingin mendengar berbagai usulan tentang bagaimana cara mempertahankan
Madinah. Lalu Salman al-Farisi mengusulkan agar Nabi menggali suatu parit yang
dalam di sekeliling Madinah yaitu parit yang seperti bendungan alami yang
dapat menahan laju banjir yang ingin maju, suatu parit yang pasukan berkuda
tidak akan mampu melewatinya dan kaum Muslim dapat mempertahankan diri
dari belakangnya. Mula-mula usulan itu terkesan agak mustahil diwujudkan
namun pada akhirnya Nabi menyetujui usulan Salman itu. Melalui
sensifitas militernya yang mengagumkan, beliau mengetahui bahwa situasi
cukup genting dan karenanya ia menuntut usaha keras untuk dapat melaluinya.
Nabi saw memerintahkan para sahabat untuk menggali parit di sekitar Madinah.
Pekerjaan itu sangat berat dan saat itu musim dingin di mana udara
sangat dingin. Di samping itu, kaum Muslim sedang mengalami
krisis ekonomi yang mengancam Madinah, meskipun demikian, penggalian parti
tetap dilaksanakan, bahkan Rasulullah saw terjun langsung untuk membuat
galian dan memikul tanah.
Kaum Muslim dengan
semangat yang luar biasa dapat menyelesaikan penggalian parit itu meskipun
kehidupan sangat keras dan mereka merasakan kelaparan karena kekurangan
harta. Namun semangat pasukan Islam tetap meninggi. Mereka percaya akan
datangnya kemenangan
dan pertolongan dari Allah SWT.
Allah SWT
berfirman:
"Dan tatkala
orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka
berkata: 'lnilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada
kita.' Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu
tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan."
(QS. al-Ahzab: 22)
Pasukan
Quraisy mulai mendekati Madinah dan tiba-tiba Madinah berubah menjadi
jazirah cinta di
tengah-tengah lautan kebencian, lautan itu mulai menghantam jazirah dan
berusaha menenggelamkannya dari dalam.
Kemudian bertebaranlah panah-panah kaum Muslim untuk menghalau pasukan
kafir yang cukup banyak. Pasukankafir mulai berputar-putar di sekeliling
parit dalam keadaan bingung: apa gerangan yang telah dilakukan pasukan
Islam, bagaimana mereka dapat
menggali parit ini?
Kuda-kuda musuh berusaha melalui parit itu
namun pasukan Muslim segera menyerangnya.
Demikianlah peperangan Ahzab terus
berlangsung. Pada hakikatnya ia adalah peperangan urat syaraf. Pasukan musuh mengepung Madinah selama
tiga minggu di mana serangan demi serangan terus dilakukan sepanjang
siang dan mata mereka tetap terjaga sepanjang malam. Bahkan saking dahsyatnya pertempuran itu sehingga kaum Muslim
tidak mengetahui apakah pasukan musuh
berhasil menduduki Madinah atau tidak,
dan apakah para musuh berhasil menembus lubang yang mereka bangun? Allah SWT menggambarkan keadaan
peperangan Ahzab dalam firman-Nya:
"(Yaitu) ketiha
mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketiha tidak
tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke
tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan
bermacam-macam persangkaan. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan
digoncangkan hatinya dengan goncangan yang dahysat." (QS.
al-Ahzab: 10-11)
Keadaan
semakin buruk di mana orang-orang Yahudi membatalkan perjanjian
mereka dengan kaum Muslim dan mereka bergabung dengan al-Ahzab. Demikianlah
Bani Quraizhah membatalkan perjanjiannya dan mereka lupa terhadap pengkhianatan
bani Nadhir dan pembalasan Nabi saw terhadap mereka. Setiap hari keadaan
semakin buruk.
Kaum Muslim
benar-benar mengalami ujian yang berat di mana pikiran mereka
benar-benar kacau. Ketika keadaan mencapai puncaknya kaum Muslim
bertanya kepada Rasul saw, "apa yang harus mereka katakan?"
Rasulullah saw memberitahu agar mereka mengatakan: "Ya Allah,
kalahkanlah mereka dan tolonglah kami untuk mengatasi mereka."
Doa tersebut keluar dari mulut-mulut kaum
yang telah melaksanakan
kewajiban mereka dan telah membuat mukjizat mereka dalam menghalau serangan.
Jadi, mereka tidak memiliki apa-apa selain
doa dan Allah SWT-lah Yang Maha Mendengar permintaan hamba-Nya dan Dia yang
mengabulkannya. Dia mengetahui orang yang
melaksanakan kewajibannya dan akan mengabulkan orang yang berdoa.
Akhirnya, kaum Muslim benar-benar mendapatkan
rahmat Allah SWT. Kemudian perjalanan pertempuran bergerak dengan cara yang tidak bisa dipahami.
Para penyerang menyadari bahwa mereka
sebenamya telah kalah di mana mereka telah menyerang selama tiga pekan namun serangan tersebut tidak
memberikan hasil apa pun. Mereka
telah mencurahkan berbagai upaya namun tanpa
memberikan hasil yang diharapkan dan boleh jadi mereka akan tetap begini selama tiga tahun.
Kemudian
datanglah suatu malam di mana kaum Muslim belum pernah melihat malam
segelap itu dan angin sekencang itu, bahkan saking kerasnya
angin sampai-sampai suaranya laksana halilintar. Bahkan saking gelapnya malam itu sehingga
tak seorang pun di antara umat Islam yang
mampu melihat jari-jari tangannya atau berdiri dari tempatnya karena
saking dinginnya cuaca. Kemudian Nabi saw
datang menemui Hudaifah bin Yaman. Beliau tidak mampu melihatnya meskipun beliau berdiri di sebelahnya.
Nabi saw bertanya: "Siapa
ini?" Hudaifah menjawab: "Aku adalah Hudaifah." Nabi saw berkata: "Oh, kamu Hudaifah."
Hudaifah tetap tinggal di tempatnya karena ia khawatir jika ia berdiri
ia akan tidak mampu karena saking dinginnya
dan akan menabrak Rasul saw. Rasul saw berkata
kepada Hudaifah, "Aku kehilangan berita penting tentang keadaan
kaum yang menyerang kita."
Hudaifah
sebagai mata-mata dari pasukan Islam merasakan ketakutan di mana ia
tidak mampu menahan cuaca yang begitu dingin, lalu bagaimana ia dapat
berdiri dan keluar dari Madinah menuju ke tempat pasukan musuh dan
menyusup di tengah barisan mereka lalu kembali kepada Nabi saw dengan
membawa berita tentang mereka. Hudaifah bangkit dari tempatnya ketika
Nabi saw
selesai dari pembicaraannya. Nabi saw memberikan doa kebaikan kepadanya.
Hudaifah pun pergi dan kehangatan
keimanannya mengalahkan kegelapan
malam dan kedinginan cuaca. Ia keluar dari
Madinah dan menyusup di tengah-tengah pasukan musuh. Nabi saw
memerintahkannya untuk tidak melakukan tindakan apa pun selain
mendapatkan berita dan kembali. Inilah tugas utamanya. Hudaifah sampai
di tengah-tengah musuh. Mereka
berusaha menyalakan api namun angin segera mematikannya sebelum menyala
dan di dekat api itu terdapat seorang
lelaki yang berdiri sambil mengulurkan tangannya ke arah api dengan
maksud untuk menghangatkannya. Lelaki itu
adalah pemimpin kaum musyrik yaitu
Abu Sofyan.
Melihat itu, Hudaifah
segera memasang anak panah pada busur yang dibawanya dan ia ingin
memanahnya. Seandainya ia berhasil membunuhnya, maka kaum Muslim dapat merasa
tenang dengannya, namun ia ingat pesan Rasulullah saw kepadanya agar
ia tidak melakukan tindakan apa pun. Kemudian ia kembali meletakkan anak panahnya
dan menyembunyikannya.
Abu Sofyan
berkata: "Wahai orang-orang Quraisy situasi saat ini tidak menguntungkan
bagi kalian, maka pergilah kalian karena aku pun akan pergi." Abu Sofyan melompat
ke atas untanya lalu mendudukinya dan
memukulnya sehingga unta itu bangkit.
Hudaifah kembali
menemui Rasulullah saw dengan membawa berita mundumya pasukan Ahzab dan
gagalnya serangan mereka.
Ketika mendengar peristiwa penarikan mundur
pasukan musuh, Rasulullah saw
berkata: "Sekarang kita akan menyerang mereka dan mereka tidak akan
menyerang kita." Belum lama pasukan Ahzab kembali ke negerinya dengan
tangan hampa sehingga beliau keluar dari
Madinah bersama pasukannya menuju ke kaum Yahudi Bani Quraizhah.
Orang-orang Yahudi itu telah mengkhianati peijanjian mereka bersama Nabi
saw. Mereka menipu Islam di saat-saat genting. Oleh karena itu, mereka
harus membayar biaya
pengkhianatan mereka sekarang.
Nabi saw
memerintahkan agar para sahabat tidak melaksanakan salat Ashar kecuali
di Bani Quraizhah. Kaum Muslim memahami bahwa perintah tersebut berarti mereka
akan menerobos benteng kaum
Yahudi sebelum matahari tenggelam.
Orang-orang
Yahudi menelan kekalahan pahit lalu mereka datang kepada Sa'ad
bin Mu'ad agar ia memutuskan perkara mereka. Sa'ad adalah pemimpin kaum
Aus dan kaum Aus adalah sekutu orang-orang Yahudi Quraizhah di masa
jahiliah.
Kaum Yahudi mengharap bahwa mereka
dapat memanfaatkan hubungan yang terjalin selama ini sebagaimana kaum
Aus
membayangkan bahwa tokoh mereka akan
memberikan keringanan terhadap sekutu-sekutu mereka. Sa'ad ketika itu
terluka
dan ia sedang dirawat di kemahnya
karena terkcna panah kauni Ahzab. Sebagian kaunmya membujuknya agar ia
bersikap baik terhadap
orang-orang Yahudi, sekutu-sekutu mereka, dan orang-orang Yahudi
membujuknya
agar ia bersikap lembut terhadap
mereka. Kemudian Sa'ad mengatakan pernyataannya
yang terkenal: "Telah tiba waktunya bagi Sa'ad untuk memutuskan
hukum sesuai dengan kehendak Allah tanpa peduli
dengan celaan para pencela." Sa'ad memutuskan agar kaum lelaki dibunuh
dan keturunannya ditawan serta
harta-harta mereka dibagi-bagikan. Nabi pun menyetujui keputusan tegas
Sa'ad itu. Beliau berkata kepadanya:
"Sungguh engkau telah memutuskan kepada
mereka dengan keputusan Allah SWT dari tujuh langit."
Sa'ad mengetahui bahwa perantaraan,
permohonan, harapan, dan
menjaga berbagai pertimbangan lazim selayaknya berada di suatu
genggaman, dan masa depan Islam berada di
genggaman yang lain. Yahudi Bani
Quraizhah adalah penyebab berkecamuknya peperangan Ahzab dan sumpah
mereka dan berbagai tipu daya mereka berusaha untuk memblokade Islam dan
menghancurkannya. Oleh karena itu,
kini telah tiba saatnya untuk mencabut pohon-pohon
beracun dari akarnya tanpa memperdulikan kasih sayang.
Demikianlah kaum
Yahudi dibersihkan dari Madinah. Nabi saw kembali melanjutkan
pergulatannya. Puncak dari perjuangan politiknya adalah perjanjian yang beliau
lakukan bersama orang-orang Quraisy. Nabi saw berjalan untuk melaksanakan
umrah dan mengunjungi
Baitul Haram. Beliau keluar bersama seribu empat ratus kaum lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke Baitul Haram guna
melaksanakan umrah. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah pinggiran kota Mekah, tiba-tiba unta yang
ditunggangi Nabi duduk dan ia tidak
mau melangkah menuju Mekah. Melihat itu para sahabat berkata: "Oh
unta itu malas." Nabi saw berkata: "Tidak Demikian namun ia ditahan oleh Zat yang menahan laju gajah
menuju Mekah. Sungguh jika hari ini orang Quraisy membuat suatu rencana
dan mereka meminta agar aku menyambung tali silaturahmi niscaya aku akan menyetujuinya."
Nabi saw
memerintahkan para sahabat agar tetap tinggal di Hudaibiyah. Kaum
Muslim beristirahat di sana dengan harapan mereka dapat memasuki
Mekah di waktu pagi. Peristiwa itu bertepatan dengan bulan Haram. Mekah telah menetapkan agar tak
seorang pun dari kaum Muslim dapat
memasukinya. Semua kaum Quraisy telah
keluar untuk memerangi kaum Muslim. Mereka mengutus utusan-utusan kepada Nabi saw lalu beliau memberitahu mereka
bahwa beliau tidak datang untuk berperang namun beliau ingin melakukan urnrah sebagai bentuk pujian dan syukur kepada Allah
SWT dan mengagumkan kemuliaan rumah-Nya yang suci. Mekah menetapkan untuk melakukan perjanjian
bersama kaum Muslim di mana mereka menginginkan agar jangan sampai kaum Muslim memasuki Baitul Haram pada tahun ini
kecuali setelah mereka kembali pada
tahun depan.
Datanglah juru runding kaum Quraisy lalu
Rasul saw menyambutnya dan mendengarkan ia menyampaikan syarat-syarat perjanjian yang
intinya pelaksanaan perdamaian dan penarikan mundur pasukan
Muslim. Nabi saw menyetujui semua syarat-syarat perjanjian meskipun
tampak bahwa perjanjian tersebut tidak menguntungkan kaum Muslim di mana itu dianggap sebagai
titik kemunduran politik dan militer kaum Muslim, dan yang menambah kebingungan kaum Muslim adalah bahwa Rasul saw
tidak melibatkan seseorang pun dari
kalangan sahabatnya untuk bermusyawarah dalam hal ini. Tidak biasanya
beliau bersikap demikian. Para sahabat
menyaksikan beliau pergi menemui kaum musyrik dan bersikap sangat lembut
kepada mereka, dan beliau tidak kembali kecuali
membawa berita persetujuan dengan perjanjian yang di prakarsai orang-orang musyrik, dan beliau pun
membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Para sahabat bergerak
untuk menentang Rasulullah saw. Mereka bertanya kepada beliau, "bukankah
engkau utusan Allah SWT? Bukankah kita kaum Muslim? Bukankah
musuh-musuh kita kaum musyrik?"
Nabi saw hanya mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar bin
Khatab kembali bertanya: "Mengapa kita harus menerima penghinaan dalam
agama kita?" Umar
ingin mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita saat ini, "mengapa kita
harus mundur kalau kita berada di atas kebenaran? Mengapa kita menerima
syarat-syarat perjanjian yang justru
menguntungkan kaum musyrik? Apakah
kita takut terhadap mereka?"
Mendengar
berbagai protes yang disampaikan para sahabatnya, Rasul saw justru menyampaikan
jawaban yang unik bagi mereka di mana beliau berkata: "Aku adalah hamba
Allah SWT dan Rasul-Nya dan aku tidak mungkin menentang perintah-Nya
dan Dia tidak mungkin akan menyia-nyiakan aku." Makna dari kalimat beliau adalah, "taatilah apa yang
telah aku lakukan tanpa perlu memperdebatkannya
dan hendaklah kalian sedikit bersabar."
Perjalanan hari
menetapkan bahwa perjanjian yang menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah
sahabat itu justru membawa kemenangan politik paling gemilang yang pernah
dicapai oleh umat Islam. Kemenangan tersebut diperoleh sebagai hasil dari
kebijaksanaan sang Nabi saw yang mengalahkan kelihaian politik kaum Quraisy.
Kaum Quraisy telah memfokuskan semua kelihaian-nya agar kaum Muslim
kembali ke tempat mereka tanpa memasuki Masjidil Haram pada tahun ini, namun hikmah Nabi saw justru
mampu mencapai pengelihatan yang tidak dapat
dijangkau oleh kaum itu yang berkenaan dengan masa depan. Jika saat ini perjanjian
tersebut tampak membawa kekalahan bagi kaum Muslim, maka setelah berlangsung
beberapa bulan ia justru mendatangkan kemenangan
yang spektakuler.
Suhail bin Amr adalah
wakil dari delegasi kaum Quraisy dan Ali bin Abi Thalib adalah juru tulis dalam
perjanjian itu dari pihak Nabi saw. Rasulullah saw berkata kepada Ali:
"Tulislah dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang." Utusan Quraisy berkata, aku tidak mengenal ini. Tapi
tulislah dengan nama-Mu, ya Allah. Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Dengan nama-Mu, ya
Allah." Sikap keras kepala utusan Quraisy itu tidak berarti sama sekali karena tidak ada perbedaan yang mencolok
antara dengan namamu Allah dan
dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang selain niat si
pembicara.
Nabi saw berkata kepada Ali: "Ini
adalah perundingan antara Muhammad saw
utusan Allah dan Suhail bin Amr." Mendengar itu dengan nada menentang Suhail bin Amr berkata:
"Seandainya aku bersaksi bahwa
engkau adalah utusan Allah niscaya aku tidak akan memerangimu, tetapi tulislah namamu dan nama
ayahmu." Nabi berkata kepada
Ali tulislah: "Inilah kesepakatan antara Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr."
Tampaknya itu
adalah kemunduran yang kedua dan dengan pandangan yang sekilas tampak
menjatuhkan kaum Muslim tetapi Nabi saw ingin mewujudkan suatu tujuan
yang
penting yaitu tujuan yang belum terungkap saat itu. Alhasil, semuanya
terjadi
dengan ilham dari Allah SWT. Ali kembali menulis bahwa Muhammad bin
Abdillah dan
Suhail bin Amr sama-sama sepakat untuk menghentikan peperangan selama
sepuluh tahun di
mana hendaklah masing-masing mereka
memberikan keamanan terhadap sesama mereka. Namun jika terdapat di
antara orangorang Quraisy seseorang yang masuk Islam lalu ia datang
kepada Muhammad saw
tanpa izin walinya hendaklah kaum
Muslim mengembalikannya kepada kaum Quraisy.
Sebaliknya, jika ada orang yang murtad dari sahabat Muhammad saw, maka
tidak ada keharusan bagi orang
Quraisy untuk mengembalikannya kepada
Nabi.
Syarat tersebut
sangat menyakitkan kaum Muslim. Tampak bahwa orang-orang Quraisy
memaksakan kehendaknya dalam syarat-syarat perjanjian yang tidak adil itu. Ali melanjutkan tulisannya,
hendaklah Nabi saw pulang dari Mekah pada
tahun ini dan tidak memasukinya dan
jika pada tahun depan orang-orang Quraisy keluar darinya, maka beliau dapat memasukinya untuk melaksanakan umrah
selama tiga hari dan setelah itu beliau harus meninggalkannya.
Persyaratan tersebut sangat merugikan kaum Muslim dan terkesan membingungkan.
Di
tengah-tengah perjanjian tersebut terjadi suatu peristiwa yang menambah penderitaan dan kebingungan
Muslimin di mana anak dari juru runding
Quraisy meminta perlindungan kepada kaum
Muslim. Ia masuk Islam dan ingin bergabung dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail segera bangkit
menyusulnya bahkan memukulnya dan
mengembalikannya kepada kaumnya. Orang Mukalaf
itu segera berteriak dan meminta pertolongan kepada kaum Muslim agar mereka menyelamatkannya dari
kejahatan kaum Quraisy sehingga mereka tidak mengubah agamanya.
Rasulullah saw berbicara kepadanya dan meminta kepadanya untuk bersabar dan tegar dalam menanggung penderitaan karena
Allah SWT akan menjadikannya dan
orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan kelapangan. Nabi memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan
suatu peijanjian dengan kaum Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian mereka.
Akhirnya,
anak Muslim itu dikembalikan ke Mekah dalam keadaan tersiksa.
Kemudian Selesailah penandatanganan perjanjian antara pihak kaum
Muslim dan pihak kaum musyrik. Setelah penandatanganan perjanjian itu,
Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya agar mereka memotong hewan
kurban dan mencukur rambut mereka (tahalul) dari umrah mereka dan
kembali ke Madinah. Namun tak seorang pun bangkit menyambut perintah tersebut,
lalu beliau mengulangi perintahnya ketiga kali. Di tengah-tengah kaum Muslim
yang tampak membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih unta
dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau tidak
berbicara dengan
seorang pun. Ketika para sahabat mengetahui bahwa Nabi saw tampak marah dan telah mendahului mereka dengan tahalul dari
umrahnya, maka mereka bangkit untuk menyembelih kurban dan memotong rambut mereka.
Perjalanan hari
menunjukkan bahwa perundingan tersebut tidak seperti yang dibayangkan oleh
kaum Muslim. Ia justru membawa kemenangan dan bukan kekalahan. Persatuan kaum kafir di jazirah Arab mulai runtuh sejak mereka
menandatangani perjanjian itu. Kaum
Quraisy di anggap sebagai pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera penentangan
terhadap Islam, maka ketika tersebar
berita perjanjian mereka bersama kaum Muslim, maka padamlah fitnah-fitnah kaum munafik yang bekerja untuk
mereka dan bercerai-berAllah
kabilah-kabilah penyembah patung di penjuru jazirah.
Saat aktivitas kaum Quraisy terhenti, maka
kaum Muslim mengalami peningkatan aktivitas di mana mereka berhasil
menarik orang-orang yang masih memiliki kemampuan untuk melihat
kebenaran. Sejak
dua tahun dari masa penandatanganan perjanjian itu jumlah penganut
Islam semakin bertambah lebih dari jumlah sebelumnya. Bukti dari itu
adalah, bahwa saat
Rasul saw keluar ke Hudaibiyah beliau
ditemani dengan seribu empat ratus Muslim namun ketika beliau keluar
pada tahun penaklukan kota Mekah beliau
disertai dengan sepuluh ribu Muslim. Penaklukan kota Mekah terjadi
setelah dua tahun dari perundingan
tersebut. Penambahan jumlah kaum
Muslim yang luar biasa ini adalah dikarenakan hikmah sang Nabi saw dan
kejauhan
pandangannya. Nabi saw keluar sebagai
pemenang dalam pergulatan politiknya, dan syarat-syarat yang tadinya
merugikan kaum Muslim kini telah berubah
menjadi syarat-syarat yang merugikan kaum Quraisy. Barangsiapa murtad
dari kaum Muslim dan pergi ke kaum
Quraisy, maka hendaklah mereka
melindunginya karena Allah SWT telah memampukan Islam darinya, dan
barangsiapa yang masuk Islam dari kaum kafir
dan pergi ke kaum Muslim, maka hendaklah mereka mengembalikannya ke kaum
Quraisy di mana ia tinggal di dalamnya sebagai mata-mata dari pihak
Islam atau
ia dapat lari dari kaum Quraisy untuk menyatukan kelompok yang bertikai
dan ia dapat hidup laksana duri di
tengah-tengah kaum Quraisy.
Belum lama
waktu berjalan sehingga kaum Quraisy mengutus utusannya kepada Nabi
saw dan mengharap kepada beliau agar melindungi orang Quraisy yang masuk
Islam daripada membiarkan mereka sebagai panah yang terbang menuju kaum
Quraisy. Demikianlah kaum Quraisy justru membatalkan syarat yang telah mereka
diktekan dan Nabi saw pun menerimanya dengan puas. Perundingan itu
justru menguatkan barisan Nabi savv.
Demikianlah Nabi saw terus menjalani mata
rantai pergulatan yang tiada henti-hentinya
di mana kehidupan beliau yang pribadi sekali pun tidak sunyi dari
penderitaan. Nabi saw menikahi sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan
sembilan istri tersebut merupakan
keistimewaan pribadi yang hanya beliau miliki karena berhubungan dengan
sebab-sebab dakwah Islam. Yaitu suatu dakwah yang membolehkan para
pengikutnya untuk menikahi empat orang istri dengan syarat jika yang
bersangkutan mampu menciptakan keadilan di
antara mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya puas dengan satu istri
jika seorang Muslim khawatir tidak dapat
berbuat adil.
Kaum orentalis dan musuh-musuh Islam mencoba
untuk menghina Nabi
dan memojokkannya, dan salah satu cela yang mereka manfaatkan adalah
perkawinan beliau dengan sembilan wanita. Kita mengetahui bahwa
pernikahan-pernikahan beliau
terlaksana dengan sebab-sebab politik
atau kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah Islam. Dan yang terkenal
dari
sejarah Nabi saw adalah bahwa beliau
menikah dengan Sayidah Khadijah saat beliau berusia dua puluh lima tahun
dan Khadijah berusia empat puluh tahun. Semasa hidup Khadijah beliau
tidak menikahi
istri yang lain sampai Khadijah
mencapai usia enam puluh lima tahun. Saat Khadijah meninggal, Nabi
berusia di atas lima puluh tahun. Beliau menikahi Khadijah sebelum
beliau diutus untuk
menyebarkan Islam. Beliau tetap setia
bersama Khadijah sampai ia meninggal dan beliau diangkat menjadi Nabi.
Namun beban kenabian dan beratnya jihad, kasih sayangnya kepada manusia,
pengorbanannya terhadap Islam dan
perintah Allah SWT semua itu memaksanya untuk menikah lebih dari satu
orang istri sampai mencapai sembilan orang istri. Perkawinan beliau
dengan Aisyah yang
saat itu masih belia merupakan usaha untuk menjalin ikatan dengan Abu
Bakar, ayah dari Aisyah dan perkawinan
beliau dengan Hafshah meskipun ia
sedikit kurang cantik merupakan usaha beliau untuk menjalin ikatan
dengan Umar, ayahnya. Beliau juga menikah
dengan Ummu Salamah, janda dari
pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan Allah SWT dan wanita itu
merasakan penderitaan bersama beliau saat hijrah di Habasyah dan hijrah
ke
Madinah. Ketika suaminya meninggal
dan ia sendirian menghadapi berbagai persoalan kehidupan, maka Nabi saw
segera merangkulnya di rumah kenabian.
Perkavvinan beliau dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan terhadap
keislaman wanita itu dan kemuliannya dari kaum lelaki serta
kesendiriannya dalam menjalani
kehidupan. Sementara itu, pernikahan beliau dengan Zainab bin Jahasy
merupakan ujian berat bagi beliau di mana
perintah pernikahan itu datang dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu
tradisi yang terkenal di kalangan jahiliah
yaitu tradisi adopsi. Zainab termasuk kerabat
Rasul. Jadi ia termasuk dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga
dengan nasab yang dimilikinya yang
karenanya ia menolak ketika ditawari
untuk menikah dengan Zaid bin Harisah, seorang
budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan nasabnya telah beliau
nisbatkan kepada dirinya dan beliau
telah mengadopsinya sehingga ia dipanggil dengan sebutan Zaid bin
Muhammad. Namun Zainab akhirnya menyetujui
pendapat Nabi dan perintah Allah SWT
sehingga ia menikah dengan Zaid:
"Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukimin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetaphan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.
Dan barangsiapa mendurhahai Allah dan Rasul-Nya, maka
sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. " (QS.
al-Ahzab: 36)
Sejak semula tampak
jelas bahwa pernikahan tersebut akan segera berakhir. Zainab tidak
menyukai Zaid dan Zaid pun bukan tipe lelaki yang mampu menahan
kehidupan
bersama seorang wanita
yang hatinya jauh darinya. Zaid datang kepada Nabi saw guna mengadu
kepada beliau dan meminta izin untuk menceraikan istrinya. Allah SWT
mewahyukan kepada
Rasul-Nya agar membiarkan Zaid
menceraikan istrinya, lalu hendaklah beliau menikahinya. Nabi saw
merasakan kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara kepada Zaid
agar ia terus melangsungkan kehidupannya dan bersabar. Nabi saw
membayangkan apa yang
dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi istri dari anaknya tetapi
apa yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru
merupakan sesuatu yang ingin dihapus oleh Allah SWT. Zaid bukanlah
anaknya dan
dalam Islam tidak ada sistem adopsi. Oleh karena itu, Zaid dapat
mencerai istrinya
lalu Nabi dapat menikahi Zainab untuk menetapkan apa yang diinginkan
oleh Islam. Rasulullah saw mampu
bersabar dan menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan
dikatakan
oleh manusia kepadanya. Ini bukanlah
pengorbanan pertama dan terakhir yang
beliau persembahkan untuk Islam. Berkenaan dengan itu, Allah SWT
berfirman:
"Dan (ingatlah),
ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat
kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya:
'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,' sedang kamu
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berrhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan
dia supaya tidak ada heberatan bagi orang-orang mukmin untuk
(menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak
angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah
ketetapan Allah itu pasti terjadi. " (QS. al-Ahzab: 37)
Pemikahan
beliau dipenuhi dengan unsur politik dan usaha untuk menyebarkan
kebaikan dan rahmat serta penghormatan nilai-nilai yang tinggi dan
menggabungkannya di rumah kenabian. Sementara itu, Ummu Habibah binti Abu
Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam, berhijrah bersama
suaminya ke Habasyah.
Ia berhadapan dengan
keterasingan dan kekhawatiran dalam membela agama Allah SWT. Kemudian suaminya
mati meninggalkannya sendirian dalam menjalani kehidupan. Sikapnya yang
mulia demi menegakkan ajaran Islam dan hanya menentang ayahnya merupakan
nilai lebih yang menyebabkan Rasulullah saw tertarik untuk
menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada suatu
hari, Abu Sofyan menemuinya saat ia telah menjadi istri Rasulullah saw. Abu
Sofyan ingin duduk di atas tempat tidur Nabi lalu Ummu Habibah berusaha
menjauhkan tempt tidur itu dari ayahnya. Melihat sikap anaknya itu,
ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah engkau mulai membenciku?"
Dengan penuh keberaniaan ia menjawab: "Ini adalah tempat tidur
Rasulullah saw dan engkau adalah seorang musyrik, maka engkau tidak boleh
menyentuhnya."
Adapun
Shofiyah binti Huyay adalah anak seorang raja Yahudi. Sedangkan
Juwairiyah
binti Haris, ayahnya seorang pemimpin kabilah Bani Musthaliq. Bani
Musthaliq
menelan kekalahan saat berhadapan dengan kaum muslim lalu kedua anak
perempuan raja dan pemimpin kabilah itu jatuh menjadi tawanan. Pemikahan
Nabi dengan kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh orang-orang yang
kalah itu
dan sebagai ajakan agar kaum Muslim memperlakukan mereka dengan baik.
Mula-mula kaum Muslim menolak untuk bersikap lembut terhadap ipar-ipar
Nabi, namun Nabi dengan
kelembutan sikapnya ingin menyingkap aspek
kemanusiaan dalam peperangannya dan
beliau mengisyaratkan kepada kaum Muslim agar mereka menunjukkan
persaudaraan sesama manusia. Peperangan itu sendiri bukan sebagai tujuan
namun ia sebagai
usaha mempertahankan Islam dan aspek tertinggi dari Islam adalah rahmat
dan
cinta.
Jadi Nabi saw menikahi wanita-wanita
dari orang-orang yang kalah itu dengan maksud agar kebebasan dan kemuliaan
kembali kepada keluarga mereka dan mereka
dapat masuk Islam secara puas dan sukarela. Kemudian beliau menikah
dengan Maryam al-Qibtiyah. Muqauqis telah
memberikannya kepada Nabi sebagai budak
di mana itu merupakan simbol tali kasih yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara Islam dan Masehi dan
sebagai bentuk hukum bagi kaum Muslim dengan dihalalkannya pernikahan dengan wanita-wanita
ahlul kitab.
Maryam
memberikan anak kepada Nabi saw yang bernama Ibrahim, nama dari
kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim tidak hidup lama. Ia meninggal
saat
masih menyusu. Kematiannya merupakan ujian bagi Nabi dan sebagai
isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul dari kaum pria adalah
para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan anak-anak
dari sulbinya.
Salah jika ada orang yang membayangkan
bahwa Rasul saw mempunyai banyak waktu untuk
mencari kesenangan meskipun halal.
Kesenangan diperbolehkan bagi orang lain namun beliau lebih memilih untuk merasakan penderitaan
berjihad, menegakkan hukum, dan kesabaran. Salah jika ada orang yang
membayangkan bahwa Rasul saw hidup di
rumahnya dengan keadaan ekonomi yang
lebih baik daripada orang yang termiskin dari kalangan Muslim di zamannya.
Kehidupan
beliau di rumahnya penuh dengan kezuhudan yang luar biasa sehingga
sebagian istrinya mengeluhkan keadaan tersebut. Di antara mereka
ada yang berasal dari keluarga yang kaya seperti keluarga Abu Bakar atau keluarga Umar bahkan
sebagian istrinya bersatu untuk meminta kepada beliau agar beliau menambah nafkah mereka sehingga Nabi meninggalkan
istri-istrinya, lalu tersebarlah isu
yang menyatakan bahwa beliau telah menceraikan semua istrinya. Kemudian turunlah ayat Takhyir (yaitu ayat yang memberikan pilihan kepada istri-istri Nabi untuk
tetap menjadi istri beliau atau
diceraikannya). Turunlah Al-Qur'an al-Karim memberikan pilihan pada istri-istri Nabi antara menjalani
kehidupan di rumah kenabian dengan
penuh kesederhanaan atau menerima perceraian.
Allah SWT berfirman:
"Hai Nabi,
katakanlah kepada istri-istrimu: 'Jika kamu sekalian mengingini
kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan
kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika
kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta
(kesenangan) di negeri akhirat, maka Sesungguhnya Allah menyediakan
siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.
" (QS. al-Ahzab: 28-29)
Selesailah fitnah.
Demikianlah pergulatan di rumah Rasul saw. Akhirnya, istri-istri beliau memilih
kehidupan zuhud dan bersabar serta akhirat daripada kehidupan dunia.
Permintaan istri-istri nabi tidak melebihi hal-hal yang bersifat mubah,
namun Rasul saw merupakan teladan bagi seluruh umat, karena itu beliau harus
menjadi teladan bagi umat sehingga beliau dapat menjadi cermin tertinggi yang layak
diemban oleh seorang yang memegang tampuk kepemimpinan Muslimin.
Allah SWT telah membalas pengorbanan istri-istri Nabi saw dalam
bentuk mengangkat kedudukan mereka dan menjadikan mereka sebagai ibu dari
kaum mukmin. Allah SWT berfirman:
"Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka
sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (QS.
al-Ahzab: 6)
Dan, sebagai
penegasan terhadap keibuan spiritual ini, Islam mewajibkan hijab yang
teliti kepada mereka, yaitu suatu hijab yang tidak diberlakukan
seperti itu kepada Muslimah-Muslimah lain. Nabi saw melanjutkan
dakwahnya. Beliau mengirim surat ke raja-raja dan para penguasa di mana beliau
ingin menunjukkan universalitas ajaran Islam. Nabi saw mengajak Kaisar Romawi
untuk mengikuti Islam, lalu beliau mengirim utusan ke Amir Damaskus mengajaknya
untuk memeluk Islam, dan beliau mengutus utusan ke Amir Basrah bagian
dari wilayah Romawi dan mengajaknya untuk mengikuti Islam, dan beliau juga
mengirim surat ke penguasa Qibti dan mengajaknya untuk masuk Islam, dan
beliau juga menulis surat ke Kisra, Raja Persia dan mengajaknya untuk mengikuti
Islam. Beliau juga mengirim utusan ke Amir Bahrain dan mengajaknya untuk
mengikuti Islam.
Lalu berbagai reaksi
disampaikan berkenaan dengan surat-surat Nabi itu. Di antara mereka ada
yang
berusaha menyampaikan kepada pembawa surat bahwa ia masuk Islam dan
mengembalikannya dengan hadiah, dan di antara mereka ada yang
merobek-robek
surat
itu dan di antara mereka ada yang membalas surat itu dengan jawaban yang
baik, dan di antara mereka ada yang menerima kebenaran. Demikianlah hari
berlalu dalam
pergulatan yang tidak pernah padam, suatu
pergulatan yang dipimpin oleh Nabi sehingga beliau menaklukkan Mekah dan
menyucikan jazirah Arab. Akhirnya, manusia masuk dalam agama Allah SWT
dalam
keadaan berbondong-bodong, dan Allah
SWT menyempurnakan agama bagi kaum
Muslim dan Nabi saw melaksanakan haji wada' (haji yang terakhir) dan
turunlah
kepada beliau wahyu di Arafah sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini
telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama
bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Ayat
tersebut dibacakan kepada Abu Bakar sehingga ia menangis. Allah SWT
merasa bahwa telah tiba waktunya untuk mengakhiri misi
Rasul-Nya. Aisyah berkata kepada anak-anak yang berteriak dan bermain-main di luar rumah:
"Diamlah kalian karena Rasulullah saw
sedang sakit." Anak-anak itu pun terdiam dan mereka merasakan
ketakutan yang luar biasa. Pada hari-hari terakhir, Rasulullah saw tidak lagi
bercanda dengan mereka sebagaimana yang
biasa beliau lakukan.
Mereka memperhatikan bahwa kepucatan yang aneh menyelimuti Nabi saw
yang biasanya wajah beliau dipenuhi
dengan senyuman hingga wajahnya
laksana lempengan emas. Nabi saw yang
terakhir masuk dalam rumahnya dan hampir saja beliau tidak kuat menahan
langkah kedua kakinya. Beliau
memasuki rumahnya dan bersandar
kepada tangan Fadl bin Abbas dan Ali bin Abu Thalib. Beliau merasakan
keletihan dan kesakitan. Kemudian Aisyah menidurkan beliau di atas
ranjangnya yang
kasar dan Aisyah meletakkan
tangannya di atas kening beliau. Kepala beliau tampak panas karena
saking hebatnya demam. Aisyah berkata dalam keadaan
kedua matanya mengucurkan air mata, "demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah
apakah engkau merasakan
sakit?" Nabi saw tersenyum untuk menenangkan Aisyah lalu beliau
tertidur. Kemudian
mengalirlah dalam memori Nabi saw berbagai gambar hidup: Jibril turun
kepada beliau dengan membawa wahyu di
gua Hira. Beliau telah melewati waktu
yang diberkati selama dua puluh tiga tahun, yang sekarang tampak seperti
mimpi. Bahkan empat puluh tahun yang
mendahuluinya tampak seperti gambar yang hanya dilukis sesaat.
Segala sesuatu menjadi mudah bagi Allah SWT
dan Rasulullah saw telah berhasil melalui berbagai penderitaan dengan
penuh kesabaran, bahkan beliau tidak pernah mengeluh sekali pun. Beliau mengajarkan
akidah kepada para pengikutnya dengan penuh kemantapan. Akhirnya,
Islam menjadi mulia dan benderanya semakin berkibar. Kemudian beliau bangun
karena melihat tangisan yang tersembunyi dari Aisyah. Beliau membuka kedua
matanya dan melihat wajah Aisyah sambil beliau sendiri berusaha melawan rasa
pusing, demam, dan sakit yang dirasakannya. Beliau kembali tersenyum untuk menenangkan Aisyah
dan beliau kembali memejamkan matanya dan
tidak sadarkan diri. Apa gerangan yang menyebabkan
Aisyah menangis? Tidakkah Allah SWT memahkotai jihad Nabi saw yang berat
dengan penaklukan Mekah dan penyucian
Baitul Haram?
Berbagai
gambar hidup dan aktual melayang-layang dalam memori Nabi saw.
Beliau mengingat bagaimana tindakan orang Quraisy ketika membantalkan
perjanjian
Hudaibiyah dan mereka memerangi Khaza'ah yang
saat itu bersekutu dengan kaum Muslim
dan akhirnya mereka membunuh semua sekutu kaum Muslim di Baitul Haram.
Kemudian beliau berjalan bersama pasukan yang
berjumlah sepuluh ribu di mana semua pasukan telah siap, dan tentara
Muslim turun dari gunung Mekah laksana air
bah yang tidak berhenti sedikit pun. Telah lewatlah masa para pembawa
tombak, panah, dan pedang; telah lewatiah
masa di mana Rasulullah saw memimpim
pasukan yang di dalamnya terdapat kaum Muhajirin dan Anshar. Di
tengah-tengah pasukan besar tersebut yang
berhasil menaklukkan Mekah, Nabi saw menunggangi untanya dan beliau
menundukkan kepalanya dengan penuh rendah diri di hadapan Allah SWT
sampai-sampai
kepalanya hampir menyentuh punggung
unta yang dinaiki. Pintu Mekah terbuka untuk
pasukan ini.
Para pemimpin Mekah dan
pengikut-pengikut mereka menyerahkan diri.
Kalimat Allah SWT semakin meninggi di dalamnya. Nabi saw memasuki Baitul
Haram lalu beliau berkeliling di sekitar Ka'bah. Beliau menghancurkan
berbagai patung yang
berbaris di sekitarnya, lalu beliau
memukulnya dengan kampaknya. Kemudian patung-patung
itu berjatuhan dan hancur. Setelah beliau membersihkan masjid dari
berbagai patung dan mengembalikannya sebagaimana yang diciptakan oleh
Allah SWT sebagai
rumah tauhid yang mutlak, beliau menoleh kepada orang Quraisy dan
memaafkan mereka dan mengajak mereka untuk kembali ke
jalan Allah SWT. Kemudian tibalah
waktu salat, lalu Bilal naik di atas punggung Ka'bah dan mengumandangkan
Azan. Penduduk Mekah mende-ngarkan panggilan baru ini di mana gemanya
berputar-putar di antara gunung:
"Allah Maha
Besar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan
Allah. Marilah melaksanakan salat. Marilah menuju keberuntungan. Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah."
Akhirnya, rumah itu dikembalikan
kehormatannya dan kemuliannya. Kemudian
lagi-lagi arus berbagai gambar terlintas dalam memorinya: itulah
peperangan Hunain dengan kekalahannya, kemenangannya, dan ganimahnya;
Itulah Nabi saw
yang memberikan ganimah terhadap orang-orang yang bergabung dengan Islam
hanya dua hari dari penduduk Mekah, dan mencegah untuk memberi ganimah
Hunaian
kepada kaum Anshar yang telah memberikan
segalanya untuk Islam. Salah seorang di antara mereka berkata: "Demi
Allah, Rasulullah saw telah menemui
kaumnya." Sa'ad bin 'Ubadah
berjalan ke arah Rasulullah saw dan memberitahunya bahwa kaum Anshar
sedang marah. Rasul saw
bertanya: "Mengapa marah?" Sa'ad menjawab: "Mereka protes saat
engkau membagikan ganimah ini pada
kaummu dan pada seluruh orang Arab namun mereka tidak mendapatkan
apa-apa." Rasulullah saw bertanya kepada Sa'ad bin Ubadah:
"Kamu sendiri bagaimana pendapatmu wahai
Sa'ad?" Sa'ad berkata: "Aku tidak lain kecuali seseorang dari kaumku."
Rasulullah saw berkata:
"Kumpulkanlah kepadaku kaummu untuk masalah yang penting ini dan
jika kalian telah berkumpul, maka
beritahulah aku."
Sa'ad mengumpulkan
seluruh kaum Anshar lalu ia memberitahu Rasul saw bahwa ia telah mengumpulkan
mereka. Rasulullah saw keluar menemui mereka dan berdiri di hadapan mereka
sambil memuji Allah SWT dan kemudian berkata: "Wahai orang-orang Anshar,
tidakkah aku datang kepada kalian saat kalian dalam keadaan sesat lalu Allah
SWT memberikan petunjuk kepada kalian, dan kalian menjadi orang-orang yang fakir lalu
Allah SWT memampukan kalian, dan kalian dalam
keadaan bermusuhan lalu Allah SWT
menyatukan hati kalian?" Mereka menjawab: "Benar." Rasulullah saw berkata: "Mengapa kalian tidak menjawab
wahai kaum Anshar?" Mereka
berkata: "Apa yang kita akan katakan wahai Rasulullah dan dengan apa kita
akan menjawabnya. Sungguh segala karunia hanya milik Allah SWT dan Rasul-Nya."
Rasulullah saw
berkata: "Demi Allah, seandainya kalian mau niscaya kalian akan
mengatakan dan benar apa yang kalian katakan: Engkau datang kepada
kami sebagai seorang yang terusir, maka kami melingdungimu dan engkau datang
dalam keadaan miskin lalu
kami menghiburmu dan engkau datang dalam keadaaan ketakutan lalu kami mengamankanmu dan engkau datang dalam keadaan teraniaya
lalu kami menolongmu." Mereka berkata: "Segala puji dan karunia bagi Allah SWT dan Rasul-Nya."
Rasulullah saw berkata: "Wahai
kaum Anshar, apakah kalian akan marah terhadap harta yang telah aku berikan kepada suatu kaum dengan harapan agar
keimanan meresap dalam hati mereka dan kalian justru melupakan karunia
yang telah Allah SWT berikan kepada kalian
dalam bentuk nikmat Islam. Tidakkah kalian wahai kaum Anshar merasa puas ketika manusia pergi untuk
melakukan perjalanan di musim dingin
sedangkan kalian pergi dengan Rasulullah saw. Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya manusia melalui
suatu jalan dan kaum Anshar melalui jalan yang lain niscaya aku akan melalui jalan kaum Anshar. Ya Allah,
rahmatilah kaum Anshar dan anak-anak kaum Anshar dan cucu kaum
Anshar."
Mendengar doa itu,
kaum tersebut menanggis sehingga jenggot mereka terbasahi dengan air
mata dan
mereka berkata: "Kami rela dengan Allah SWT sebagai Tuhan dan sangat
puas dengan pembagian Rasulullah saw." Kemudian Nabi saw pun
meninggalkan mereka dan mereka pergi dalam keadaan puas. Orang-orang
Anshar
memahami bahwa Muslim yang hakiki di dunia adalah seorang yang datang di
dunia untuk
memberi, bukan untuk mengambil. Nabi saw
terbangun dan beliau mendapati dirinya sendirian di kamar. Suhu tubuh
beliau
meningkat karena demam, lalu beliau memanggil Aisyah dan meminta
kepadanya untuk membawa air yang dapat
digunakannya untuk mendinginkan tubuhnya. Aisyah mulai menuangkan air
kepada Rasulullah saw sampai demam beliau berangsur-angsur sedikit
menurun. Tampak
bahwa waktu berlalu cukup lambat dan
berat. Sakit Rasulullah saw semakin meningkat.
Beliau mulai
merasa bahwa tidak mampu lagi untuk salat bersama para sahabat,
lalu beliau memerintahkan Abu Bakar untuk salat bersama mereka. Pada saat Nabi
mengalami antara keadaan terjaga dan tidur, beliau selalu berpikir apa gerangan
yang belum disampaikannya kepada manusia.
Beliau telah menyampaikan segala
sesuatu dan telah mengajari mereka segala sesuatu serta telah meninggalkan
sebuah Kitab yang siapa pun berpegangan dengannya ia tidak akan sesat.
Rasul saw mulai mengantuk dan berbagai
nostalgia terlintas di kepalanya. Beliau melihat dirinya di haji Wada'. Selesailah
perjanjian yang diberikan kepada kaum musyrik dan mereka telah dilarang
untuk memasuki Masjidil Haram dan sekarang Nabi saw keluar sebagai
pemimpin haji dan mengajari kaum Muslim cara manasiknya. Rasulullah saw
memperhatikan ribuan orang-orang yang bertauhid saat mereka menuju Baitul Haram
dalam keadaan memenuhi panggilan Tuhan dan tunduk kepadanya. Mereka menghidupkan memori kakek mereka,
Ibrahim Khalilullah. Nabi saw berdiri dan
berpidato di tengah-tengah keramaian itu. Nabi saw mulai merasakan bahwa kehidupannya di dunia
sebentar lagi akan berakhir. Beliau
mengetahui bahwa kafilah ini akan pergi sendirian dalam menjalani kehidupan. Beliau kembali
menanamkan nilai-nilai Islam dan
wasiat dakwah di jalan Allah SWT. Setelah berjuang selama dua puluh tiga tahun menegakkan agama
Allah SWT, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah aku telah menyampaikan
amanat Tuhan?" Lalu manusia yang
hadir saat itu menyatakan bahwa beliau benar-benar
telah menyampaikan dakwah. Beliau memanggil Mu'ad bin Jabal dan
mengajarinya bagaimana berdakwah kepada manusia
di jalan Allah SWT dan bagaimana mengenalkan agama kepada mereka.
Kemudian beliau
berwasiat kepadaa Mu'ad saat ia menunggangi kendaraannya sedangkan
Rasulullah saw
beijalan di sebelah untanya:
"Sesungguhnya orang yang paling utama di sisiku adalah orang-orang yang
bertakwa, siapa pun mereka dan di
mana pun mereka." Nabi saw
adalah rahmat bagi semua manusia dan sebagal cermin yang tertinggi dari
cermin persaudaraan dan kepatuhan. Beliau menegakkan Al-Qur'an di
tengah-tengah umat
Islam namun beliau menolak segala bentuk penampilan yang biasa melekat
pada
seorang penguasa atau raja atau pemimpin apa pun. Beliau berkata kepada
para sahabatnya: "Aku hanya seorang hamba Allah SWT dan Rasul-Nya."
Beliau keluar
menemui sekelompok sahabatnya lalu sebagai bentuk penghormatan
kepada beliau mereka berdiri. Kemudian beliau memerintahkan kepada mereka agar tidak berdiri.
Ketika beliau keluar untuk menemui
sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya, maka beliau duduk bersama mereka
di tempat terakhir yang ditemukannya. Beliau sangat bersahabat dan ramah dengan
para sahabatnya, bahkan beliau bercanda
dengan anak-anak mereka dan
mendudukkan mereka di ruangannya. Beliau memenuhi panggilan orang dewasa
maupun anak-anak. Beliau membesuk orang-orang yang sakit meskipun berada di
tempat yang jauh. Beliau menerima alasan
orang yang mempunyai uzur. Beliau mendahului
orang yang ditemuinya dengan salam bahkan beliau mendahului berjabat tangan dengan para sahabatnya.
Ketika seseorang
datang untuk menemuinya saat beliau salat, maka beliau mempersingkat
salatnya
dan menanyakan keperluan orang itu. Setelah menyelesaikan keperluan
manusia, beliau kembali menyelesaikan shalatnya. Beliau selalu menebar
senyum kepada kawan dan lawan dan
memiliki kepribadian yang paling baik. Ketika beliau berada di rumahnya,
beliau melayani keluarganya. Beliau mencuci
bajunya. Beliau memperbaiki sandalnya dan memberi minum unta. Beliau
makan bersama pembantu. Beliau memenuhi kebutuhan
orang yang lemah, orang yang sedih, dan orang yang miskin. Bahkan
kebaikan beliau dan kasih sayangnya
sampai pada tingkat di mana beliau
membiarkan cucunya menaiki punggungnya saat
beliau sedang shalat.
Kasih sayang
beliau tidak hanya terbatas kepada manusia bahkan juga tertuju pada
binatang
dan pohon. Beliau memberi makan binatang dengan tangannya sendiri bahkan
beliau
pernah merawat anjing yang sakit. Beliau memerintahkan pasukan Islam
saat berperang demi
menegakkan keadilan Islam agar mereka tidak membunuh anak kecil, orang
tua, kaum wanita dan hendaklah mereka tidak mencabut pohon dan tidak
pula merobohkan
rumah.
Apa yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya
suatu undang-undang yang mengatur hubungan
antara manusia dan manusia yang lain,
dan apa yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya berisi suatu sistem untuk
meningkatkan kualitas kehidupan
dan kemajuannya, ini semua adalah hal relatif namun beliau datang dengan
membawa peradaban yang abadi yang mengatur hubungan antara manusia dan
alam, dan mengembalikan keserasian di
alam wujud sehingga semua berjalan
secara seimbang dan mencapai kesempurnaan
menuju Allah SWT. Meskipun pada titik terakhir dari kehidupannya, beliau
masih sibuk mengurusi masa depan dakwah dan beliau
sangat cemas terhadap masa depan agama dan sangat peduli dengan problema
kaum Muslim. Beliau khawatir suatu
saat Islam hanya tinggal namanya namun hakikatnya telah lenyap. Namun
sebelum beliau meninggal, Allah SWT telah
memperlihatkan kepada beliau sesuatu
yang membuat hati beliau menjadi tenang. Dan di hari Senin dari bulan
Rabiul Awal yang mulia, beliau kembali kepada Tuhannya dalam keadaan
ridha dan diridhai.
Salam kepadamu ya
Rasulullah dan kepada keluarga serta sahabat yang setia bersamamu.♦